Berita
Penafsir Teks Kitab Suci, Perlu atau Tidak?
Memahami agama tak dapat dilepaskan dari upaya memahami kitab suci agama tersebut. Begitupun untuk memahaminya tentu ada cara-cara khusus atau ketentuan khusus yang harus dilakukan. Apalagi terkait teks-teks kitab suci yang dianggap sebagai teks pembenar kekerasan dan kerap kali dijadikan landasan pembenaran untuk melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain.
“Teks itu benda mati dan kitalah yang menghidupkannya,” kata Hans Abdiel Harmakaputra MA, PhD, kandidat Intereligious Theology Boston College, Amerika dalam sebuah diskusi Rabuan (10/6) bertema “Kekerasan dalam Teks Agama-Agama Samawi” di Thamrin Residence, Jakarta, saat menanggapi apakah teks-teks kitab suci harus ada otoritas tertentu sebagai penafsir agar tidak terjadi salah tafsir.
Lebih jauh Hans menjelaskan bahwa setiap umat Kristiani berhak untuk membaca kitab suci dan juga menafsirkannya, namun pada umumnya harus memiliki beberapa tahapan seperti sekolah teologi, menguasai metode-metode Hermeunetik dan akan lebih baik jika mampu menguasai bahasa asli kitab suci tersebut.
“Tapi jangan menganggap penafsirannya paling benar,” tegas Hans. “Harus selalu siap berdialog, sebab dengan berdialog kita bisa mencapai kebenaran lebih tinggi,” lanjutnya.
Pembicara dari kalangan Islam diwakili Dr. Ahmad Nurcholish dari Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), pakar teks-teks klasik Islam, menjelaskan bahwa di dalam Islam untuk menjadi seorang penafsir atau yang dikenal dengan sebutan mufassir harus melalui sejumlah rangkaian kriteria yang sangat ketat, meski Nurcholish sendiri kurang setuju dengan hal tersebut.
“Itu sama saja dengan membatasi bagi siapapun untuk memahami kitab suci,” terang Nurcholish.
Sebagai tolok ukur penafsiran teks kitab suci, Nurcholis menjelaskan agar menggunakan dampak dari penafsiran teks sebagai ukurannya. Jika dampaknya dapat merugikan orang banyak, maka penafsiran tersebut adalah salah.
“Contohnya ISIS, tafsir yang mereka pahami kan berdampak pada wujud tindakan criminal, maka itu bisa dipidanakan,” jelas Nurcholis.
Nurcholis melanjutkan bahwa dengan banyaknya penafsiran maka akan memperkaya kitab suci itu sendiri. Dia juga sependapat dengan Hans bahwa penafsiran yang dilakukan tidak boleh dianggap paling benar dan harus siap berdialog dan berdiskusi dengan penafsir yang berbeda.
“Jadi kalau saya lebih sreg bahwa Alquran itu menjadi kitab yang terbuka,” terang Nurcholis.
Begitupun dengan semua paparan dalam diskusi malam itu, tentu tetap terbuka untuk dilakukan diskusi lanjutan dengan pandangan-pandangan yang berbeda tentang perlu-tidaknya penafsir khusus bagi teks-teks kitab suci.
Diskusi lebih dari dua jam itu berlangsung hangat meski yang hadir berasal dari latar belakang dan keyakinan yang berbeda-beda. Kesejukan dan keakraban tergambar dengan canda-tawa yang kerap terdengar. (Lutfi/Yudhi)