Ikuti Kami Di Medsos

Akidah

Pembuktian atas Konsep Wajib al-Wujud (Wujud Niscaya Ada) [2]

Sebab dan Akibat

Apabila wujud realitas itu bergantung kepada realitas yang lain, di dalam filsafat, realitas yang bergantung itu disebut sebagai akibat (ma’lul) dan realitas yang digantunginya disebut sebagai sebab (illah). Dan, boleh jadi sebab ini sendiri masih bergantung kepada sebab yang lain.

Artinya, bahwa pada gilirannya, sebab itu sendiri masih membutuhkan dan bergantung kepada sebab yang lain, dimana ia juga adalah akibat dari realitas ketiga ini. Namun, jika Sebab itu bukan akibat dan tidak bergantung kepada yang lain, maka Dia adalah sebab mudah yang tidak butuh kepada selainnya sama sekali. Dengan ini, kita telah mengenal dua istilah fllsafat: sebab dan akibat, serta definisi keduanya.

Selanjutnya, kami akan menjelaskan premis bahwa setiap mumkin al-wujud membutuhkan kepada sebab. Mengingat bahwa mumkin al-wujud itu mengada tidak dengan sendirinya, maka mumkinul wujud tersebut bergantung kepada realitas yang lain. Karena proposisi (qadliyah) berikut ini gamblang, yaitu ketika suatu predikat dibandingkan dengan suatu subjek, adakalanya predikat itu bisa ditetapkan pada subjek itu secara dzati (substansial), dan adakalanya ditetapkan secara aradhi (aksidental; karena sesuatu yang lain)

Misalnya, adakalanya sesuatu itu terang secara substansial (dengan sendirinya), adakalanya ia terang karena sesuatu yang lain, misalnya cahaya. Atau, setiap benda (jism) adakalanya berminyak dengan sendirinya, atau berminyak dengan perantara yang lain, seperti minyak. Adapun asumsi bahwa sesuatu itu terang atau berminyak tidak dengan sendirinya, tidak pula melalui perantara yang lain, adalah asumsi yang absurd.

Maka itu, adakalanya ketetapan wujud (sebagai predikat) pada suatu subjek secara substansial, yaitu dengan sendirinya dan tanpa perantara yang lain, atau dengan perantara yang lain. Apabila ketetapan wujud pada suatu subjek tidak dengan sendirinya, pasti wujudnya itu ditetapkan dengan perantara yang lain. Atas dasar ini, setiap mumkin al-wujud (yang mungkin wujudnya) itu ada dengan perantara yang lain dan ia adalah akibat baginya.

Adalah kaidah logika yang diterima oleh semua orang yang berakal, bahwa setiap mumkin al-wujud membutuhkan sebab. Namun, berangkat dari pengertian Hukum Kausalitas, bahwa setiap realitas membutuhkan kepada sebab, sebagian orang menganggap bahwa seharusnya. Wujud Allah Swt itu pun mempunyai sebab. Mereka lalai bahwa subjek pada Hukum Kausalitas itu bukanlah realitas secara mutlak, tetapi realitas yang mumkin atau ma’lul (akibat). Dengan kata lain, setiap realitas “yang tidak berdiri sendiri” membutuhkan sebab, bukan setiap realitas tanpa ajektif itu.

Kemustahilan Tasalsul

Premis terakhir yang digunakan dalam argumentasi ini adalah bahwa mata rantai sebab harus berakhir pada realitas yang dirinya bukan lagi akibat. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh ahli teologi, bahwa tasalsul (mata rantai akibat-sebab yang tak berujung) itu mustahil. Atas dasar ini, dapat dibuktikan Wujud Tuhan sebagai Wajib al-Wujud. Bahwa Wajib al-Wujud merupakan Sebab Pertama yang ada dengan sendirinya dan tidak perlu kepada wujud yang lain.

Para filsuf telah mengajukan berbagaj argumen untuk menunjukkan kemustahilan tasalsul ini, meski pada dasarnya hal itu adalah masalah yang nyaris badihi (tidak perlu pembuktian), Setiap orang, sejenak saja merenungkan, akan dapat memastikan kcmustahilan tasalsul. Artinya, setiap wujud akibat itu membutuhkan sebab. Keberadaannya disyarati oleh keberadaan sebab tersebut.

Apabila diasumsikan bahwa segala sesuatu itu adalah akibat, yang semuanya membutuhkan sebab, tentu tidak akan terealisasi realitas apa pun. Karena tidaklah logis mengasumsikan adanya mata-rantai yang saling bergantungan tanpa suatu wujud yang merupakan puncak kebergantungan mata rantai tersebut.

Sebagai contoh, lomba lari maraton. Apabila seluruh peserta lomba berdiri di garis start, berarti mereka siap untuk berlomba. Akan tetapi, setiap anggota tidak mau memulai untuk berlari kecuali apabila yang lainnya memulai lari terlebih dahulu. Nah, apabila keputusan semacam ini diambil oleh seluruh peserta, maka tidak akan terjadi perlombaan tersebut. Begitu pula, apabila wujud segala sesuatu itu disyarati dengan wujud yang lain, tidak akan tcrwujud sesuatu apa pun, sama sekali.

Dengan demikian, adanya hal-hal objektif di luar ini merupakan bukti atas keberadaan realitas yang tidak membutuhkan; yang wujudnya itu tidak disyarati oleh wujud selainnya.

Perumusan Argumen

Berdasarkan premis-prernis tersebut, sekali lagi, kami akan menjelaskan rumusan argumen di atas. Bahwa wujud segala sesuatu “yang mungkin” tidak lepas dari dua kondisi: wujudnya itu bersifat pasti, dharuri dan ada dengan sendirinya yang diistilahkan dengan Wajib al-Wujud (Wajib Niscaya Ada), atau tidak bersifat dharuri, tetapi wujudnya tergantung kepada yang lain. Wujud yang demikian ini diistilahkan dengan mumkin al-wujud.

Dengan kata lain, sesuatu itu adalah Wajib al-Wujud atau mumkin al-wujud. Jelas bahwa apabila wujud sesuatu itu bersifat mumtani (mustahil ada), maka sesuatu itu tidak akan terwujud sama sekali, dan kita tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu apa pun. Dengan demikian, setiap sesuatu adalah sebagai Wujud Niscaya Ada (Wajib al-Wujud) atau wujud kontingen (mumkin al-wujud).

Lalu, jika kita pikirkan konsep wujud kontingen (mumkin alwujud) secara teliti, jelas bahwa sesuatu yang menjadi misdak dari konsep itu niscaya sebagai akibat dan membutuhkan kepada sebab. Karena, sesuatu yang ada tidak dengan sendirinya dan keberadaannya membutuhkan kepada perantara yang lainnya, wujudnya itu menjadi niscaya melalui perantara yang lainnya. Sebagaimana setiap sifat yang tidak bisa ditetapkan dengan sendirinya, mesti ditetapkan dengan perantara.

Inilah pengertian Hukum Kausalitas, bahwa setiap sesuatu yang wujudnya itu lemah atau mempunyai ketergantungan dan bersifat mumkin al-wuju, dentu ia membutuhkan sebab. Ketika dinyatakan bahwa “setiap sesuatu” membutuhkan sebab, tidak berarti bahwa Allah pun butuh kepada sebab, tidak pula berarti bahwa iman kepada Allah, Zat Yang Tak Bersebab, bertentangan dengan Hukum Kausalitas.

Dari sisi lain, jika dikatakan bahwa setiap yang ada itu adalah Wujud kontingen (mumkin al-wujud) dan butuh kepada sebab, maka tidak akan ada sesuatu apa pun. Hal ini sebagaimana misal yang telah kami kemukakan, bahwa setiap peserta dari kelompok lomba maraton, apabila menggantungkan keputusan larinya kepada yang lainnya, maka perlombaan itu tidak akan berlangsung, sama sekali.

Dengan demikian, hal-hal yang ada di luar itu merupakan dalil atas keberadaan Wujud Niscaya Ada (Wajib al-Wujud]

*Misdak merupakan istilah penting dalam tradisi logika klasik dan filsafat Islam. Istilah Arab ini digunakan sebagai bandingan langsung untuk istilah mafhum atau konsep. Maka, bila mafhum atau konsep itu didefinisikan sebagai gambaran pengetahuan di mental, misdak di sini adalah apa saja yang gambaran pengetahuan itu bisa diterapkan dan berlaku padanya. Menurut pengertian ini, misdak tidak selalunya dan semuanya di luar mental; yakni di alam luar yang konkret ini, sebagaimana wujud Hasan atau Husain sebagai misdak dalam perbandingan mereka dengan konsep manusia atau konsep anak, tetapi juga bisa di dalam (satu lapisan) mental. Misalnya, konsep manusia itu adalah sebuah misdak dari konsep ”yang universal,” atau dari konsep “spesis.” Terkadang, istilah misdak diperkenalkan secara leksikal dengan kata intanta, terapan, ekstensi, personifikasi. Di sini dan untuk selanjutnya, kami menggunakan istilah ini sebagaimana aslinya -penyunting.
Ayatullah Taqi Misbah Yazdi. Iman Semesta, Merancang Piramida Keyakinan
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *