Bentuk Argumentasi
Berdasarkan asumsi rasional, realitas terbagi menjadi dua; Wajib al-wujud (Wujud Niscaya Ada) dan mumkin al-wujud (yang mungkin adanya). Secara rasional, tidak ada satu realitas pun yang keluar dari asumsi tersebut. Kita pun tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh realitas itu mumkin al-wujud. Karena setiap mumkin al-wujud membutuhkan kepada sebab.
Apabila setiap sebab masih berupa mumkin al-wujud, maka dia adalah akibat yang tentunya membutuhkan kepada sebab yang lain. Pada akhirnya, tidak akan ada realitas apa pun sama sekali. Artinya, bahwa rangkaian sebab itu sebenarnya adalah rangkaian akibat “yang mungkin” dan tidak pasti adanya. Oleh karena itu, rangkaian mumkin al-wujud, menjadi ada tatkala berakhir kepada suatu realitas yang bukan lagi akibat dari realitas apa pun. Artinya, bahwa rangkaian wujud itu akan berakhir pada Wajib al-wujud.
Argumen di atas ini adalah argumen filsafat yang paling sederhana untuk menetapkan wujud Allah. Ia terdiri dari beberapa premis rasional, tanpa terlibat premis empirik di dalamnya. Akan tetapi, karena argumen semacam ini biasanya menggunakan sejumlah konsep dan istilah filosofis, terlebih dahulu kita harus menjelaskan beberapa istilah dan premis yang menyusun argumen ini.
“Wujud” dan “Imkan”
Setiap proposisi, sekalipun yang paling sederhana, sekurang-kurangnya mesti tersusun dari dua konsep; subjek dan predikat. Misalnya proposisi yang berbunyi, “Matahari bersinar.” Proposisi ini terdiri dari matahari sebagai subjek dan bersinar sebagai predikat.
Lalu, tertetapkannya predikat pada subjek tidak keluar dari tiga keadaan; satu, ketetapan predikat pada subjek bersifat mustahil (mumtani’). Contohnya, angka 3 itu lebih besar dari angka 4. Dua, tertetapkannya predikat pada subjek itu bersifat pasti (dharuri). Contohnya, 2 itu adalah 1/2 dari 4. Tiga, tertetapkannya predikat pada subjek bersifat tidak mustahil sekaligus tidak pasti. Contohnya, matahari berada di atas kepala kita.
Dalam logika dijelaskan bahwa proposisi pada keadaan pertama itu bersifat mumtani’, yaitu tidak mungkin terjadi, seperti pada contoh pertama tadi bahwa angka 3 itu lebih besar dari angka 4. Pada keadaan kedua, proposisi itu bersifat dharuri atau wajib, yaitu niscaya dan pasti. Sedangkan pada keadaan ketiga, proposisi itu bersifat mumkin (mungkin) dengan makna khusus. Lantaran filsafat hanya membahas sesuatu yang ada, para filsuf membagi realitas kepada dua bagian, Wajib al-wujud dan mumkin al-wujud.
Wajib al-Wujud adalah realitas yang ada dengan sendirinya, tidak bergantung kepada realitas yang lain. Tentu, realitas ini bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Karena, apabila sesuatu itu ma’dum (tiada) pada masa tertentu, ini menunjukkan bahwa wujud sesuatu itu bukanlah berdasarkan pada dirinya sendiri, tetapi wujudnya membutuhkan kepada realitas selainnya yang merupakan sebab atau syarat keberadaannya. Tentunya, jika sebab atau syarat itu tidak ada, sesuatu tersebut tidak akan mengada.
Sedangkan mumkin al-wujud adalah realitas yang ada tidak dengan sendirinya, tetapi wujudnya diadakan dan bergantung kepada realitas selainnya. Dengan kata lain, mumkin al-wujud tidak mungkin terwujud kecuali dengan perantara selainnya.
Penjelasan rasional ini menafikan secara pasti adanya mumtani’ al-wujud (wujud yang mustahil). Pada saat yang sama, penjelasan ini tidak mengidentifikasi, apakah realitas itu ada di luar Wajibb al-Wujud ataukah mumkin al-wujud. Dengan kata lain, kita dapat menggambarkan kebenaran sebuah proposisi tersebut dengan tiga asumsi.
Pertama, setiap realitas itu Wajib al-Wujud.
Kedua, setiap realitas itu mumkin al-wujud.
Ketiga, sebagian realitas itu Wajib al-Wujud, dan sebagian lainnya adalah mumkin al-wujud.
Berdasarkan asumsi pertama dan ketiga, keberadaan Wajib alWujud sudah tertetapkan. Yang harus kita bahas lebih lanjut adalah asumsi kedua, yaitu apakah mungkin setiap realitas itu mumkin al-wujud? Kalau kita dapat menggugurkan asumsi ini, maka dapat ditegaskan keberadaan Wajib al-Wujud secara pasti, walaupun untuk menetapkan keesaan dan seluruh sifat-Nya diperlukan argumentasi tersendiri.
Untuk menggugurkan asumsi kedua, kita perlu menambahkan premis lain ke dalam argumen terdahulu itu, yaitu bahwa seluruh realitas tidak mungkin bersifat mumkin al-wujud. Namun, premis ini bukanlah premis yang badihi, aksiomatis, jelas dengan sendirinya.
Oleh karena itu, para ulama menjelaskan premis ini sebagai berikut,
Dari sinilah sebagian konsep filosofis lainnya terlibat di dalam argumentasi ini dan perlu kepada penjelasan.