Berita
Pelanggaran HAM di Industri Kelapa Sawit Kita
The Institute Ecosoft of Rights, Selasa (27/1) meluncurkan buku Industri Perkebunan Sawit dan Hak Asasi Manusia di hotel Akmani, Jakarta. Dalam peluncuran bukunya ini Ecosoft mengkritisi banyaknya pelanggaran HAM di banyak perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Sri Palupi, salah satu peneliti yang tergabung dalam tim penulis buku ini memaparkan banyak sekali pelanggaran-pelanggaran HAM di sini. Mulai dari perampasan tanah, deforestasi hutan, gaji yang tidak layak, kesehatan masyarakat, dan banyak lagi sehingga menimbulkan banyak konflik.
“Kita melihat daerah di mana ada perkebunan kelapa sawit, di situ jadi rawan konflik,”ujar Sri.“Di Kalimantan Tengah tercatat per Desember 2012 terdapat 278 konflik. Per Maret 2013 tercatat 118 konflik yang tersebar di 14 Kabupaten. Mulai dari perampasan tanah, hilangnya sumber mata air, menurunnya kesehatan masyarakat, hilangnya tanah adat, pekerja yang mendapat upah tidak layak, dan banyak lagi,”terang Sri.
Sri mengeluhkan tak adanya tanggung jawab dari pemerintah setempat. Bahkan mereka ikut serta dalam pelanggaran ini. “Negara tidak hadir membantu. Hadirnya justru dalam bentuk polisi dan buldoser untuk menekan rakyat.”
Bukan ‘Bussines as Usual’
Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang juga hadir dalam acara ini mengakui bahwa hal seperti itu biasa terjadi.
“Tapi tidak berarti semua usaha perkebunan kelapa sawit begitu,”sanggah Fadhil. “Ada juga perkebunan kelapa sawit yang baik, yang memperhatikan nasib karyawan dan warga sekitarnya. Kalau ada yang salah ya tinggal dilaporkan, biar diproses secara hukum.”
Menanggapi pernyataan Fadhil Hasan, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengkritik pernyataan Fadhil.
“Saya melihat pemerintah dan GAPKI menganggap persoalan pelanggaran HAM ini seolah-olah bussines as usual. Sudah biasa saja. Tak ada sense of crysis seperti isu korupsi misalnya. Dan inilah penyebab mengapa hal ini tak pernah terselesaikan,” kritik Indriaswati.
“Kalau dianggap persoalan biasa, selama itu pula tak akan ada kebijakan yang muncul dan masalah akan terus berlarut-larut. Pemerintah harus tegas,”tandas Indriaswati. (Muhammad/Yudhi)