Akhlak
Pelajaran Penting Pak Keting
Nama aslinya adalah Wastin. Namun ia sering dipanggil Pak Keting. Kakek 3 orang cucu ini adalah salah satu dari jutaan orang “petarung” yang mengadu nasib di Ibu Kota. Ia datang dari Sumedang Jawa Barat sejak 5 tahun lalu. Tak ingin mengharap pemberian dari anak-anaknya, ayah 5 orang anak ini pun memutuskan untuk tetap bekerja meski hanya menjadi kuli cangkul di Jakarta. Tak heran dia dan 20-an orang temannya dari Sumedang ini menawarkan jasa kuli cangkulnya di sepanjang pinggiran jalan, dekat area Taman Makam Pahlawan(TMP) Kalibata, Jakarta Selatan.
Sejak pukul 6 pagi, biasanya Pak Keting cs. mulai menjejerkan cangkul-cangkul mereka di trotoar jalan TMP, dengan harapan ada calon pelanggan mampir dan memesan jasanya. Ikhtiar itu mereka lakukan tiap hari hingga pukul 6 petang. Selepas maghrib, baru mereka punguti cangkul-cangkul itu. Ada tidaknya pelanggan datang, Pak Keting dan teman-temannya tetap setia melakukan rutinitasnya.
“Sudah sepuluh hari ini belum ada satu pun orderan datang, Mas. Sepi. Padahal perut mintanya selalu diisi. Kalo sudah gini, pusing nih kita mau cari utangan buat makan,” keluh pak Keting atas sepinya orderan.
Para kuli cangkul ini tetap berusaha keras mencari rejeki dari hasil jerih payah mereka sendiri. Lahan kosong di seputaran TMP adalah tempat kerjanya ketika pagi hingga petang sekaligus tempat menginapnya saat malam. Tak ada gubuk, hanya alas dan atap seadanya. “Kalau musim hujan gini, apalagi kalo pas hujannya malam, susah bener kita,” keluh Pak Keting lagi. Namun meski hidupnya di Jakarta susah, dia dan teman-temannya sudah saling bertekad tak akan pernah menjadi peminta-minta seperti para pengemis yang biasanya sering terlihat di jalanan. Mereka malu, tak mau hanya jadi pemalas, yang dapat uang tanpa berkeringat dan bekerja.
Selain Pak Keting, Marno juga salah satu kuli cangkul yang sudah hampir 20 tahun melakoni profesi yang sama. Lima belas tahun lebih lama dari Pak Keting, Marno mangkal di seputaran TMP Kalibata. Tentu saja pengalamannya sudah lebih banyak daripada yang lain. Terutama pengalaman paling tak terlupakan ketika ia dan teman-temannya ditipu mandor saat mendapat orderan kuli proyek galian.
“Ya, kami ditipu, Mas. Benar-benar kena tipu mentah-mentah gitu,” sungut Marno bercerita. Menurutnya, sudah seperti kebiasaan buruk, seringkali mandor yang mempekerjakan mereka itu kabur saat sudah mendekati masa bayaran. Karena itu, sekarang mereka menjadi lebih berhati-hati tiap kali terima orderan. Kalau pekerjaannya diperkirakan akan makan waktu sampai sebulan atau lebih, biasanya mereka akan berusaha mencari tahu, siapa sang mandor dan dimana dia dan keluarganya tinggal. Tentu saja hal itu mesti mereka lakukan karena mereka tak mau tertipu berulangkali. Istilah mereka, sudah susah dapat kerjaan, berat juga menjalaninya, maka akan jadi pukulan berat kalau mereka harus tertipu pula. Sementara keluarga mereka di kampung sangat berharap dari penghasilan mereka di Jakarta.
Selain para kuli cangkul Kalibata ini, tentu masih banyak orang lain yang nasibnya jauh di bawah rata-rata, di seantero Jakarta. Belum lagi di kota-kota besar lain di seluruh Tanah Air. Semua itu adalah bukti belum meratanya kesejahteraan dan keadilan di negeri kita.
Lalu, pelajaran penting apa yang dapat kita ambil dari fenomena sosial semacam itu?
Dari pengalaman hidup Pak Keting, Marno dan kawan-kawannya, setidaknya kita dapat mengambil pelajaran berharga tentang betapa tak mudahnya menjalani hidup di Jakarta dan kota besar lain, tanpa bekal keterampilan dan ilmu yang cukup. Namun demikian, ada beberapa hal menarik tentang sikap hidup yang patut kita tiru dan teladani dari mereka. Misalnya tentang semangat pantang menyerah dalam berikhtiar, pantang menjadi pengemis atau menjadi beban dan bergantung dari belas kasihan orang saat masih kuat dan sanggup bekerja sendiri, sabar dan tabah menanggung beban berat dalam usahanya mencari nafkah bagi keluarga, di samping eratnya kesetiakawanan di antara mereka. Buktinya, menurut penuturan Pak Keting dan Marno, sudah biasa bagi mereka saat salah satu kelompok sedang ramai terima orderan, mereka pun saling berbagi pekerjaan. Sebaliknya bila salah satu kelompok hanya cukup menanganinya sendiri sementara kelompok lain tak kebagian, maka kelompok yang sedang banyak rejeki itu pun biasanya ikhlas berbagi dengan memberikan pinjaman uang secukupnya, sekadar buat makan teman-temannya yang lain.
Begitulah. Para kuli cangkul ini, tampak sepintas bagi kita adalah orang-orang kampung miskin yang sedang berusaha mencari nafkah buat keluarganya. Mengadu nasib dan peruntungan yang lebih baik di kota metropolitan yang selama ini dikenal sebagai tempat mudah mencari uang. Mungkin saja mereka adalah sekumpulan orang yang oleh kebanyakan orang lain (yang sedang lewat berkendara dan melihat mereka dari balik kaca mobilnya), dianggap sebagai kuli yang hanya mengandalkan tenaga karena mereka tak berilmu. Tapi bagaimanapun, itulah kenyataan hidup. Kita sama sekali tak dibolehkan-Nya menganggap remeh dan rendah satu sama lain. Karena boleh jadi, kita yang berkecukupan sebenarnya juga sedang tak punya apa yang mereka miliki. Sebut saja tiga di antaranya: ketabahan, kemandirian, dan kesetiakawanan. Atau jangan-jangan, dalam banyak hal lain lagi (terutama dalam pandangan-Nya), sebenarnya kita masih kalah jauh dengan mereka. Siapa di antara kita yang tahu pasti? (Malik/Yudhi)