Berita
Paradigma Baru GBHN
Wacana pembuatan rancangan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang baru menuai banyak reaksi. Membahas hal ini, Pokja Petisi 50 mengadakan diskusi Wacana GBHN: Potensi Mengurangi Partisipasi Publik Dalam Perencanaan Pembangunan? di Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (26/1).
Dalam diskusi ini, Aji Dedi Mulawarman mengkritik wacana dibuatnya GBHN baru ini yang dinilai jauh dari semangat UUD 45.
“GBHN jangan hanya membahas masalah teknis dan sistem belaka mengenai pembangunan. Yang lebih penting dari itu adalah paradigma, yaitu paradigma pembangunan pasar atau paradigma kebudayaan,” ujar Dedi.
Menurut Dedi untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan, haruslah menggunakan paradigma pembangunan berkebudayaaan.
“Jika pakai paradigma pasar, ya artinya kita jatuh lagi di lubang yang sama, seperti zamannya Soeharto dulu. Kita harus pakai paradigma budaya biar berkelanjutan dan jangka panjang pembangunannya,” lanjut Dedi.
Sementara Dr. Djamester Simartama, dosen Ekonomi UI menegaskan GBHN yang sesungguhnya adalah UUD 45.
“Bagi saya, GBHN yang sesungguhnya itu ya ini, UUD 45,” tegas Djamester, sembari mengunjukkan buku saku UUD 45 di tangannya.
“Kalau melanggar ini, itu melanggar semuanya,” ujar Djamester. “Semua masalah dan kekisruhan ini kan sebenarnya terjadi karena apa? Karena UUD 45 tidak dilaksanakan secara teknis.”
Dedi memberikan contoh bagaimana pentingnya paradigma kebudayaan mengarahkan arah pembangunan dalam budaya politik transaksional yang ada sekarang ini.
“Politik transaksional, aku dapet berapa, ente dapet berapa, itu masalah kebudayaan. Bukan soal ekonomi. Ekonomi harus di-drive oleh kebudayaan,” ujar Dedi.
“Yang salah itu bukan konstitusinya, bukan teknisnya, tapi paradigma pembanguan kita. Kalau mau GBHN dijalankan ya, arah GBHN itu harus dipastikan lebih dulu,” tandas Dedi. (Muhammad/Yudhi)