Berita
Para Pendiri Kabah
Kabah sebagai kiblat umat Islam ketika melaksanakan shalat didirikan oleh dua tangan nabi nan angung dan mulia, Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as. Bagunan yang didirikan atas perintah Allah Swt itu dibangun dengan kemurnin dan keikhlasan hati pendirinya. Kabah dibangun dengan bentuk khusus yang bercampur dengan kesucian dan keikhlasan hati. Kedua Nabi mulia itu membangun dan mendirikannya tak lain hanya berharap pada keridahaan Allah semata.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan(membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Mahatahu. (QS. al-Baqarah: 127)
Baca juga Ibadah Haji, Pemersatu Umat Islam
Tatkala dua pribadi agung itu membangun kabah dan meinggikan dasar-dasarnya, dari kedalaman jiwa mereka yang suci dan bersih, dengan tulus keluar ucapan, “Wahai Tuhan! Terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Karena itu, tujuan pembangunan Kabah dan tujuan hidup para pendirinya adalah semata-mata mengharapkan keridhaan Allah Swt. Lantaran niat itu merupakan inti dan landasan pekerjaan pembangunan Kabah, dan dalam mengerjakan bangunannya tidak ada niat selain dan murni untuk Allah Swt, maka dari sinilah nilai penting, keagungan, dan kemuliaan Kabah menjadi terlihat dengan jelas.
Kabah memiliki posisi yang sangat penting, sebab Kabah merupakan bangunan peribadahan tertua yang ada di muka bumi, sejajar dengan Bait al-Ma’mur dan Arsy Allah, yang merupakan tempat thawaf para malaikat. Para peziarah juga melakukan thawaf dan mengelilingi Kabah, sama seperti yang dilakukan para malaikat langit yang suci. Artinya, ‘Arsy dan Bait al-Ma’mur ada di bumi dalam bentuk Kabah, dan jiwa suci para peziarah Kabah akan naik menuju maqam tinggi Bait al-Ma’mur.
Allah Swt berfirman: “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan baik dan amal yang saleh menaikkanya.” (QS. Fathir: 10)
Sebagaimana turunya ‘Arsy Ilahi dan Bait al-Ma’mur ke bumi merupakan penampakan (tajalli), maka naiknya manusia ke maqam yang tinggi adalah dalam bentuk “menaik secara ruhani” (sha’ud al-ruhani), bukan kenaikan yang bersifat ruang atau tempat. Dengan demikian, apabila seorang peziarah tidak memahami makna yang tinggi ini, tujuannya dalam mengelilingi Kabah bukan untuk meninggikan jiwa, tidak melihat rumah Allah itu sama dengan Bait al-Ma’mur, dan tidak merasakan bahwa Kabah itu adalah ‘Arsy Ilahi yang ada di bumi, maka itu artinya dia belum mengetahui dan menyadari akan maqam Kabah yang tinggi itu.
Sumber: Ayatullah Jawadi Amuli, Hikmah dan Makna Haji