Berita
Para Pendidik Bicara Hormat Bendera
Topi, dasi, sepatu dan ikat pinggang adalah tiga benda yang mesti menjadi perhatian utama dan harus disiapkan para siswa setiap hari Senin tiba. Itulah yang sebagian besar dari kita pernah alami sewaktu masih duduk di bangku sekolah, setiap hari Senin, menjelang upacara bendera. Sebab jika salah satu saja dari perlengkapan seragam itu yang kurang, hampir bisa dipastikan kita akan mendapatkan hukuman dari guru pembimbing saat tiba di sekolah.
Membahas perlu tidaknya upacara dan hormat bendera, beberapa tahun lalu sempat tersiar kabar adanya sejumlah sekolah di wilayah kota Solo yang menolak pelaksanaan upacara bendera tiap hari Senin di sekolah-sekolah. Sementara dalam sebuah workshop guru se Jabodetabek, Nurcholis Majid Society (NMSC) mengindikasikan adanya penolakan sejumlah guru untuk menyanyikan lagu kebangsaan dan penolakan hormat bendera saat upacara dilaksanakan.
Apakah alasan sejumlah guru, baik yang menolak atau yang menerima bahwa menyanyikan lagu kebangsaan dan menghormat bendera itu dilarang? Mungkinkah semua penolakan itu hanya didasari keterpaksaan menerima kebijakan sekolah yang melarang pelaksanakan upacara bendera? Dengan kata lain, sebenarnya itu bukan pendapat pribadi para guru melainkan hanya karena sekadar ikut-ikutan saja demi mematuhi aturan yang dikeluarkan sekolah tempatnya mengajar? Atau benarkah memang ada sebagian guru yang secara khusus, karena dilatari paham keagamaan tertentu yang kemudian berbeda pendapat soal syirik tidaknya dua aktivitas itu?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ABI Press pun mewawancarai beberapa orang guru yang hadir sebagai peserta Mukernas Pendidik Guru Agama Islam se-Indonesia yang tergabung dalam AGPAII (Asosiasi Guru Pendidik Agama Islam Indonesia) pada Sabtu (22/3), di Islamic Center Bekasi.
Adalah Muhammad Syarif Ali, guru Agama Islam SDN Simokerto 8 Surabaya, yang beranggapan bahwa menghormat bendera tergolong perilaku syirik. Bukannya bermaksud tak menghormati atau tidak cinta negara RI beserta simbol-simbolnya. Tapi menurut Ali, menghormat bendera sampai harus mengangkat tangan itu termasuk tindakan yang berlebihan, sebab bendera itu hanya benda mati. Berbeda halnya dengan penghormatan kepada manusia. Dia pun menyontohkan, pada tahun 90-an, ada perintah dari dinas pendidikan agar setiap murid yang akan masuk kelas, harus berdiri dan memberi hormat terlebih dulu pada bendera kecil yang ada di atas meja guru selain kewajiban menghormat kepada sang guru sendiri. Itu pun menurutnya berlebihan karena untuk menghormati simbol negara, tentu tak perlu harus sampai mengangkat telapak tangan dalam posisi menghormat semacam itu.
“Biarkan saja bendera dikerek sebagai simbol negara, saya setuju Merah-Putih itu simbol yang wajib kita pertahankan,” kata Ali. “Tetapi menghormat terlalu berlebihan pada benda mati, bagi muslim yang akidahnya sudah mantap, itu yang saya pikir perlu dintinjau kembali. Karena penghormatan kepada manusia dan terhadap benda sudah barang tentu tak bisa disamakan. Di situlah mesti dipertimbangkan asas proporsionalitasnya,” tambahnya.
Lebih dari itu Ali merasa khawatir perbuatan semacam itu lama kelamaan bisa terjatuh dalam kategori syirik. “Sebab perbuatan riya’ saja sudah termasuk syirik, apalagi menghormati bendera dengan cara berlebihan bahkan menyamakan penghormatan atasnya sebagaimana penghormatan terhadap makhluk hidup, padahal bendera kan benda mati,” tegasnya.
Berbeda dengan Ali, Drs. H. Tondo Wasito, MPd, guru Pendidikan Agama Islam dari SMKN 3 Bojonegoro berpendapat bahwa penghormatan dengan mengangkat tangan pada bendera tidak bisa disebut syirik. Meski menurutnya, anggapan semacam itu boleh-boleh saja, tapi secara pribadi dia nyatakan bahwa penghormatan terhadap bendera Merah-Putih itu tidaklah syirik. Karena yang dihormati bukanlah fisik benderanya melainkan posisinya sebagai lambang negara. Jadi, penghormatan itu dilakukan demi menghormati negara, atau tepatnya jasa para pejuang yang telah memerdekakan negara, dan bukan menghormati kainnya.
“Buktinya, kalau kainnya usang ya dibuang begitu saja kok,” jelas Wasito lalu menambahkan bahwa syirik dapat dibagi dua, pertama syirik rububiyah, berarti menganggap ada kekuatan atau tuhan lain di jagad ini selain Allah. Sedangkan yang kedua syirik hulubiyah, yaitu menyembah sesuatu selain Allah.
Dugaan Wasito, orang yang berpendapat tentang syiriknya penghormatan pada bendera itu mungkin menganggap tindakan itu sebagai jenis syirik yang kedua ini. Meski Wasito juga yakin, tidak ada orang yang sampai berpikir untuk menyembah bendera. Apalagi hanya dengan cara mengangkat telapak tangan yang menurutnya tergolong wajar dan tak berlebihan. “Jadi intinya, kembali ke hati masing-masing, lah. Penyembahan itu kan sampai ke hati ya. Lain halnya kalau sampai ada aturan yang mewajibkan setiap siswa sekolah sebelum masuk kelas untuk sujud. Nah, saya kira itu baru berlebihan namanya,” pungkasnya.
Lalu bagaimana pendapat para guru, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan Islam? Untuk mengetahui pandangan mereka, ABI Press mendatangi SMP Al-Azhar di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Mukhtar, salah seorang guru di sekolah ini menjelaskan bahwa dalam konteks keindonesiaan, hormat pada bendera itu tidaklah syirik. Itulah sebabnya, tiap dua minggu sekali, tepatnya pada minggu ke dua dan ke empat, Al-Azhar tetap menyelenggarakan upacara bendera lengkap dengan seluruh prosesinya, termasuk pengibaran bendera Merah-Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Menurutnya hal ini rutin dilakukan sebagai upaya pendidikan kebangsaan sekaligus latihan kedisiplinan bagi para siswa. Karena itu Mukhtar menganggap upacara masih cukup penting untuk dilaksanakan. Apalagi anak yang disiplin dalam upacara, biasanya berkolerasi dengan prestasi mereka di dalam kelas.
“Jadi, dalam konteks keindonesiaan, saya kira upacara bendera itu tidak ada pertentangannya dengan agama,” tegas Mukhtar.
Senada dengan Mukhtar, Masruroh S.Ag, kepala SMK Al-Falah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan menegaskan bahwa Al-Falah masih menggelar upacara bendera setiap hari Senin. Menurutnya upacara bendera adalah ajang pendidikan bagi para murid untuk berani tampil di depan teman-temannya sekaligus melatih mereka untuk bersikap disiplin dan bertanggung jawab. Dalam kegiatan itu, selain ditanamkan rasa cinta Tanah Air atau nasionalisme kebangsaan, para siswa juga dididik untuk menjadi seorang pemimpin.
“Syirik dari mana?” Masruroh tampak kaget dan balik bertanya saat ABI Press meminta tanggapannya atas pandangan sebagian orang, khususnya para guru yang menganggap menghormat bendera itu syirik. Dia menekankan pentingnya penjelasan lebih rinci terkait hal itu agar tidak timbul pandangan yang terlalu ekstrim. Karena upacara dalam konteks keagamaan adalah ritual untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan dalam konteks kenegaraan, upacara adalah ritual untuk lebih mencintai Tanah Air, bangsa dan negara. Itulah pandangan Masruroh.
“Jadi, hormat bendera itu kan untuk menghormati para pahlawan yang telah ikut memperjuangkan negeri ini, dan hal itu saya kira bukanlah syirik. Syirik itu kan mencari pertolongan kepada selain Allah,” tutur Masruroh mengingatkan bahwa dalam upacara bendera secara tidak langsung kita akan diingatkan kembali bagaimana negara ini diperjuangkan oleh para pahlawan. Sementara prosesi upacara bendera sendiri hanyalah salah satu cara untuk mengenang jasa para pahlawan dan menanamkan semangat nasionalisme itu. (Lutfi/Yudhi)