Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Pandangan Sunni dan Syiah tentang Sunah Nabi SAW [1/2]

Pandangan Sunni dan Syiah tentang Sunah Nabi SAW [2/2]

Pandangan Sunni dan Syiah tentang Sunah Nabi SAW [1/2]

Kedua mazhab sepakat atas keyakinan akan wajibnya mengamalkan sunah Rasulullah SAW sebagai salah satu sumber syariat Islam. Karena sunah Rasulullah, baik yang berupa sirah, hadis, maupun persetujuan (taqrîr) sampai kepada kita melalui perantara riwayat yang diriwayatkan dari beliau, kedua mazhab ini berbeda pendapat dalam dua hal:

  • Sebagian perantara (perawi) yang menukilkan riwayat dari Rasulullah SAW.
  • Kebolehan menulis hadis Rasulullah SAW pada abad pertama Hijriah.

Kita akan menelaah masing-masing perbedaan pendapat tersebut pada pembahasan berikut ini, insyâ-Allah.

Tentang Para Perawi Hadis Nabi SAW

Dari pembahasan yang telah lalu tentang sahabat dan konsep imâmah dapat diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW, para pengikut mazhab Ahlulbait as mengambil ajaran-ajaran agama mereka dari para imam Ahlulbait as yang berjumlah dua belas orang. Hal ini berbeda dengan para pengikut mazhab Khulafâ’ yang mengambil ajaran-ajaran agama mereka dari setiap sahabat Rasulullah SAW tanpa ada pembedaan dan pemilahan di antara mereka, karena seluruh sahabat—menurut perspektif mereka—adalah figur-figur adil. Tidak sama halnya dengan para pengikut mazhab AhlulBait as. Mereka tidak pernah merujuk kepada beberapa orang sahabat seperti Mu‘âwiyah dan ‘Amr bin ‘Âsh yang telah memeranginya pada perang Shiffîn, Dzil Khuwaishirah dan Abdullah bin Wahb yang telah memeranginya pada perang Nahrawân, serta Abdurrahman bin Muljam pembunuh Imam Ali.

Baca juga : Pandangan Sunni dan Syiah tentang Sunah Nabi SAW [2/2]

Begitu juga mereka tidak mengambil (ajaran-ajaran agama mereka) dari para musuh Ali, baik mereka termasuk dalam golongan sahabat, tabiin, para pengikut tabiin, maupun seluruh tingkatan para perawi hadis.

An-Nasa’î—misalnya—meriwayatkan di dalam Ash-Shahîh-nya dari Umar bin Sa‘d, pembantai Imam Husain. Para ulama Rijâl berkata dalam biografi-nya:
“Ia adalah orang yang jujur dan terpercaya. Akan tetapi, masyarakat mencelanya lantaran ia menjadi komandan laskar yang telah membantai Husain bin Ali.”

Imâmul Muhadditsîn Bukhârî tidak meriwayatkan satu hadis pun di dalam Ash-Shahîh-nya dari Imam  Ja‘far bin Muhammad Ash-Shâdiq, imam keenam Ahlulbait as yang ribuan ahli hadis dari kalangan pengikut mazhab Ahlulbait meriwayatkan ribuan hadis darinya.

Atas dasar ini, terdapat perbedaan pendapat secara konsep antara kedua mazhab ini —seperti telah kita lihat sampai di sini— tentang dari perawi manakah mereka harus mengambil hadis Rasulullah SAW.

Baca juga : Memahami Keyakinan Mazhab Syiah untuk Mencari Titik Temu

Tentang Realita Penyebaran Hadis Nabi SAW

Di samping penjelasan yang telah kami paparkan itu, ajaran-ajaran kedua mazhab ini telah membatasi sikap para pengikut masing-masing mazhab terhadap realita penyebaran hadis (Rasulullah) dengan batasan-batasan tertentu. Ketika para khalifah melarang penulisan dan penyebaran hadis Rasulullah SAW, Syiah bersemangat dalam menyebarkan hadis-hadis Nabi SAW.

Perbedaan ini mulai muncul sejak akhir-akhir kehidupan Rasulullah ketika beliau bersabda: “Ambilkanlah sebuah kertas untukku supaya kutuliskan sepucuk surat (wasiat) yang kamu sekalian tidak akan tersesat setelah surat itu.”

Dari sebagian riwayat dapat dipahami bahwa mereka telah melakukan pelarangan terhadap penulisan hadis Rasulullah SAW sebelum itu dan pada masa beliau masih sehat. Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh berkata: “Aku senantiasa menulis segala sesuatu yang kudengar dari Rasulullah. Setelah itu, kaum Quraisy mencegahku dan mereka mempertanyakan, ‘Apakah engkau menulis segala sesuatu yang kau dengar dari Rasulullah SAW sedangkan ia adalah manusia biasa yang dapat berbicara dalam kondisi marah dan rida?’

Aku pun berhenti menulis. Lalu kuceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau mengisyaratkan telunjuk ke arah mulutnya seraya bersabda, ‘Tulislah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak akan keluar darinya kecuali kebenaran.’ *

Di dalam dialog dengan Abdullah tersebut, mereka sendiri telah menjelaskan faktor pelarangan penulisan hadis Rasulullah SAW itu. Yaitu, mereka khawatir akan diriwayatkan suatu hadis tentang beberapa orang yang beliau sabdakan ketika beliau sedang rida terhadap mereka dan suatu hadis lain tentang orang-orang tertentu yang beliau sabdakan pada saat beliau murka terhadap mereka.

* Sunan Ad-Dârimî, Al-Muqadimah, bab Man Rukhkhisha fî Al-Kitâbah, jil. 1, hal. 126; Sunan Abi Dâwûd, bab Ktâbah Al-‘Ilm, jil. 2, hal. 126; Musnad Ahmad, jil. 2,
hal. 162, 192, 207, dan 215; Mustadrak Al-Hâkim, jil. 1, hal. 105-106; Jâmi‘ Bayân Al-‘Ilm wa Fadhlih, karya Ibn Abdil Barr, cet. ke-2, Al-‘Âshimah, Kairo, tahun 1388
Hijriah, jil. 1, hal. 85.

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh Al-Qurasyî As-Sahmî. Ibunya adalah Raithah binti Munabbih As-Sahmî. Ia lebih kecil dari ayahnya sebelas atau dua belas tahun. Para
ahli sejarah berbeda pendapat berkenaan dengan kematiannya; apakah ia meninggal di Mesir, Tha’if, atau Mekkah? Apakah ia meninggal dunia pada tahun 63 atau 65 Hijriah? Silakan merujuk biografinya di dalam Usud Al-Ghâbah, jil. 3, hal. 23, An- Nubalâ’, jil. 3, hal. 56, dan Thadzîb At-Tahdzîb, jil. 5, hal. 337.

Sayyid Murtadhâ Al-‘Askarî, dalam bukunya Syiah dan Ahli Sunnah

Baca juga : Apa dan Bagaimana Syiah [bag 2]

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *