Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Pancasila, Api Islam Soekarno

Islam dalam rekaman sejarah pernah menjadi salah satu titik pusat perhatian Soekarno dalam sejumlah momen hidupnya, terutama pada dekade 1930-an hingga awal 1940-an. Bahkan karena kebernasan visi dan pemikirannya terkait Islam ini, sejumlah pihak menyebut proklamator kemerdekaan Indonesia itu sebagai salah satu mujaddid atau pembaharu pemikiran Islam.

Soekarno sejatinya bukan seorang yang lahir dari keluarga yang kental mempraktikkan ajaran Islam. Ayah Soekarno, Raden Soekemi Sosrosihardjo yang secara formal beragama Islam, lebih dikenal sebagai penganut teosofi Jawa. Sementara ibunda Soekarno, Ida Ayu, adalah seorang pengaut Hindu Bali.

Perkenalan Soekarno dengan gagasan dan pemikiran Islam tatkala sang ayah menitipkan Soekarno remaja kepada sahabatnya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam di Surabaya. Pengetahuan Islam Soekarno juga diperolehnya dari pendiri Muhammadiyah, Kyai Ahmad Dahlan, yang sering diundang Tjokroaminoto mengisi ceramah di Surabaya. Saat itu Soekarno berusia 15 tahun.

Dalam pidato pembukaan Muktamar Muhammadiyah tahun 1962, Soekarno mengatakan menangkap “api Islam” dari tabligh-tabligh Kyai Ahmad Dahlan yang rutin ia ikuti seminggu tiga kali. Dari Tjokroaminoto, Soekarno memeroleh gagasan Islam dan nasionalisme. Dari Kyai Ahmad Dahlan, Soekarno memperoleh gagasan pembaruan pemikiran Islam.

Cakrawala berpikir Soekarno berkembang semakin luas saat pindah ke Bandung dan intens terlibat dalam pergerakan kemerdekaan. Pergaulan Soekarno dengan banyak aktivis pergerakan dan keterbukaannya mempelajari teologi agama dan kepercayaan lain menumbuhkan kesadaran pada dirinya terkait pentingnya kemerdekaan beragama sebagai bagian dari kemerdekaan individu.

Soekarno kian dekat dengan Islam saat ditangkap dan dipenjara Banceuy (sejak Desember 1929 selama sekitar 8 bulan. Di sinilah Soekarno menyusun pledoinya yang terkenal Indonesie Klaagt Aan, Indonesia Menggugat) dan penjara Sukamiskin (9 Desember 1930 31 Desember 1931) di Bandung akibat aktivitas politiknya. Sehari lima kali ia menjalankan salat 5 waktu, berpuasa, bersujud, dan kemudian ia semakin erat dengan Sang Pencipta.

Persentuhan Soekarno dengan Islam semakin intens ketika ia dibuang ke Ende, Flores, pada tahun 1934-1938. Soekarno aktif berkorespondensi dengan A. Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Terhitung ada dua belas surat Soekarno kepada A. Hassan, yang belakangan dikenal sebagai Surat-Surat Islam Dari Ende.

Perhatian besar Soekarno terhadap Islam terus berlanjut saat penguasa kolonial memindahkan pembuangannya ke Bengkulu sejak 1938. Di sana, Soekarno terlibat dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah.

Soekarno kerap menuliskan pemikiran-pemikirannya terkait Islam yang berwatak progresif di majalah dan mendapat tanggapan dari sejumlah intelektual muslim saat itu, antara lain A. Mukhlis (konon nama samaran dari Muhammad Natsir), A. Hassan, Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, KH. Mahfud Shiddiq, kemudian KH Sirajuddin Abbas. Puncak pemikiran Soekarno yang lebih utuh ini termuat pada majalah Panji Islam yang terbit tahun 1940 di Medan.

Islam yang Berkemajuan

Bernhard Dahm yang mengkaji pemikiran Soekarno mengatakan bahwa ada tiga kunci pemikiran Soekarno mengenai Islam. Pertama, Islam itu adalah agama yang sangat menekankan persamaan derajat. Kedua, Islam itu rasional (masuk akal) dan simplicity (bisa diperluas kalau perlu luas, dan bisa dipersempit kalau perlu sempit). Ketiga, Islam is progress, Islam adalah agama kemajuan.

Terkait kekhalifahan, Soekarno secara tegas menolak pandangan sebagian kalangan Islam yang memandang era khalifah sebagai tolok ukur kemajuan Islam. Menurutnya, umat Islam harus menyesuaikan dengan semangat zaman dan tidak terjebak dengan kisah kebesaran masa lalu. Konsep khilafah tidak relevan lagi bagi kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Soekarno juga mengkritik praktik diskriminasi terhadap kaum perempuan yang kerap berlangsung atas nama Islam. Pada awal tahun 1939, misalnya, ia pernah dengan sengaja meninggalkan Rapat Umum Muhammadiyah sebagai protes atas pemasangan kain tabir yang memisahkan peserta rapat laki-laki dan perempuan. Kritik ini di kemudian hari ia tuangkan dalam sebuah tulisan di majalah Panji Islam. Menurutnya, Islam tidak pernah mewajibkan tabir. Ia menilai tabir sebagai lambang perbudakan.

Semangat Pembaruan

Soekamo sangat menentang kebiasaan taklid buta di kalangan umat Islam, sebagai salah satu sebab kemunduran umat Islam. Ia malah menganjurkan umat Islam menyerap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, meski bukan produk Islam. Dalam suratnya yang ditulis pada tahun 1936, Soekarno mengkritik kecenderungan sebagian umat Islam yang gampang mengharamkan atau membid’ahkan hal-hal baru yang tidak tertulis dalam Alquran dan Hadis.

Soekarno juga mengkritik kebiasaan sebagian umat Islam yang gemar melontarkan tudingan kafir terhadap pihak-pihak atau berbagai hal berkaitan dengan non-Muslim, namun begitu mudah menganggap hal-hal yang bersifat simbolik atau berbau Arab sebagai ajaran atau wajah Islam, seperti onta, celak, kemenyan, dan jubah. Kepada golongan ini, ia menyindir mereka sebagai kelompok yang gagal menangkap api Islam, substansinya, dan hanya mendapatkan abu Islam.

Banyak tulisan Soekarno terkait Islam mengundang perhatian luas, di antaranya tulisan di majalah Panji Islam pada tahun 1940 yang berisi kritik tajamnya terhadap pemikiran sebagian orang Islam yang kerap hanya memperhatikan hal-hal yang tidak substansial dalam agama. Ia mengistilahkannya “Islam Sontoloyo”, yaitu orang yang berpikirnya terlalu legalistik, fikihiyah, hanya mementingkan kulit dan bukan isi.

Tulisan Islam Sontoloyo merupakan respons atas berita di surat kabar Pemandangan pada waktu itu yang memberitakan seorang guru dipenjara karena memperkosa muridnya. Guru tersebut memberikan pembenaran atas tindakannya dengan dalil-dalil agama. Itulah yang Soekarno maksudkan dengan Islam sontoloyo.

Nasakom Sebagai Taktik

Perhatian besar Soekamo terhadap Islam dan pemikiran Islam sayangnya tidak banyak berlanjut ketika Jepang datang dan menjajah Indonesia sejak bulan Maret 1942. Belasan tahun kemudian, tepatnya sejak akhir tahun 1950-an, dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI, sempat melontarkan gagasan Nasakom untuk mempersatukan kelompok Nasionalis, kelompok Agama, dan kelompok Komunis. Gagasan ini sempat memicu kontroversi karena ditolak beberapa kalangan.

Sebenamya konsep Nasakom itu adalah taktik Soekarno ketika bangsa Indonesia pada waktu itu menghadapi ancaman dan tantangan dari dalam dan luar negeri. Siapapun kekuatan bangsa Indonesia yang setuju untuk melawan neokolonialisme dan neoimperialisme, maka digalang. Termasuk saat itu PKI sebagai realitas politik sebagai partai terbesar keempat di Indonesia.

Penutup

Tidak semua pemikiran Soekamo mengenai Islam bisa diterima semua pihak. Namun kritik dan gagasan-gagasan progresifnya terkait Islam tetap relevan dikaji dan direnungkan kembali. Terutama ketika praktik kehidupan beragama di tanah air akhir-akhir ini mulai sering disesaki pandangan dan praktik keislaman yang lebih mengutamakan aneka simbol, dan bukan semangat. Kecenderungan yang berpuluh tahun lalu kerap dikritik oleh Soekamo. [Artikel ini merupakan nukilan dari “Islam di Hati dan Pikiran Soekarno”, program MetroTV ”Melawan Lupa”, 9 April 2018]

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *