Berita
Pahlawan dan Kepahlawanan
Penyebutan pahlawan yang dikenal di masyarakat, lazimnya terkait dengan perjuangan tertentu. Di antaranya perjuangan melawan penjajah dalam merebut kemerdekaan yang mengorbankan nyawa, harta dan keluarga. Karenanya di Indonesia, sebagai wujud penghargaan atas jasa dan pengorbanan semacam itu, ada penetapan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Adanya banyak hal yang dapat diperjuangkan di masyarakat, menjadikan banyak pula penisbatan pahlawan di masyarakat. Pahlawan devisa, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan kemerdekaan, dan lain sebagainya.
Untuk memperjelas apakah pahlawan itu, ABI Press melakukan wawancara dengan Dr. Muhsin Labib.
Berikut hasil wawancaranya;
Menurut Dr. Muhsin Labib, apakah arti kata pahlawan itu mengingat banyaknya penisbatan pahlawan di masyarakat?
Pahlawan itu kata serapan dari bahasa Parsi (Persia) yang berarti orang yang rela berkorban dan untuk orang banyak. Kemudian masuk dalam bahasa Indonesia, dijadikan sebagai kata dengan makna yang sama, yaitu pahlawan itu orang yang rela berkorban untuk orang banyak karena tujuan mulia. Jadi kalau orang meledakkan dirinya untuk menghancurkan orang lain, meskipun ia mengorbankan dirinya itu bukan pahlawan, itu penjahat.
Pahlawan ini manusia-manusia yang sudah selesai dengan dirinya. Kita memang tidak tahu mana yang pahlawan sejati dan mana yang tidak, tapi yang jelas orang-orang yang disepakiti dalam sejarah itu ada pahlawan agama, pahlawan kemanusiaan, dan ada pahlawan bangsa.
Pahlawan agama, orang-orang yang membela agama dan berkorban untuk itu. Pahlawan itu lebih luas artinya daripada martir. Kalau martir itu sudah pasti pahlawan, tapi pahlawan yang gugur. Tapi kan tidak semua pahlawan gugur. Mereka (yang tak gugur) juga pahlawan. Jadi sebagian pahlawan itu martir, syahid. Tapi tidak semua pahlawan itu martir. Sampai sekarang masih ada pahlawan-pahlawan di sekitar kita yang hidup dan bahkan tidak kita kenal. Hero; Orang yang berbuat untuk orang lain tapi sampai meninggal pun tetap tak dikenal.
Lalu ada juga pahlawan kemanusiaan, yang bersifat global. Contohnya orang-orang yang rela menjadi relawan di daerah-daerah konflik (rawan). Misalnya sampai ada yang terkena virus Ebola, karena dia menjadi perawat di daerah Afrika. Mereka (perawat-perawat) itu adalah pahlawan-pahlawan.
Yang ketiga adalah pahlawan negara, pahlawan bangsa, artinya mereka yang berjuang untuk sekelompok orang yang memiliki kesamaan dengan dia (sang pahlawan). Kesamaan darah, kesamaan sejarah, kesamaan daerah, kesamaan identitas, kesamaan bahasa, kesamaan budaya.
Ini sudah jelas kita punya tiga jenis pahlawan, kemudian ada pahlawan yang dianugerahi bintang, dan ada pahlawan yang tidak dikenali. Bahkan yang lebih banyak adalah pahlawan yang tidak dikenali. Malah sebagian yang dikenal bukan pahlawan sebetulnya, (maksudnya) bukan pahlawan dalam arti yang sebenarnya. Tapi yang lebih tulus adalah pahlawan yang sampai meninggal pun tidak dikenali, dan tidak ingin dikenali.
Apakah peristiwa kepahlawanan di Hari Pahlawan 10 November tahun ini?
Nah, di bulan ini ada dua kepahlawanan yang kita kenang. Kepahlawanan di kalangan umat Islam juga kemanusiaan sekaligus, dan kepahlawanan bangsa yang tiap tanggal 10 November biasa kita peringati sebagai hari pahlawan, mengacu pada perjuangan arek-arek Suroboyo (Surabaya) di bawah komando Bung Tomo (Sutomo) dengan teriakannya Allahu Akbar.
Pertama, kita mengenang kepahlawanan Sayyidina Husein sebagai pahlawan kemanusiaan. Karena Sayyidina Husein dalam peristiwa Asyura yang diperingati pada 10 Muharam (tahun ini pada 4 November 2014) yang berdekatan dengan tanggal 10 November, membawa misi kemanusiaan bukan hanya misi agama Islam. Tentu ia juga adalah salah satu tokoh utama Islam. Ia membawahi dua heroisme, heroisme kemanusiaan dan heroisme Islam. Melawan Yazid yang anti kemanusiaan dan mencoreng Islam. Jadi, Imam Husein itu pahlawan kemanusiaan sekaligus pahlawan Islam.
Tanggal 10 November disebut sebagai Hari Pahlawan karena saat itu, kota yang sangat strategis yang apabila jatuh ke tangan penjajah, habislah Indonesia. Mungkin, sekarang kita belum merdeka (bila jatuh). Bukan berarti aksi kepahlawanan hanya ada di Surabaya, sebetulnya banyak peristiwa kepahlawanan dan pahlawan-pahlawan di tempat-tempat lain.
Sebetulnya yang lebih penting daripada hari, saya lebih setuju tanggal 10 November disebut dengan Hari Kepahlawanan ketimbang Hari Pahlawan. Ya, Hari Pahlawan bisa juga dimaknai sebagai Hari Kepahlawanan. Cuma jangan sampai terkesan hanya menyosok, hanya terfokus pada figur tertentu. Padahal yang lebih penting dari orangnya adalah karakteristiknya, visinya, spiritnya. Karena itu Hari Kepahlawanan lebih pas, lebih luas ketimbang Hari Pahlawan. Tapi kalau Hari Pahlawan sudah dimaknai sebagai Hari Kepahlawanan meskipun namanya Hari Pahlawan ya ngga apa-apa.
Apakah seseorang yang disebut pahlawan, harus mati terlebih dahulu?
Pahlawan itu, banyak orang menganggap, dikenal ketika mati. Padahal pahlawan itu, dianggap pahlawan dari cara hidup yang dipilihnya. Bukan cara mati, bukan bagaimana ia mati. Tapi bagaimana ia memilih cara untuk hidup. Ternyata pahlawan itu, kematian baginya adalah cara hidup.
Al-Qur’an menyebut, Dan janganlah kamu mengira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu, adalah orang-orang yang mati (jangan kau kira mereka mati) tapi mereka hidup dan mendapatkan rizki di sisi Allah (QS. Ali Imrân: 169). Artinya Para pahlawan itu memilih hidup yang lebih sempurna. Yang kelihatannya mati, menurut Al-Qur’an mereka tidak mati. Karena mereka memaknai hidup itu jauh lebih besar daripada orang-orang lain. Sehingga yang terlihat kematian sebetulnya adalah kehidupan yang jauh lebih sempurna.
Nah, orang yang hidup dengan kehinaan itu adalah mati menurut mereka (para pahlawan). Sekarang pilihan kita, apakah mati dengan mulia lebih bagus, apakah hidup dengan hina lebih bagus. Menurut para pahlawan, hidup yang hina itu itulah kematian. Sebaliknya mati dengan kemuliaan itu adalah kehidupan. Karena hidup itu tidak hanya dibatasi oleh raga. Hidup itu spirit. Hidup itu visi. Hidup itu harapan. Hidup itu keyakinan. Hidup itu pengorbanan. Dari itu mereka (pahlawan) muncul. Karena itu mereka menganggap kehidupan yang sekarang ini, bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan habis-habisan. Karena yang lebih penting dari kehidupan itu adalah kehidupan dalam bentuk kemerdekaan. Yang dengan kematiannya secara fisik bisa menciptakan kehidupan.
Jadi mindset kita tentang pahlawan jangan sekali-kali menganggap pahlawan itu dihargai ketika mati. Sebaliknya, kita menganggap pahlawan karena cara matinya yang kita hormati, karena cara hidupnya. Bagaimana ia memaknai hidup itulah mengapa mereka disebut pahlawan. Bagaimana mereka rela berkorban, rela menghabiskan semua yang dia miliki. Meninggalkan anaknya, istrinya, keluarganya, supaya orang lain bisa hidup tenang, supaya orang lain bisa hidup merdeka, supaya orang lain bisa mulia. Saya kira tidak ada yang lebih mulia daripada pahlawan selain Nabi dan orang-orang suci.
Pahlawan-pahlawan sejati adalah yang tidak hanya ketika wafatnya mulia tapi mulai dari hidupnya juga sudah menjalani laku kepahlawanan. Dia sudah hero sejak hidupnya. Bukan kita kenang ketika dia meninggal. Nah, kita kebanyakan, mengenang orang setelah mati sehingga kita tidak bisa mengapresiasi dia dan meneladaninya dengan nyata.
Lalu, apakah pentingnya hari-hari peringatan kepahlawanan itu bagi masyarakat?
Saya menganggap Hari Pahlawan itu sebagai Hari Kepahlawanan supaya kita bisa meneladaninya, dan pahlawan pun bisa terlahir terus. Karena itu, jika yang kita peringati seakan-akan hanya kepada pahlawannya lalu yang hendak kita raih apa? Meneladani kepahlawanannya, meneladani, mengingat, membesarkannya. Supaya orang tidak melupakan, selain itu supaya kita bisa menirunya. Pahlawan apa saja? ya, pahlawan kemanusiaan, pahlawan Islam seperti Imam Husein di Hari Asyura itu kita peringati karena kepahlawanannya, karena pengorbanannya, karena perjuangannya, karena misinya.
Karena kepahlawanannya pun kita menghormatinya sebagai pahlawan. Jadi sebelum ada pahlawan, kepahlawanan lebih dulu ada. Yang dengan kesadarannya dia raih kepahlawanan sebagai pilihan, pilihan hidup.
Bagaimana memperingati kepahlawanan itu?
Bisa bermacam cara sesuai dengan budaya masyarakat yang di sekitar. Tapi inti semuanya, ingin menghidupkan dan meneladaninya sehingga mereka tidak pernah mati dan hidup di dada setiap pejuang. Selalu hidup di tiap generasi orang-orang yang mengingat dan tahu jasa budi orang-orang yang berjuang. Kalau kita memperingati 10 Muharam, mestinya yang kita ingat adalah kepahlawanan Imam Husein.
Dulu orang biasanya memandikan keris, ya orang hanya ingat keris dan air mawar. Padahal maksudnya memandikan, mensucikan, karena habis berjuang dan sebagai persiapan untuk melawan penjajah, tapi kadang kita memaknai itu seakan-akan hanya peristiwa klenik, ritus klenik. Padahal awalnya memandikan dan mensucikan keris agar selain tidak berkarat juga untuk bersiap berjuang lagi.
Mengapa orang memakai beskap (ikat pinggang) yang di belakangnya ada kerisnya, supaya untuk mengikat sehingga kerisnya selalu ada bersama. Karena perjuangan tidak pernah selesai dan waktu itu penjajah silih berganti datang mengambil kekayaan bangsa.
Itu semua harus diingat substansinya. Grebek Suro, Jenang Suro, apa maksudnya itu, jenang putih bertabur merah. Itu maksudnya apa? Ya, merah putih ini adalah putih itu cinta, merah itu pengorbanan. Cinta tanpa pengorbanan, bukan cinta, pengorbanan tanpa cinta juga bukan pengorbanan. Jadi itu sebuah kombinasi yang pas.
Karena itu Asyura harus benar-benar dihidupkan, dalam arti kata bukan hanya semata-mata dirayakan. Bukan dibuat pesta tapi merenungkan jasa orang-orang yang rela memilih mati dengan cara mengenaskan demi menghidupkan orang. Seandainya tidak ada kisah perjuangan Asyura melawan tirani Yazid mungkin kita kehilangan contoh teladan untuk perjuangan.
Bagaimana menghormati pahlawan itu?
Saya menghormati karena saya disuruh menghormati, berbeda dengan saya menghormati orang itu karena terlihat layak untuk dihormati. Kan berbeda, sudah begitu dua-duanya dapat
dianjurkan kita untuk menghormatinya dan kita memang melihat bahwa mereka adalah para pejuang.
Nah, pahlawan bangsa juga begitu. Kita harus menghormatinya, baik dia Muslim maupun bukan, karena kemanusiaan, kan. Dan kita harus sadar, meskipun sebagian besar pahlawan-pahlawan bangsa negara kita, Indonesia, sebagian Muslimin tapi kita juga ngga boleh melupakan kalau ada pejuang-pejuang non-Muslim dari beragam agama, beragam suku, yang itu juga harus dihormati.
Penghormatan itu universal, mengenang jasa orang itu etika global. Itu tidak dibatasi oleh sekat-sekat keyakinan yang formal. Karena apa? Yang lebih luas jangkaunannya dari agama formal adalah etika, adalah fitrah kemanusiaan. Dan karena itu kita menghormati orang.
Kalau kita menghormati orang, kita tidak melihat dulu kolom agamanya. Ketika dia berperilaku baik, bersikap baik, menghormati, menghargai, apalagi berkorban, ya, kita akan menghormatinya spontan, meresponnya tanpa melihat apa agamanya, apa keyakinannya. Karena apa? Titik temu kita adalah etika, moral kemanusiaan.
Menurut anda, bagaimana Islam memandang pahlawan?
Pahlawan adalah pejuang, cuma dalam bahasa Arabnya disebut dengan mujahid. Dulu kata jihad, kata mujahid itu identik dengan para pahlawan yang berkorban. Ironisnya, sekarang kata jihad sudah dinodai oleh tindakan-tindakan orang-orang yang mengambil hak orang lain, merampas hak ketenangan orang lain, merampas hak hidup orang lain. Karena itu yang perlu adalah kita kembalikan kata jihad itu ke arti yang sebenarnya, dengan mengenang para pahlawan itu. Supaya jihad itu tidak identik dengan para pembunuh, pelaku-pelaku kejahatan mengatasnamakan agama. Jelaslah mereka bukan atau tidak melakukan jihad. Tapi mereka adalah jahat. Mereka bukan jihadis tapi penjahat, bukan mujahid, bukan pejuang.
Pejuang itu dinilai juga dari caranya berjuang. Kalau anda merasa punya niat mulia, lakukan dengan cara mulia. Tidak cukup dengan niat yang mulia. Niat baik tidak cukup, caranya juga harus baik. Anda ingin berjuang mengatas namakan Islam, memperjuangkan Islam, ya jangan nodai Islam dong.
Anda mau berjuang? Arenanya ke musuh yang sudah jelas penjajah, Zionis Israel. Kenapa bergeser ke tempat-tempat lain?
Apa tanggapan anda tentang anggapan syirik dan bid’ah, bagi yang mengenang pahlawan dengan menziarahi makamnya?
Menaburkan bunga, mengunjungi, menziarahi, itu juga tetap penting dan punya maknanya tersendiri. Dan mengenang kepahlawanan harus dikembalikan kepada arti yang sebenarnya supaya orang ingat. Ironisnya orang-orang yang sering ngomong jihad, tidak pernah mengenang pahlawan. Bahkan, mengunjungi makam-makam pahlawan dianggap sebagai syirik, sebagai bi’dah. Dianggap kita menyembah kuburan. Mereka yang menuduh (syirik dan bid’ah melakukan ziarah) itu menganggap kita ini sebodoh itu, sehingga ingin menyembah kuburan.
Kita ini di kuburan baca Al-Fatihah, kita di kuburan menyebut nama Allah. Kenapa dituduh syirik? Apakah makam pahlawan mau dijadikan lapangan sepak bola saja? Atau bagaimana? Masa orang Islam tidak punya penghargaan terhadap itu? Apalagi Al-Qur’an mengatakan, mereka tidak terbunuh, mereka yang terbunuh tidak mati. Kalau tidak mati jangan perlakukan mereka (pahlawan) seperti orang mati. Malah mereka (pahlawan) itulah yang hidup.
Dengan menuduh syirik dan bid’ah orang-orang yang ingin menghargai pahlawan dan kepahlawanan, jelaslah itu merusak, mencoreng nama Islam, dan menodai kata jihad. Jihad harus dibersihkan dari pemaknaan-pemaknaan yang kaku, dan yang jelas, ektremisme itu bukan jihad. Ektremisme, adalah kegagalan memaknai Islam secara rasional.
Dalam Islam sendiri siapa yang layak dijadikan contoh kepahlawanan yang sesuai dengan konteks kebangsaan kita, hubbul wathan?
Kalau pahlawan, banyak ya. Ini apakah pahlawan dalam arti bangsa, seperti saya katakan. Selain itu, agama memang mengharuskan kita cinta kepada harta milik kita. Negara ini kan harta kita, aset kita. Jadi orang yang mati untuk membela hartanya, untuk membela kehormatannya itu syahid. Itu harus dihormati.
Dan seperti saya katakan tadi, bahwa moral, nilai kemanusiaan, sikap orang lebih memilih untuk mati mulia daripada hidup hina di bawah penjajahan, itu ndak perlu ayat atau hadis untuk diterima semua orang. Kita punya pahlawan-pahlawan yang banyak dalam hal ini. Nah, kalau dalam Islam, orang yang berjuang atas dasar hubbul wathan, karena kecintaan pada negara itu karena kita memang dianjurkan untuk membela orang-orang terdekat kita, membela sesama bangsa kita, atau orang yang berada di antara kita. Wal akrabuna aula bil mahruf, orang-orang terdekat itu yang lebih layak untuk mendapatkan kebaikan. Kalau anda mau berbuat baik, ya lihatlah orang sekitar anda, paling dekat dengan anda, sekitar kita, keluarga kita. Setelah lingkungan keluarga kita, maka lingkungan sekitar kita yang lebih luas lagi, ya sebangsa setanah air.
Bagi saya, mencintai dan membela kehormatan itu kewajiban dalam semua agama. Islam tentu menegaskan itu. Jadi apakah kita harus cinta tanah air? Lha, orang tidak cinta tanah air berarti tidak mencintai dirinya dong. Karena dirinya adalah bagian dari tanah air, dia hidup dari situ, dia menghirup udara di situ, dia hidup di atas tanah itu. Terus dia tidak mau berjuang untuk itu, lah itu cacat secara kemanusiaan namanya, cacat moral itu.
Apakah yang perlu diingat dari pahlawan itu?
Tindakan anti kepahlawanan yang lebih perlu kita ingat daripada pahlawannya. Sekarang ini ada yang menjalankan peran anti kepahlawanan. Bahkan dua hal ini, sampai sekarang menjadi ancaman bagi negara kita. Pertama intoleransi, ini anti-kepahlawanan dan yang kedua, korupsi. Intoleransi itu adalah pengabaian hak orang lain. Itu jelas musuh kepahlawanan. Kalau kita sudah mulai terjangkiti intoleransi, berarti kita sudah memerankan sikap anti pahlawan, kontra pahlawan.
Nah, toleransi itu luas cakupannya bukan hanya kepada sesama Muslim, atau sesama masyarakat. Tapi juga antar sesama teman dalam pergaulan. Jika anda tidak bisa menerima orang lain berbeda karakter dengan anda, itu berarti anda sudah intoleran. Anda membatasi pergaulan hanya dengan orang tertentu, itu berarti anda sudah intoleran. Jadi intoleransi itu mencakup semuanya.
Atau, mengukur orang dengan status sosialnya, dengan kekayaannya, dengan penampilannya, itu sendiri benih intoleransi.
Tentu, di antara semua intoleransi yang paling buruk, adalah intoleransi yang menggunakan kedok agama. Mengusir orang hanya karena orang itu berbeda. Membenci orang, bahkan bukan hanya membenci, tapi dia beraktivitas untuk menebar kebencian dan berjuang untuk itu. Inilah contoh perjuangan anti kepahlwanan. Itu yang perlu diwaspadai.
Dan yang kedua, musuh kita yang sampai sekarang masih ada itu adalah korupsi. Makanya orang yang melakukan korupsi atau koruptor itu adalah manisfestasi dari tindakan anti kepahlawanan, itu menodai perjuangan para pahlawan. Para pahlawan, mereka rela berkorban supaya ada masyarakat yang baik. Tapi ada sekelompok orang yang rela menggebu-gebu, mengerogoti kekayaan orang lain, menciptakan kehancuran. Pranata sosial dihancurkan dengan perilaku-perilaku yang hanya ingin menguntungkan diri sendiri, memperkaya diri sendiri. Mereka inilah musuh-musuh kita sebenarnya. Jadi musuh kita yang utama adalah intoleransi dan korupsi.
Karena kita bermasalah bukan dengan satu dua orang. Nah, kesadaran tentang ini tidak ada. Mestinya hari kepahlawanan itu dimaknai supaya orang tidak cuma tahu pahlawan-pahlawan tapi apa subtansinya. Hari Pahlawan malah rame-rame diperingati dengan nyanyi-nyanyi, bukan berarti kita menganggap itu buruk. Tapi selain membesarkan peringatannya dengan bentuk-bentuk begitu, yang lebih penting itu adalah ini waktunya merenungkan, ini waktunya evaluasi, ini waktunya menghargai, ini waktunya meneladani pilihan hidup mereka, kepahlawanan mereka. Supaya hasil kerja mereka, para pahlawan itu tidak sia-sia.
Bagaimana membentuk atau menciptakan generasi bermental pahlawan itu sendiri?
Sebelum menjadi pahlawan dia harus tahu dulu dirinya, hak dan tanggung jawabnya sebagai salah satu person, individu di dalam masyarakat. Dia harus tahu batas dia. Karena dia tidak sendiri, ada orang lain. Tidak perlu berkorban sebenarnya, ketika setiap orang itu menjalankan tugasnya, tahu haknya, tahu kewajibanya, maka berarti masyarakat ini sudah menjadi pahlawan, satu masyarakat itu sudah pahlawan. Lalu mengapa perlu pengorbanan? Ya karena ada orang yang mengambil hak orang lain.
Nah, kalau semua sudah berperilaku baik, masyarakatnya adalah masyarakat pahlawan, bukan hanya satu-dua orang. Bayangkan kalau kita sudah adil, kita akan sibuk membantu bangsa-bangsa lain.
Kita iri melihat, misalnya Jepang menggelontorkan uang sekian milliar untuk Afrika, dalam mengatasi virus Ebola. Bahkan, Jepang ketika mengalami Tsunami, menolak bantuan bukan karena mereka sombong, tapi mereka berusaha untuk mengatasinya sendiri, padahal mereka dilanda bencana yang cukup serius. Jepang seperti itu karena apa? Pemerataan (nilai kepahlawanan) itu telah ada di sana.
Bagaimana dengan kita? Ada yang perlu dibenahi dari masyarakat kita, yaitu ketika masing-masing individu tidak sadar tanggung jawab dan haknya. Ketika tidak sadar hak dan tanggung jawabnya, ia melakukan agresi terhadap hak dan kewajiban orang lain. Sehingga ada pemiskinan, sehingga ada pembodohan, sehingga ada tindakan-tindakan yang merugikan orang lain.
Kalau setiap orang sadar punya otonomi moral, punya kesadaran tentang batas-batas dan kewajiban-kewajibannya terhadap yang lain, maka masyarakatnya adalah masyarakat pahlawan. Jadi inti dari semuanya, kita harus sadar tanggung jawab dan hak kita.
Sadari hak dan kewajibanmu, maka kau tidak perlu berjuang, tidak perlu berkorban untuk orang lain, itu sudah menjadi pengorbananmu.
Saat antara satu dengan yang lain sama-sama saling menghindar dari mengganggu orang lain, kalau setiap orang menyadari itu, ndak perlu ada yang berkorban.
Lantas, mengapa pahlawan-pahlawan itu berkorban?
Ya, karena memang itu untuk mengimbangi orang-orang lain. Sehingga dia (pahlawan) perlu mengorbankan dirinya. Kita pernah dengar cerita Nabi Yunus as yang mengurangi bobot muatan kapal. Sebelum Nabi Yunus as, itu barang-barang yang datang juga dilemparkan (ke luar kapal). Ternyata masih tetap (kapal akan tenggelam), akhirnya Nabi Yunus as mengorbankan dirinya. Itulah bentuk kepahlawanan.
Karena ada koruptor, koruptor yang banyak, yang jumlahnya lebih banyak daripada pahlawan, karena ada orang-orang intoleran, orang-orang yang merasa sudah paling benar, maka harus ada orang-orang yang berani berkorban, mengorbankan dirinya untuk kebaikan yang lebih besar.
Jadi inti dari semuanya, sadari hak dan kewajibanmu maka kita semua adalah pahlawan, bangsa pahlawan.
Apa pesan anda di Hari Pahlawan ini?
Mestinya setiap hari adalah Hari Pahlawan karena pengorbanan itu tidak ada hari (tertentu)nya. Tanggal 10 November, kalau kita mengenangnya, karena itu menandai sebuah peristiwa heroik yang besar, yang terjadi di Surabaya, dan dikomando oleh (almarhum) Bung Tomo dengan teriakannya Allahu Akbar, lalu arek-arek Suroboyo, warga sipil, anak-anak muda, semuanya berjuang. Nah, mudah-mudahan itu tidak hanya menjadi sebuah prasasti yang mati tapi prasasti yang hidup. Menjadi spirit yang terus hidup di tengah kita. Supaya kita bisa berterima kasih kepada orang lain. Bukan sekadar mengunjungi kuburannya, menziarahi makam pahlawan, lalu menaburkan bunga. Itu semua simbolik.
Mereka (pahlawan) akan lebih gembira apabila kita menjaga hasil perjuangan bangsa dan negara ini, dari unsur unsur perusak, dari kaum intoleran ekstremis dan kaum koruptor. Itulah ekspresi syukur yang paling nyata, yang paling jelas. Dan itulah yang menurut hemat saya jauh lebih diinginkan oleh para pahlawan. (Ahmad-Lutfi/Yudhi)