Artikel
Pada Usia Berapakah Sebaiknya Orang Menikah?
Pernikahan yang sedemikian ditekankan dalam Islam, di ayat-ayat Al-Quran maupun riwayat-riwayat dari Rasulullah Saw, memiliki dampak positif bagi kehidupan manusia. Pada momen Yaumul Mahabbah (Hari Pernikahan suci Imam Ali dan Sayyidah Fatimah Az Zahra), akhir bulan lalu, Direktur Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, Dr. Abdul Majid Hakim Ilahiy, mengulas sekilas tentang pembahasan ini. Menurutnya, ada beberapa dampak atau pengaruh yang ditimbulkan dengan menikah, di antaranya:
Pertama, kematangan sisi spiritual. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menikah berarti ia telah menjaga setengah dari agamanya.” Riwayat ini menunjukkan bahwa salah satu perjalanan spiritual yang ditempuh manusia menuju kesempurnaan itu bisa didapatkan dengan sebuah pernikahan.
Pahala-pahala yang dilakukan oleh seorang yang telah menikah akan dihitung lebih banyak daripada orang yang belum menikah. Salah satunya adalah yang dikatakan Imam Shadiq a.s., “Salat dua rakaat yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah pahalanya lebih baik daripada 70 rakaat yang dilakukan oleh orang yang belum menikah.”
Kedua, terjaga dari tindakan asusila. Bayak sekali dosa yang bisa dihindari dari sebuah pernikahan. Para ulama akhlak mengatakan, akar dari masalah-masalah yang dihadapi manusia berasal dari tiga kekuatan yang ada pada diri manusia: kekuatan amarah; kekuatan daya hayal; dan syahwat.
Ketiga, menikah akan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Seorang yang belum menikah dia akan memikirkan dirinya sendiri karena ia bertanggung jawab pada dirinya. Tapi, jika ia sudah menikah, ia akan memikirkan keluarganya. Jika rasa tanggung jawab tersebut sudah tumbuh dan membesar, perlahan ia akan menjadi orang yang bertanggung jawab atas masyarakat.
Keempat, pernikahan akan memberikan ketenangan pada diri seseorang. Dalam sebuah riwayat Imam mengatakan, tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat dan berfaedah bagi seseorang manusia lebih dari seorang istri yang solehah yang jika ia melihat istrinya itu ia akan mendapatkan ketengan jiwa.
Kelima, pernikahan akan menciptakan keamanan sosial. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwasannya yang terbanyak masuk neraka adalah orang-orang yang tidak punya pasangan atau orang yang tidak menikah. Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang belum menikah lebih dekat kepada dosa, ketika mereka lebih dekat kepada dosa maka mereka lebih dekat kepada api neraka. Karena itu api neraka lebih banyak dihuni oleh orang-orang yang tidak menikah. Pemerintahan atau negara, atau masyarakat, yang menginginkan atau memiliki keamanan dalam sisi sosialnya, maka hendaknya memudahkan perkara pernikahan dan mendorong orang-orang yang belum menikah untuk segera menikah.
Dan tentu masih banyak sisi lain dari manfaat menikah. Lalu, kapan atau pada usia berapakah sebaiknya orang menikah?
Dr. Abdul Majid menjelaskan, tidak ada aturan general yang bisa diterakpan di semua bangsa dan sebuah negara, karena semua itu tergantung kepada semua kondisi masing-masing; daerah, cuaca, cara makan, serta tradisi dan lain-lainnya. Akan tetapi menurutnya ada beberapa barometer yang perlu diperhatikan, yang mungkin bisa diterapkan.
Pertama, tentunya orang yang mau menikah harus mencapai baligh atau cukup umur baik laki-laki maupun perempuan.
Kedua, orang yang mau menikah harus matang secara akal, karena dia akan mengelola dan mengatur sebuah rumah tangga dan keluarga.
Ketiga, harus sampai kepada kematangan emosional, dalam arti dia bisa menunjukkan cinta kepada pasangannya. Orang yang sudah bisa mengungkapkan rasa cinta kepada pasangannya itu merupakan sudah mencapai kematangan dalam emosi.
Berdasarkan riwayat-riwayat dan hasil riset para ilmuan khususnya ilmuan di Inggris, mereka mengatakan semakin kecil / semakin muda usia pernikahan (setelah melampaui masa baligh) maka pernikahannya itu akan semakin langgeng.
Diumpamakan anak muda itu seperti buah. Buah ketika sudah matang dan tidak dimanfaatkan maka pelan-pelan ia akan menuju pada pembusukan. Seorang manusia juga seperti itu. Seorang anak muda, anak laki-laki ketika sudah beranjak usia 18 tahun atau 20 sekian tahun ia harus cepat menikah jangan sampai ia mencapai ‘pembusukan’ dan pembobrokan akhlak. Kalau untuk anak-anak perempuan usia 16 tahun maka itu sudah mulai sampai kepada usia untuk melaksanakan pernikahan.
Jika kita menengok sejarah Imam Ma’sumin, kita akan menemukan hal yang serupa seperti itu, misalnya Imam As-Sajjad a.s. diriwayatkan beliau menikah pada usia 18 tahun. Imam Kadzim a.s menikah pada saat beliau usia di bawah 20 tahun. Imam Jawad a.s menikah pada usia 17 tahun dan para Imam Ma’sumin lainnya juga seperti itu. Karena itulah bagi orangtua yang memiliki anak muda hendaknya membuka peluang kepada anak-anaknya untuk melaksanakan pernikahan di usia mereka yang masih muda. (Z/M)