Berita
Ormas Islam ABI Gelar Diskusi Hate Speech Dengan POLRI
Kamis (12/11) diskusi serial bertema “Surat Edaran (SE) Kapolri Terkait Hate Speech dalam Perspektif Organisasi Keagamaan” digelar Ormas Islam Ahlulbait Indonesia (ABI) di kantor Dewan Pimpinan Pusatnya, di Jakarta.
“Di antara bentuk sambutan positif kita, adalah ingin mengetahui lebih dalam. Kita ingin mempelajari lebih jauh (tentang hate speech) yang dengan itu insya Allah sebagai anak bangsa yang taat pada peraturan berusaha untuk mengikuti dan menjaga diri agar tidak terlibat dalam perilaku yang menebar kebencian (hate speech),” tutur Ahmad Hidayat selaku Ketua ABI dalam sambutannya. Menurutnya, ABI dalam hal ini, menyambut positif keluarnya SE Kapolri tersebut.
“Karena kita sadar bahwa ketika kebencian merebak di masyarakat maka pasti menjadi ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara,” imbuhnya.
Sementara itu pihak kepolisian diwakili oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Kabiro Penmas) Mabes Polri Brigjen Pol. Agus Rianto.
Agus Rianto menuturkan, SE itu bukanlah produk hukum. Bukan regulasi atau peraturan. “Tapi untuk pencegahan,” tuturnya.
Ia menyadari selama ini anggota Polri dengan keterbatasan wawasan yang dimiliki (mengenai hate speech), kurang memahami, mudah gamang dan ragu-ragu di samping memang menurutnya beda tipis antara fitnah, pencemaran nama baik, dan hate speech. “Sehingga Kapolri mengeluarkan edaran yang ditandatangani tanggal 8 oktober untuk kebutuhan internal dalam rangka mengatasi kegamangan-kegamangan anggota, keragu-raguan itu,” paparnya.
Namun akhir-akhir ini muncul banyak perbincangan terkait SE ini. Terutama terkait implementasi terhadap aturan hate speech yang juga dinilai berpotensi membatasi kebebasan berekspresi.
Sementara itu, pembicara dari ABI diwakili oleh Musa Kazhim. Musa mencontohkan banyaknya aksi hate speech yang merebak di kalangan masyarakat. Persekusi terhadap Muslim Syiah yang terjadi di berbagai tempat bermula dari hate speech yang terus menjamur. Salah satu aksi yang terbilang massif akhir-akhir ini ialah adanya Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) yang tak segan-segan merasukkan bibit kebencian di kalangan umat dan bahkan anjuran untuk pengusiran serta pembunuhan! Fakta bahwa Syiah bagian dari Muslim yang berkembang di penjuru dunia diungkap Musa. Namun, seruan penyesatan, pengkafiran dan pemberangusan terhadap Syiah masih saja terjadi dan skalanya makin meningkat.
Musa juga menekankan supaya penegakan aturan pencegahan hate specch tidak salah sasaran sebagaimana kasus Syiah Sampang di bawah pimpinan Tajul Muluk. Dalam kasus ini, pihak Syiah yang dituduh sesat, menjadi korbanhate speech, justru yang dianggap bersalah.
Hadir pula pembicara dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia (YLBHU) yang diwakili oleh Hertasning Ichlas. Ia menekankan di sini bahwa hate speech berbeda dengan individu. Basisnya ras, agama, kelompok rentan, difabel, orientasi seksual, kelompok rentan termasuk minoritas di situ. Hate speech basisnya komunal. “Sementara kalau ternyata kepolisian lebih fokus mengawal hate speech pada melacak aktivitas media sosial (individual) saya takut arenanya justru akan berpindah,” tuturnya.
“Kecurigaan masyarakat sipil pada umumnya dapat menguat, bahwa hate speech jangan-jangan upaya kepolisian untuk meredam dan menghambat kebebasan sipil dan politik,” ungkap Hertasning.
“Tetapi leading example-nya yang penting sekarang! Kalau mau menegakkan aturan terkait hate speech, eksampel dari penegakan yang pertama apa dulu? Kalau yang pertama menyikapi OB di Ponorogo, publik akan curiga. Tapi kalau leading example-nya kita mau menegakkan aturan hate speech terhadap kaum minoritas, ras, menjunjung tinggi kebhinnekaan, yang dimulai dari laporan-laporan yang diberikan selama ini oleh kelompok minoritas terhadap kepolisian, itu kepercayaan terhadap SE Kapolri tentang hate speech akan muncul,” papar Hertasning.
Ia mengusulkan untuk membuat protap baru, yang kepolisian tidak lagi mengawal individu-individu, karena itu akan menimbulkan confuse; mana pencemaran nama baik, mana fitnah dan mana hate speech itu sendiri.
“Sekarang menuut saya, pak Badrodin Haiti harus menunjukkan leading example yang jelas supaya publik tidak lagi mencurigai, karena ada laporan dari Indikator sekitar sepekan lalu, ini menarik. Sejak 8 oktober hate speech keluar, sampai sekarang terjadi penurunan 53% kritik terhadap pemerintahan Jokowi di media sosial. Ini menarik tapi belum tentu benar. Tapi bisa menjadi benar kalau pihak kepolisian leading example-nya dalam penegakan aturan hate speech lagi-lagi memburu individu dan individu. Itu bisa dianggap menghambat kebebasan berekspresi dan berpendapat padahal hate speech bukan tentang itu.”
Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute juga turut diundang menjadi pembicara dalam forum itu. Ia mengapresiasi pihak kepolisian yang telah berupaya mengambil langkah untuk menekan ujaran kebencian yang beredar di masyarakat. Namun ia juga mengkritik beberapa poin dalam SE yang dianggap kurang tepat, ia juga mengusulkan adanya revisi pada Surat Edaran itu supaya tidak menimbulkan multi tafsir dan kerancuan dalam implementasi terkaithate speech. (Malik/Yudhi)