Berita
Opini – Problem Sertifikasi Guru
Dua puluh tahun lalu menyeruak pembicaraan mengenai sertifikasi profesi di semua sektor. Dunia kerja akan amat mempertimbangkan sertifikasi profesi itu. Mengapa demikian? Data ketenagakerjaan pada rentang dekade 1970-1990 memperlihatkan lulusan pendidikan formal hanya berijazah namun masih harus menempuh pelatihan untuk cakap melaksanakan suatu pekerjaan dalam profesinya masing-masing.
Sungguhpun saat itu sudah ada sekolah-sekolah vokasi, namun lulusannya pun masih perlu pelatihan untuk pemantapan di dunia kerja.
Fenomena lain yang mulai bermunculan di era 1990-2000 adalah tenaga kerja yang memilih profesi di luar disiplin ilmunya. Ijazahnya ilmu politik, namun menjadi guru dan mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah dasar dan menengah. Ini biasa ditemukan pada alumni perguruan tinggi yang saat kuliahnya aktif di lembaga-lembaga dakwah atau organisasi keruhanian Islam. Begitu juga, sarjana pertanian dari IPB yang amat banyak memilih menjadi karyawan bank. IPB pun diplesetkan menjadi Institut Perbankan Bogor. Sebaliknya, ada sarjana pendidikan yang lewat proses politik ditugaskan menjadi direktur rumah sakit; camat bukan dari disiplin ilmu pemerintahan melainkan dari tenaga kesehatan, dan lain sebagainya.
Fenomena inilah yang mendorong dibentuknya Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Dalam paradigma inilah profesi guru disertifikasi juga. Apa implikasinya? Guru dari latar disiplin ilmu non kependidikan dapat saja menjadi guru profesional dengan menempuh pendidikan profesi guru. Program ini sebelumnya dikenal dengan Akta Mengajar. Saat itu, setiap lulusan fakultas keguruan atau institut keguruan otomatis memperoleh akta mengajar, sedangkan dari disiplin ilmu lainnya hanya bisa menjadi guru jika menempuh pendidikan akta mengajar tersebut terlebih dahulu.
Menyusul digantinya institut keguruan menjadi universitas maka penyiapan guru dilakukan melalui fakultas keguruan. Sayangnya, sertifikasi profesi masih harus diperjuangkan melalui serangkaian ujian. Kompas (12 Maret 2018) menjelaskan bahwa saat ini terdapat 260.000 calon guru profesional dan baru 27.000 yang terserap. Maksudnya, yang telah mengantongi sertifikat guru profesional.
Apa artinya informasi ini? Pertama bahwa pendidikan guru tidak memberi jaminan keterampilan mengajar dan dasar-dasar kompetensi pendidik (guru) yang diluluskannya. Sang calon guru masih harus menempuh pelatihan dan serangkaian ujian. Apa sajakah yang dilakukan tatkala kuliah? Apakah kurikulumnya tidak memuat proses transfer kemampuan seorang guru sejak di bangku kuliah? Apakah tidak dapat dirancang sistem pembelajaran calon guru yang memberikan pengetahuan teoretik sekaligus praktik dan penerapan kompetensi dasar guru profesional sebelum harus dilepaskan ke masyarakat atau dunia kerja (sekolah)?
Anggap saja bahwa itu sulit dilakukan. Jawaban atas kelemahan ini adalah pendidikan profesi guru. Kegiatan berupa pelatihan dan semacamnya. Namun, mengapa pemerolehan sertifikat profesi itu dalam opini pra guru demikian rumit? Boleh jadi dugaan berikut ini dapat menjadi bahan telaah ulang atas sertifikasi guru.
Pertama, menjadi guru sebenarnya bukan pilihan utama. Dengan demikian, cita rasa keguruan tidak terinternalisasi dengan baik dalam dirinya sebagai guru. Menyelesaikan pemenuhan indikator guru profesional dianggap sebagai beban belaka.
Kedua, masih munculnya praktik nepotisme dan percaloan halus dalam proses ujian kompetensi guru untuk memperoleh sertifikat profesi tersebut. Akibatnya, ada pihak yang merasa harus melalui semua prosedur secara ketat berdasarkan aturan yang ada, namun di sana-sini masih ada juga yang menikmati kemudahan.
Faktor tersebut menyeret institusi pengujian kompetensi dan pemberian sertifikat profesi guru ke dalam kelemahan yang fatal. Hasilnya adalah guru yang kurang handal. Semoga kelemahan ini dapat diatasi dan kian disempurnakan jika memang dugaan ini nyata di dalam praktik dunia pendidikan kita. Wallahu a’lam. (Abu Murtadha)