Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Opini – Guru Besar dan Artikel Jurnalnya

Sebanyak 3.800 dari 5.366 orang professor di Indonesia diberitakan oleh Media Indonesia beberapa waktu lalu belum menulis artikel di jurnal internasional. Adakah persoalan dalam ketentuan mengenai kewajiban professor untuk menulis artikel di jurnal?

Kembali ke hakikat seorang guru besar, penelitian adalah salah satu aktivitas utama, bukan hanya mengajar. Pengembangan ilmu pengetahuan adalah salah satu nadi peradaban dan bakti kepada masyarakat; transformasi sosial. Transformasi sosial selalu lahir dari konsep-konsep baru yang didorong oleh pemikiran para pembaharu.

Penyaluran dan penyebarluasan hasil pemikiran para ilmuwan dan guru besar itu dilakukan melalui publikasi jurnal. Persoalan paling utama adalah intensitas penelitian para guru besar. Banyak pihak yang meragukan kemampanan penelitian para guru besar. Penelitian tidak mampan maka ilmu terancam stagnan. Apa artinya? Pada saat tertentu, para guru besar berhenti melakukan penelitian. Ini dapat dipengaruhi oleh kurangnya dana. Indonesia hanya mengalokasikan 0,1% dari APBN atau 2,8 Milyar. Jika dibandingkan alokasi dana penelitian di Singapura, angka ini masih tergolong rendah. Singapura memgalokasikan 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebanyak kurang lebih 7,7 Milyar.

Kelesuan penulisan artikel yang disorot itu mungkin juga karena motivasi menulis untuk memperoleh reward tertentu. Mungkin karena tidak lagi mengharapkan reward tertentu penelitian lanjutan dihentikan. Sesudah menerima penghargaan tertentu maka penelitian dianggap sudah selesai. Penulisan artikel hasil penelitian sering dilihat sebagai syarat untuk mencapai jenjang jabatan dan kepangkatan akademik belaka.

Persoalan lain yang tak kalah pentingnya adalah “perdagangan artikel”. Ironi bagi seorang peneliti adalah pembiayaan tinggi agar artikelnya dapat dimuat di sebuah jurnal internasional bereputasi tinggi. Contohnya adalah jurnal-jurnal terindeks Scopus. Tak semua peneliti sanggup membayar ke pengelola jurnal. Akibatnya, artikelnya tak dapat published. Begitu juga untuk dapat dipresentasikan di seminar internasional dan dimasukkan ke prosiding harus merogoh kocek.

Ini karena di dunia jurnal bukan artikel yang memiliki kelas sesuai kualitas isi jurnal itu, melainkan jurnalnyalah yang memiliki kelas. Kelas paling tinggi adalah yang terindeks di lembaga pengindeks internasional, misal indeks Scopus tadi.

Seharusnya, jurnal nasional terakreditasi juga sudah dapat digunakan untuk publikasi. Seminar-seminar nasional juga perlu ditempatkan sebagai forum ilmiah terhormat untuk membincang berbagai pemikiran. Hambatan-hambatan teknis semacam ini seharusnya sudah dapat diterobos dengan teknis administrasi yang logis demi menggairahkan penelitian para guru besar. Guru besar tak boleh berhenti berpikir, meneliti, menguji berbagai konsep, ilmu, dan teknologi maupun melahirkan yang baru. Guru besar dan artikel jurnalnya harus didorong dalam aturan-aturan yang rasional dan realistis. (Abu Murtadha)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *