Berita
Opini – Derita Guru Milenial
Nuzul Kurniawati guru SMP Darussalam, Pontianak Timur, memperpanjang daftar guru yang kena amuk siswanya sendiri. Ia seolah menjadi bukti betapa kasus Guru Budi di Sampang bulan lalu tidak cukup membuat kejutan untuk menyetop kekerasan terhadap guru.
Etalase kekejaman siswa terhadap guru kian berwarna. Apa penyebab siswa memiliki niat dan keberanian menganiaya gurunya? Apakah ada faktor kekeliruan pendekatan dalam interaksi dengan siswa? Pertanyaan ini perlu diangkat sebagai suatu bahan kajian dalam sistem pembelajaran di sekolah.
Kasus guru Nuzul Kurniawati di Pontianak agak berbeda dengan Guru Budi di Sampang. Berdasarkan kesaksian Bustami seperti dikutip oleh Tribun Pontianak, guru Nuzul pada mulanya tidak berkaitan langsung dengan perkara. Ia hanya datang untuk mencoba memberi pengertian agar mau mengindahkan anjuran gurunya. Guru yang sedang mengajar di kelas NF (pelaku kekerasan) adalah guru mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Guru tersebut menegur NF yang tidak memperhatikan pelajaran. NF justru mengerjakan kegiatan lain yang tak berkaitan dengan pelajaran yang sedang berlangsung. Tidak sanggup mengatasi situasi, sang guru meminta bantuan guru lain bernama Nuzul Kurniawati. Saat itulah guru Nuzul memasuki kelas tempat NF belajar dan memberi nasihat kepadanya.
Malangnya, NF merasa tidak menerima pendekatan itu. Entah karena guru lain tersebut dianggap turut campur atau karena cara penyampaian nasihat yang menurutnya tidak tepat, NF justru memukulkan kursi kepada guru Nuzul. Refleks guru Nuzul membanting ponsel milik NF dan dibalasnya dengan lemparan ponsel ke arah guru Nuzul. Guru Nuzul pingsan dan dibawa ke rumah sakit.
Pendekatan dalam pedagogik tidak saja menyangkut kepandaian guru dalam merancang, melaksanakan, mengevaluasi dan mengembangkan materi pembelajaran di depan kelas namun seharusnya juga dalam konteks pembelajaran karakter siswa. Proses pembelajaran yang menyenangkan sehingga berhasil mengundang perhatian siswa seluruhnya adalah sebuah kompetensi yang dituntut hadir dalam diri setiap guru.
Selain itu, aspek kepribadian, profesionalisme, dan sosial, merupakan kompetensi guru yang mutlak tuntas sebelum predikat guru disandangnya. Guru sudah harus tampil di hadapan muridnya sebagai sosok yang dinanti, bukan yang berjarak.
Meski demikian, penelitian tentang perilaku siswa terhadap gurunya memasuki babak baru. Diperlukan pengungkapan yang sistematis tentang fenomena hubungan antar pribadi, siswa dan guru. Jika dibandingkan dengan model interaksi siswa dan guru pada dekade 1980-an dan sebelumnya dengan saat ini terlihat perbedaan yang amat nyata. Dahulu guru amat powerfull yang justru menyebabkan siswa segan bahkan hanya bertanya tentang hal yang tak dipahaminya dalam pembelajaran. Saat ini, guru nampak makin cair dalam pembauran sehingga murid justru berani melakukan tindakan yang menyamakan gurunya dengan orang lain; kekerasan misalnya. Dahulu, guru menempati kelas sosial terhormat dan disegani oleh semua siswa namun saat ini mereka seolah sama saja dengan penyandang predikat dan profesi lain di mata siswanya. Kehormatan guru zaman lalu bahkan terbawa hingga sang siswa mencapai usia pensiun. Kata-kata dan perbuatannya selalu dikutip menjadi pesan abadi dan dirujuk seumur hidup. Kini, guru kehilangan wibawa itu.
Apakah ini adalah fenomena pergeseran karakter anak yang menjadi siswa era kini, atau justru pergeseran kepribadian dan kecakapan guru? Perlu penelitian lebih lanjut.
Guru milenial menghadapi generasi milenial yang kesehariannya memiliki definisi dunia yang berbeda. Mereka menghadapi peserta didik yang dapat mengakses sumber kebenaran dari tempat lain. Guru bukan lagi satu-satunya sumber. Di sisi lain, guru milenial juga memiliki aneka godaan kesibukan yang memperbesar jaraknya dengan sang siswa. Celah inilah yang mungkin menjadi jalan masuk bagi terjadinya kekerasan sang siswa. Namun, betapapun juga, tindak kekerasan terhadap guru bukan hal yang patut ditoleransi. (Abu Hossein)