Berita
Opini – Biaya Pendidikan
Memang konstitusi telah memgamanatkan agar 20 persen APBN harus dialokasikan untuk sektor pendidikan. Sejak amanat itu dimulai saat UUD 1945 hasil amandemennya diumumkan banyak pihak yang menaruh harapan besar akan berkembangnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Setelah hampir dua dekade banyak perkembangan, namun juga banyak keluhan yang seharusnya tidak terjadi. Kampanye kepala daerah ditaburi dengan janji pendidikan murah bahkan gratis. Apa pesan yang dapat kita tarik?
Rakyat Indonesia sepertinya belum tahu bahwa anggaran pendidikan sudah waktunya diolah untuk menjadikan biaya pendidikan nihil. Masih perlu janji seorang politisi. Selain itu, seolah juga bahwa program pendidikan gratis adalah atas kebaikan hati sang politisi. Aneh bukan?
Sang politisi menari di dalam kelemahan publik berupa biaya pendidikan, atau lebih tepatnya, biaya sekolah. Jika dihitung sekolah-sekolah berbiaya atau sebelum trend sekolah murah maupun sekolah gratis kian populer dalam tarian dan retorika para politisi, bisa mencapai ratusan juta hingga ke tingkat sarjana. Taman Kanak Kanak (TK) saja, selama 3 tahun saja sudah bisa menghabiskan rata-rata IDR 20.000.000,- sampai dengan 30.000.000,- biaya sekolah. Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) rata-rata IDR 75.000.000 sampai dengan 150.000.000,- dan untuk selesai sarjana harus menghabiskan dana rata-rata IDR 20.000.000.
Anggaran yang mengerikan bagi sebagian besar penduduk negara ini, lalu digunakan untuk suatu target politik. Caranya dengan menyampaikan janji sekolah gratis padahal hanya dengan mendayagunakan anggaran pendidikan yang ada, sang pemimpin daerah sudah bisa mewujudkannya.
Problem lain dari biaya sekolah ini adalah korelasinya terhadap kualitas pendidikan. Kualitas fasilitas sekolah dan guru serta tenaga kependidikan yang ada di sekolah. Waktu hampir dua dekade seharusnya sudah cukup untuk mendorong peningkatan kualitas fasilitas sekolah yang lebih baik, begitu juga kualitas gurunya.
Saat ini masih tercatat 14.500 gedung sekolah rusak di seluruh Indonesia. Jumlah ini mungkin sedikit dibandingkan dengan jumlah kurang lebih 300.000 sekolah. Akan tetapi, jika dilihat dari lamanya pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20% APBN itu, seharusnya sudah tidak perlu lagi rakyat menyaksikan anak-anaknya bersekolah di sekolah rusak atau fasilitas seadanya.
Guru berkualitas sebagai tulang punggung pendidikan juga seharusnya telah menjadi pendidik berkualitas. Mereka harusnya mendapatkan pelatihan dan update keilmuan serta keterampilan melalui pelatihan berkala, namun hingga saat ini anggaran masih menjadi kendala untuk mewujudkannya.
Biaya pendidikan masih menjadi sesuatu yang krusial di negeri ini. Salah satu yang dapat diduga adalah tidak tepatnya penyaluran dana tersebut kepada sasaran yang seharusnya. Tidak tepat sasaran salah satu di antara problem anggaran, termasuk pendidikan di Indonesia. (Abu Murtadha)