Berita
Nurcholish Madjid: Pengusung Islam Humanis
Nama Nurcholish Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur, tentu sudah tak asing lagi bagi para pemikir Islam di Indonesia maupun di luar negeri. Pemikiran-pemikiran Cak Nur yang telah menggugah banyak orang termasuk tokoh-tokoh masyarakat di Indonesia, kini terus dipertahankan oleh Nurcholish Madjid Society (NCMS) walaupun Cak Nur sendiri sudah wafat.
Salah satu upaya NCMS untuk terus menghidupkan pemikiran Cak Nur adalah dengan menerbitkan buku berjudul “Biografi Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid” karya Muhammad Wahyu Nafis.
Lalu seperti apa kesan-kesan sejumlah tokoh masyarakat yang mengenal Cak Nur secara langsung tentang intelektual Muslim Indonesia yang satu ini?
Dalam diskusi Kajian Titik-Temu Nurcholish Madjid Society pada Kamis (16/10) di Omah Btari Sri, Jakarta Selatan, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, Dosen STF Driyarkara menegaskan bahwa dia banyak belajar tentang Islam dari Cak Nur dan Cak Nur merupakan lawan utama diskusinya tentang banyak hal.
Franz menjelaskan bahwa sekulerisme yang dipahami oleh Cak Nur adalah menghormati hak setiap orang untuk memeluk kepercayaan sesuai dengan apa yang diyakininya, tanpa harus menghakimi keyakinan orang tersebut. Sebab menurut Franz, hanya Tuhan yang berhak menentukan keyakinan seseorang itu benar atau tidak.
“Ya kita serahkan saja sama Tuhan,” kata Franz.
Franz kemudian melanjutkan bahwa Cak Nur begitu menekankan Islam sebagai agama kemanusiaan dan hal itu semakin nyata dan aktual saat ini karena ditantang oleh kehadiran kelompok berpaham fundamentalis yang gemar melakukan pembunuhan tanpa mempedulikan rasa kemanusiaan.
Pendapat Franz diamini Fachry Ali, MA seorang pengamat politik yang mengenal Cak Nur cukup dekat dan malam itu juga hadir sebagai pembicara.
Menurut Fachry apa yang dikatakan oleh Franz bahwa Cak Nur menekankan Islam sebagai agama kemanusiaan memang sangat tepat. Atas dasar pandangan Islam sebagai agama kemanusiaan itulah maka secara fitrah, manusia memiliki kebebasan untuk berfikir.
Akar dari fikiran Cak Nur tersebut bukan hadir dari buku-buku yang dibaca oleh Cak Nur, melainkan hasil bacaan Cak Nur itu yang mendorongnya untuk kembali melihat ke dalam Islam, ke dalam Al-Quran dan ternyata, Al-Quran sudah membicarakan tentang kemanusiaan, tentang betapa tingginya derajat manusia dan tentang bagaimana manusia itu harus dikembangkan.
“Di sinilah kemudian ketika kita membaca buku-buku Cak Nur, terasa sekali Cak Nur itu humanis dan pemikiran humanis itu didapatkan bukan dari buku melainkan dari Al-Quran,” terang Fachry.
Sementara itu, pembicara ketiga atau terakhir adalah Sudhamek AWS yang merupakan Ketua Majelis Budhayana Indonesia. Dalam pandangan pribadinya, Sudhamek menerangkan bahwa Cak Nur telah melampaui batas pemikiran bukan hanya dalam arti intelektual tapi juga dalam hal penembusan-penembusan spiritual yang sudah sedemikian jauh.
Cak Nur tidak hanya mengajarkan tentang kebebasan berfikir secara intelektual tapi juga bagaimana kebebasan berfikir secara spritual.
Kemudian Sudhamek menceritakan bagaimana Cak Nur dapat melampaui batasan-batasan rasa sakit fisik ketika terbaring di Rumah Sakit. Bukan Cak Nur yang harus dihibur oleh Bu Omi, sang Istri tapi Cak Nur yang menghibur Bu Omi. Sebab Bu Omi tidak tega melihat sakit yang diderita oleh Cak Nur, tapi malah sang istri yang dihibur oleh Cak Nur.
“Di sinilah tampak bahwa Cak Nur secara spiritual telah berhasil melampaui batasan-batasan rasa sakit fisik, padahal sakit beliau cukup parah,” terang Sudhamek.
Kebebasan berfikir sebagai fitrah manusia yang diambil oleh Cak Nur dari Al-Quran, merupakan upaya Cak Nur untuk mengembangkan dan memajukan kehidupan manusia dengan berbasiskan Al-Quran.
Maka diskusi tentang pemikiran-pemikiran Cak Nur tetap penting dan relevan agar kita dapat belajar lebih jauh lagi tentang bagaimana kita bisa menjadi Muslim humanis sekaligus mengembangkan diri kita sebagai manusia seutuhnya seperti yang sudah sering Cak Nur tekankan selama ini kepada kita semua. (Lutfi/Yudhi)