Berita
NU Bicara Islam Nusantara Untuk Dunia
Di tengah gempuran Arabisasi Islam, yang celakanya ikut mengimpor paham-paham radikal dan ekstrem dari tanah Timteng yang penuh gejolak, perbincangan mengenai konsep Islam Nusantara kembali menguat.
Menjelang Muktamar NU, GusDurian bersama Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta dan PBNU mengadakan Halaqah Pra Muktamar NU dengan tema, “Mengapa Islam Nusantara?” Dalam diskusi ini, dibicarakan mengenai konsep Islam Nusantara tersebut.
Alissa Wahid dalam sambutannya menyebutkan bahwa saat ini terjadi tarik-menarik antara kubu Islam dan non-Islam, yang Indonesia menjadi salah satu titik fokusnya.
“Sekarang ini terjadi tarik-tarikan yang diametral antara –yang dipersepsikan sebagai– ‘Islam’ vs dunia yang bukan Islam,” ujar Alissa. “Dan ini diperparah dengan munculnya kelompok-kelompok terorisme yang menggunakan nama Islam. Tapi pada saat yang sama dalam diskusi di tingkat global, bahkan di negara yang ‘jauh’ dengan dunia Islam, nama Islam dan Indonesia itu sangat sering disebut.”
“Dunia saat ini butuh Islam (bercorak) Nusantara. Dan kita tahu itu. Kita tahu dunia butuh kita, tapi kita masih belum tahu caranya memenuhi kebutuhan itu,” lanjut Alissa. “Padahal ini bisa jadi sumbangsih kita tak hanya bagi Indonesia, bahkan pada dunia.”
Islam Nusantara, Moderat dan Toleran
Menurut Alissa, ide Islam Nusantara bukanlah ide khusus dari NU saja. Siapa pun bisa masuk dalam ajang kontestasi merumuskan Islam Nusantara ini.
Bisri Effendi, dosen UIN Syarif Hidayatullah yang menjadi salah satu pembicara menjelaskan meski tak ada rumusan baku Islam Nusantara itu seperti apa, tapi ia mencontohkan ketika Komite Hijaz dibentuk untuk memprotes dibongkarnya kuburan Nabi Muhammad Saw.
“Komite Hijaz itu ya wajah Islam Nusantara. Islam Indonesia. Islam Indonesia gak suka bongkar kuburan (Nabi). Ini adalah sebuah tim yang berusaha untuk menegakkan, menegaskan bahwa Islam Nusantara itu gak kayak gitu (seperti Wahhabi-Saudi),” ujar Bisri.
“Ada perebutan identitas memang. Sekaligus melawan otoritas ‘Arab’. Selama ini yang merumuskan ke-Islaman itu Arab. Nah, ‘otoritas’ ini direbut dari Arab,” terang Bisri. “Tapi ini respon saja sebenarnya.”
“Islam Indonesia ini selain punya rujukan penting Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas, juga ada rujukan yang penting; kehidupan. Nilai kehidupan (lokal) jadi rumusan penting bagi pembangunan konstruksi Islam Nusantara,” terang Bisri. “Kita lihat Islam Indonesia itu inklusif, moderat, anti teror, karena rujukannya adalah kehidupan.”
Menurut Alissa Wahid, karakter Islam Nusantara adalah karakter yang menjunjung tinggi tasammuh dan tawassuth.
“Tasammuh dan tawassuth itu karakternya Islam Nusantara. Ini yang membuat Islam Nusantara itu bisa jadi tulang pungggung bagi negara yang majemuk kayak gini. Karakter itulah yang bisa membuat Islam Nusantara jadi lentur dan diharapkan bisa berkontribusi ke masyarakat dunia,” tutup Alissa Wahid. (Muhammad/Yudhi)