Berita
Nikah Beda Agama: Bisa Tapi Tak Boleh
Berdasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, negara wajib mencatat perkawinan yang disahkan oleh agama. Perkawinan atau pernikahan sebagai legitimasi ikatan antara hubungan laki-laki dan perempuan memerlukan pengesahan dari agama.
Masalah pun timbul ketika pernikahan yang berlangsung adalah antara pasangan yang berbeda agama.
Beberapa mahasiswa dan para alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia bahkan mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK melegalkan pernikahan beda agama.
Apakah legalnya pernikahan beda agama terkait dengan agama?
Berikut kutipan wawancara ABI Press dengan Dr. Muhsin Labib, untuk menguraikan isu nikah beda agama dan keterkaitannya antara agama dan negara:
Apa tanggapan Dr. Muhsin Labib tentang “nikah beda agama”?
Nikah beda agama itu tidak logis. Ada aturan nikah pada masing-masing agama, nikah beda agama bagai merger atau penggabungan ajaran.
Anda menolak nikah beda agama?
Saya ini menentang nikah beda agama, tapi tidak menolak orang membangun rumah tangga beda agama. Misalkan, anda mau nikah sebagai umat Islam tapi tak mau terikat dengan aturan pernikahan dalam Islam. Itu tidak logis. Bukankah, jika anda telah terikat dengan sebuah institusi yang memiliki komitmen, maka anda harus mengikuti peraturannya? Agak aneh, anda mau terikat dengan agama tapi anda juga tidak mau terikat dengan agama.
Lantas, apakah keterikatan dan hubungan yang terkandung pada pernikahan?
Pernikahan itu adalah prosesi acara dan hubungan secara horisontal dan vertikal. Horisontal berupa hubungan sesama manusia. Vertikal berwujud kepatuhan menghindari perbuatan dosa, untuk memberikan makna atau mengikat dalam kesamaan prinsip-prinsip vertikal. Jika nikah artinya hubungan sesama manusia maka tidak perlu tuntunan hadis untuk memperjelas nikah.
Bagaimana memposisikan nikah beda agama itu?
Saya katakan tidak boleh namun bisa. Boleh itu menyangkut perintah dan larangan agama, sedangkan bisa menyangkut kemauan dan melakukan tindakan. Orang mau menikah beda agama bisa kapan saja. Lalu tidak bolehnya karena apa? Tidak boleh berdasar peraturan agama.
Apakah nikah beda agama itu selalu bisa dipandang sebagai urusan agama?
Persoalan nikah beda agama yang menyelesaikan negara, saya lebih setuju. Nikah beda agama itu urusan negara jangan dikaitkan dengan agama. Karena, negara ini meliputi semua penganut agama. Ikatan nikah yang dipertemukan dengan kesamaan keinginan dengan terikat konstitusi.
Bagaimana bila dikatakan agama bisa melanggar HAM, karena mengikat orang?
Masalahnya kenapa anda memilih agama itu? Karenanya jangan menikah beda agama dengan landasan agama, karena hukum agama mendasari kebolehannya bukan kebisaannya. Menikah beda agama bisa. Sedangkan, boleh ataukah tidak, kalau dari aspek agama tidak boleh.
Bagaimana jika dasar nikah beda agama adalah rasa cinta dan saling berkasih sayang yang keduanya itu adalah pemberian Tuhan?
Maka dari itu tak dilarang, membangun rumah tangga beda agama. Tapi jangan dengan label agama, karena agama ada aturan sendiri. Dari sisi kebebasan hidup, anda bisa menikah berbeda agama, tapi itu hanya berlaku bagi yang melakukan bukan lantas mengubah hukum atau peraturan agama.
Apa pendapat anda dengan pernyataan nikah beda agama adalah penodaan terhadap agama?
Jika anda bukan penganut agama Islam dan dalam posisi sebagai bukan penganut agama Islam mau menikah dengan penganut agama Islam, lalu maksudnya apa? Ini bisa penodaan agama.
Ada yang membawakan dalil Al-Qu’an surat Al-Ma’idah ayat 5 bahwa pernikahan berbeda agama diizinkan?
Al-Qur’an bukan kotak saran yang setiap org bisa memberikan penafsirannya. Ada persyaratannya, bukan modal teks lalu semua orang bisa menafsirkan. Kalau begitu, semua memberikan saran penafsiran, akan menghilangkan sakralitasnya.
Bagaimana dengan pelaksanaan nikah beda agama dengan melakukan aturan sesuai tuntunan masing-masing petunjuk agama. Yang pertama dengan tuntunan agama mempelai perempuan lalu menikah dengan tuntunan agama mempelai laki-laki, atau pun sebaliknya?
Bila nikah bergantian, lalu nikah yang pertama itu hanya formalitas atau perayaan. Hal tersebut akan menghilangkan kedudukan sakralitas agama.
Bagaimana posisi agama dan negara dalam urusan nikah beda agama?
Otomatis, mau tidak mau, memisahkan antara negara dengan agama, bukan berarti tak bekerjasama. Beda lahan namun bukan berarti tak bekerjasama. Caranya adalah dengan memperjuangkan hukum pernikahan itu agar masuk ke dalam konstitusi, melalui parlemen. Karena parlemen merupakan representasi kehendak masyarakat umum. Negara memutuskan hal-hal yang bersifat konstitusional untuk mengatur semua yang berbeda agama.
Bagaimana anda memandang para pengaju Judisial Review (JR) pada undang-undang tentang nikah beda agama?
Saya dukung. Sebagai sebuah langkah konstitusional, hal itu sudah benar. Dan itu tidak mengubah posisi hukum agama. Pengajuan itu mencerminkan peran sebagai warganegara yang baik dan elegan. Walaupun ketika diizinkan dalam konteks negara, tidak akan mengubah dan mengganggu hukum agama.
Mengapa tetap tidak mengubah hukum agama?
Perlu dilihat dibolehkan oleh siapa. Karena keputusan konstitusional berada pada ranah negara bukan hukum di ranah agama. Negara itu menjatuhkan hukum berdasar bagaimana tidak mengganggu hak orang lain.
Bagaimana bila pada kenyataannya kehidupan keluarga atau berumahtangga bagi pasangan nikah beda agama tetap harmonis?
Rumah tangga beda agama itu tidak masalah, jika itu urusan bernegara. Anda tidak bisa mengukur kebenaran sesuatu dari akibat. Bahwa hanya karena di antara orang menikah itu ada yang berakhir dengan perceraian, apa artinya (hukum) nikah itu buruk? Bahwa karena seseorang shalat lalu encoknya kambuh, apa bisa serta merta membuat alasan untuk tidak shalat? Ini salah dan gawat bila semua tuntunan dan aturan agama dipahami berdasar akibat. (Sulton/Yudhi)