Berita
Nia Syarifudin: Gusdurian Adalah Kita
“Mau jadi orang Islam yang ada di Indonesia atau orang Indonesia yang beragama Islam?” ujar Nia Syarifudin dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), mengutip apa yang pernah ditanyakan Gus Dur kepadanya. Hal itu diceritakan Nia dalam Forum Jumat Gusdurian Jakarta dengan tema “Gus Dur dan Kearifan Lokal” di Aula Griya Gus Dur, Jakarta Pusat (4/3).
“Apa maksudnya itu Gus?” tanya Nia melanjutkan cerita kenangannya saat bersama Gus Dur.
Gus Dur menjelaskan, kalau memilih posisi sebagai orang Islam yang tinggal di Indonesia berarti ibarat orang kontrakan, dan biasanya tidak bertanggung jawab, tidak mau memahami sekelilingnya seperti apa. Dia hanya mementingkan kepentingan pribadinya. Tapi kalau orang Indonesia yang beragama Islam itu pasti mengerti, kiri-kanan ada orang Kristen, ada suku yang lain.
“Itu beda, akan mempengaruhi perbedaan karakter yang muncul dari orang Islam,” ujar Nia menirukan apa yang ditegaskan oleh Gus Dur. “Artiya ini tidak berlaku untuk orang Islam saja tapi berlaku untuk semua,” lanjut Nia.
Nia melanjutkan, bahwa orang yang memposisikan dirinya sebagai orang kontrakan, kurang lebih isinya menghinakan orang, mengkafirkan orang lain. Tapi kalau orang Indonesia yang beragama pasti akan lebih mampu menahan diri untuk lebih bertoleransi, bahkan ketika tinggi toleransinya, akan melahirkan sikap solidaritas.
“Dan pasti mempunyai sifat-sifat yang senang pada perdamaian,” tegas Nia.
Nia juga menceritakan bahwa saat Gus Dur masih ada, setiap ada persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan juga para aktivis, maka mereka akan mengadu kepada Gus Dur. Mulai dari persoalan pertambangan, HKBP, agama lokal, semuanya mengadunya kepada Gus Dur. Tapi saat ini sulit sekali menemukan sosok seperti Gus Dur yang kemampuannya lengkap dan selalu responsif; serasa punya jawaban bagi semua persoalan.
“Dengan isu keagamaan yang semakin gaduh saat ini, isu sosial yang semakin karut marut, isu kekerasan atas nama agama yang semakin menjamur di pelosok negeri. Terus terang, saya sering merindukan sosok Gus Dur,” ungkap Nia.
Nia pun berharap, Gusdurian yang tidak identik dengan NU, tidak identik dengan Jawa, tidak identik dengan kesukuan tertentu dan agama tertentu, akan terus menghidupkan ideologi dan pemikiran Gus Dur, sebab Gusdurian itu adalah kita, yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
“Gus Dur boleh saja tidak ada, tapi yang penting masih ada Gusdurian,” tegas Nia. (Lutfi/Yudhi)