Berita
Nasionalisme Tigapuluh Ribu Rupiah
Kemerdekaan bangsa Indonesia diraih dengan perjuangan berdarah-darah selama lebih dari 350 tahun dijajah. Jutaan manusia telah menjadi tumbal sejarah bagi kemerdekaan bangsa yang kita nikmati saat ini.
Setelah Jepang kalah Perang Dunia II, Indonesia mulai mendapat kesempatan meraih kemerdekaan. Maka pada tahun 1945, kemerdekaan itu pun diproklamirkan dan bendera Merah Putih mulai dikibarkan.
Namun perjuangan rakyat Indonesia tak berhenti sampai di situ. Bahkan, sesudah Proklamasi masih terjadi pertempuran meski sekadar untuk mengibarkan bendera di negeri sendiri. Sebabnya, saat itu Inggris dan Belanda belum merelakan Indonesia merdeka.
Sebulan setelah Proklamasi (18 September 1945) Belanda mengibarkan bendera negaranya di Surabaya. Tepatnya di Hotel Yamato (Hotel Oranye) yang kini berubah nama menjadi Hotel Majapahit. Di situlah kemudian terjadi pertempuran melawan tentara kolonial Belanda. Warga Surabaya berhasil mengambil alih kuasa dan berhasil mengganti bendera Belanda dengan kibaran bendera Merah Putih. Tak sedikit para pejuang yang gugur dalam peristiwa ini.
Tahun 1961 atau sekitar 16 tahun setelah Proklamasi, Irian Barat masih dikuasai Belanda. Pada saat itulah kemarahan Presiden Soekarno memuncak dan memerintahkan rakyat serta militer untuk melaksanakan Tri Komando Rakyat yang isinya: 1. Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan kolonial Belanda. 2. Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat, Tanah Air Indonesia. 3. Memobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan bangsa.
Peristiwa perebutan Irian Barat dan perjuangan pengibaran sang Merah Putih di sana tak lepas juga dari pengorbanan jiwa para pejuang bangsa, menggambarkan betapa sulitnya mengibarkan bendera saat itu.
Saat ini, sudah 70 tahun Indonesia merdeka. Anak-anak bangsa pun memperingati ulang tahun kemerdekaan setiap 17 Agustus dengan beraneka cara. Pertanyaannya, cara apa yang tepat untuk memperingati ulang tahun kemerdekaan ini? Apakah dengan luapan rasa bahagia, berpesta dan penyelenggaraan lomba-lomba yang tak ada kaitannya dengan nilai perjuangan bangsa? Ataukah dengan perenungan, pendidikan kebangsaan yang dapat melahirkan kekuatan untuk mengawal kemerdekaan ke masa depan?
Untuk menjaga kemerdekaan tetap utuh, untuk mengetahui siapa kawan dan siapa lawan, tentu kita harus banyak tahu sejarah masa lalu. Presiden Soekarno pernah berkata, “Jangan melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala daripada masa yang akan datang.”
Apa yang dikatakan Presiden Soekarno patut untuk kita renungi. Kehidupan kita ibarat sebuah konstruksi bangunan yang saling berkaitan. Dunia saling berkaitan. Antara masa lalu, sekarang dan masa depan. Kalau diibaratkan sebuah bangunan, masa lalu atau yang dibangun paling awal adalah pondasi. Ia berperan sebagai penopang kekuatan, sumber kekuatan bagi bangunan yang berdiri di atasnya. Sedangkan kita yang hidup di zaman sekarang berperan seperti bangunan di atas pondasi itu. Bayangkan apa yang terjadi pada sebuah bangunan kalau tiba-tiba pondasi menghilang, atau sengaja dihilangkan?
Lantas bagaimana nasib bangsa ke depan jika yang melekat pada setiap peringatan HUT Kemerdekaan RI ini hanyalah lomba makan kerupuk dan panjat pinang? Bagaimana pula makna penghormatan pada Merah Putih yang hanya dianggap sebagai acara seremonial tahunan tanpa nilai-nilai luhurnya terus diajarkan dan diterapkan? Dimana letak pentingnya sejarah diposisikan?
Dulu, harga untuk mengibarkan bendera adalah nyawa. Sekarang, cukup dengan uang Rp. 30.000 saja kita sudah bisa mengibarkan bendera dimana-mana. Dengan mengibarkan bendera Merah Putih di halaman rumah kita sudah merasa menjunjung nasionalisme dan bangga menjadi Indonesia.
Selayaknya, bagi sesama anak bangsa, momen kemerdekaan dijadikan sarana refleksi diri untuk melihat apa yang terjadi saat ini. Tak berhenti disitu, hendaknya setiap jiwa sekaligus mendorong agar terwujudnya perbaikan dari hasil-hasil refleksi tadi. Bagaimana bertindak saat melihat kemiskinan dimana-mana, pengangguran merajalela, pengemis bertebaran di jalan, kejahatan meningkat setiap hari, tayangan televisi yang merusak moral generasi muda bangsa, sedangkan para pejabat merasa aman-aman saja melakukan korupsinya. Tentu ini masih menjadi PR kita bersama, seluruh elemen bangsa Indonesia. (Malik/Yudhi)