Berita
Nasionalisme dari Omben
10 orang pengayuh sepeda Muslim Syiah Sampang yang ada di Jakarta bukan hanya kuat secara fisik, mereka juga teguh dalam prinsip. 16 hari mengayuh sepeda dari Surabaya menuju Jakarta, jelas butuh keyakinan. Apalagi keadaan mereka yang sudah 11 bulan berstatus pengungsi. Keadaan yang membuat mereka kehilangan kebebasan sebagai manusia yang utuh. Mungkin hanya keyakinan dan akal sehat yang menjadi kekuatan terbesar mereka untuk terus berjuang dan tidak putus asa.
Keberadaan mereka di Jakarta, memberikan banyak kesempatan bagi kami saling berjumpa dan bersama-sama. Satu-persatu di antara mereka saya ajak berbicara, berbagi keluh kesah dan semangat. Selama satu bulan lebih mereka di Jakarta telah membuat kami begitu dekat. Kami bertukar pikiran di sela-sela aksi damai di istana, pada saat kunjungan-kunjungan advokasi kami, atau bahkan obrolan saat-saat santai mengusir penat usai shalat dengan selonjoran dan merokok bersama.
Terus terang dalam obrolan itu saya lebih banyak mengambil posisi menyerap dan mengambil energi mereka. Dalam hati saya membatin “seandainya presiden mendengar suara dan pikiran mereka. Seandainya kiai dan elit-elit itu paham betapa mereka termakan fitnah. Dan seandainya Kepala Kesbangpol Sampang yang tak jelas itu bisa belajar kebangsaan dan nasionalisme justru dari warga-warga mereka yang udik.”
Siapa sangka dari mulut warga Omben, Sampang yang terkenal terpencil, terbelakang dan bahkan tidak mengenyam sekolah, keluar keyakinan tentang pentingnya kebhinekaan, Pancasila dan konstitusi. Tentang perbedaan dan penerimaan mereka terhadap keragaman, bahkan terhadap agama yang berbeda sebagai saudara manusia. Dan yang lebih penting keyakinan mereka bahwa Islam mengharamkan kekerasan, menyerang kehormatan orang lain, dan mendendam.
Mereka sedih melihat keterbelakangan, kebodohan dan salah paham di kampung mereka di Omben. Mereka telah percaya agama seharusnya mencerdaskan, mencerahkan dan membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, kedengkian dan dendam.
Mereka sangat otentik sebagai warga Sampang dan warga negara Indonesia. Tak ada jejak pikir dan nafsu agama transnasionalisme. Mereka tak pernah menyesatkan dan mengkafirkan orang-orang yang
memusuhi dan mengadili agama mereka. Mereka sangat bangga dan yakin dengan negara, Indonesia, konstitusi dan Pancasila betapa pun telah bertubi-tubi dikecewakan. Ekspresi kebangsaan mereka sangat kuat sekali terutama terlihat dalam pilihan mereka untuk selalu menempuh cara-cara hukum dan beradab tak kenal lelah. Dan tampaknya mereka hanya ingin hidup dan mati di kampung mereka sebagai warga negara Indonesia dan tidak terpikir menjadi warga negara lain apalagi melalui sebuah pengusiran.
Dalam hati saya berdoa, semoga fitnah dan salah paham ini segera berakhir. Dan mereka para elit yang belum selesai dengan dengki dan benci terkalahkan oleh akal sehat, keadilan dan kualitas moral dari yang mereka benci. Dan saya yakin 10 pegowes dan pengungsi Syiah lainnya adalah orang-orang tak terkalahkan karena pikiran mereka yang damai, jernih, dan adil.
Dalam setiap penindasan, orang-orang tertindas selain menderita rupanya telah pula menjadi lebih kuat, lebih tangguh, lebih berani dan yakin, lebih dari yang dibayangkan oleh musuh mereka. Mereka menjadi komunitas yang berbeda. Selera mereka terhadap keadilan begitu kuat. Perspektif mereka terhadap kemanusiaan begitu cemerlang. Sadarlah saya, betapa kuat perubahan cara berpikir dan kesadaran yang dibawa Tajul Muluk kepada mereka.
Dalam pengusiran dan pengungsian, jika saja kita mau jujur, sebuah perubahan berpikir dan etos komunitas yang maju telah lahir di Omben; masyarakat yang kritis, humanis, terbuka, berselera kebangsaan dan keadilan yang kuat disertai kesadaran hak-hak konstitusional dan kewarganegaraan. Dan kita tahu, guru mereka Tajul Muluk telah dikriminalisasi karena telah melakukan perubahan tersebut. Pada akhirnya, mereka telah menginspirasi sebuah perjuangan yang setia dengan kostitusi dan cara-cara beradab, dan mereka mengajari saya menjadi manusia merdeka.