Ikuti Kami Di Medsos

Nasional

Timses Capres Bicara Intoleransi dan Nasib Pengungsi Syiah Sampang

Timses Capres Bicara Intoleransi dan Nasib Pengungsi Syiah Sampang

Timses Capres Bicara Intoleransi dan Nasib Pengungsi Syiah SampangIndonesia tengah dilanda hinggar-bingar kampanye pilpres. Sebagian dari kita penasaran, apa saja yang akan dilakukan presiden terpilih nantinya, terutama dalam menuntaskan kasus-kasus intoleransi beragama di Tanah Air? 

Untuk menjawabnya, Rabu (4/6) tim ABI Press mewawancarai masing-masing perwakilan timses kedua kubu yang siang itu hadir dalam “Peluncuran Laporan Pelanggaran HAM Berat dalam Kasus-kasus Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan Beribadah di Lima Wilayah Indonesia” di Hotel Akmani, Jakarta Pusat.

Dalam kesempatan itu kami gali pandangan mereka terkait nasib pengungsi Syiah Sampang yang sudah hampir dua tahun ini masih berada di pengungsian Puspo Agro, Jemundo, Sidoarjo. 
Emi Hafild, mantan Ketua Walhi mewakili timses Jokowi-JK, menegaskan bahwa yang melanggar HAM pasti akan ditindak tegas. Itu sudah menjadi komitmen pasangan kandidat yang diusungnya.

“Pengungsi Syiah itu bisa pulang atau tidak,  itu kan merupakan kesepakatan bersama masyarakat untuk bisa hidup berdampingan,” kata Emi saat menjelaskan bahwa dalam setiap penyelesaian masalah, Jokowi dan Jusuf Kalla akan menggunakan cara musyawarah dan mufakat. Begitu pun halnya dengan masalah yang menimpa Muslim Syiah Sampang.

“Visi-Misi Jokowi-JK jelas, bahwa mereka akan memberikan rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.

Sedangkan Viva Yoga Mauladi dari timses Prabowo-Hatta, terkait kasus Muslim Syiah Sampang, saat kami temui seusai acara menjanjikan bahwa Prabowo-Hatta akan menyelesaikan persoalan itu sesegera mungkin dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. 

Menurutnya ada dua cara yang akan ditempuh Prabowo-Hatta nantinya. Pertama, berkoordinasi dengan jajaran pemerintah terkait serta para ulama dan masyarakat setempat. Kedua, menginstruksikan pihak kepolisian untuk mengamankan seluruh anggota masyarakat agar tak terjadi lagi pertikaian atas nama agama. “Karena pertikaian yang mengatasnamakan agama itu tidak boleh,” jelas Viva.

Intoleransi

Terkait masifnya gerakan intoleransi, seperti rencana acara “Tabligh Akbar Anti Pluralisme” yang menurut Emi akan diadakan di Yogyakarta sesuai undangan yang sampai kepadanya, atau “Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah” di Bandung beberapa bulan yang lalu, menurut Emi kegiatan semacam itu seharusnya tidak boleh terjadi dan harus ditentang. “Pemerintah seharusnya mencegah hal itu terjadi,” ujarnya.

Sepakat dengan Emi, Viva pun menjelaskan bahwa kultur keagamaan antara Sunni dan Syiah di Indonesia itu sangat dekat. Lebih jauh dia menegaskan bahwa Syiah adalah bagian dari Islam, seperti halnya Sunni dalam hal ini NU dan Muhammadiyah pun adalah bagian dari Islam.

“Dalam tataran perkembangan pemikiran keislaman di Dunia, justru Islam maju itu karena adanya kelompok Syiah,” dan “Syiah itu kan kelompok Islam yang rasional,” lanjutnya.

Viva lalu menyatakan bahwa yang dilarang itu adalah mereka yang mengatasnamakan kelompok dan menggunakan simbol-simbol agama dengan menganggap bahwa dirinya yang paling benar lalu menyalahkan setiap orang yang berbeda dengannya.

“Saya tidak sepakat  adanya tabligh akbar anti pluralisme, saya pun tidak sepakat tabligh akbar anti Syiah,” pungkas Viva. (Lutfi/Yudhi)