Nasional
Terkait Konflik Rusia vs Ukraina, Pakar Hukum Internasional: Indonesia Seharusnya Jadi Fasilitator
Terkait Konflik Rusia vs Ukraina, Pakar Hukum Internasional: Indonesia Seharusnya Jadi Fasilitator
Pakar hukum internasional, Prof. Hikmahanto Juwana menyatakan, Indonesia seharusnya menjadi fasilitator yang memberikan solusi atas konflik yang terjadi antara Rusia vs Ukraina.
“Indonesia harusnya menjadi fasilitator, yang bisa memberikan solusi bagi konflik ini. Kita harus fokus pada rakyat, karena rakyat tidak boleh menderita akibat perang di kedua negara,” kata Hikmawanto dalam Gelora Talk bertajuk ‘Perang Rusia vs Ukraina, Apa Dampaknya pada Peta Geopolitik Dunia?’, Rabu petang (2/3), seperti dilansir SuaraSurabaya.
Karena itu, ia sangat menyayangkan keputusan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang memilih mendukung resolusi PBB untuk mengecam invasi Rusia ke Ukraina.
Menurutnya, sikap Kemenlu bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam memandang konflik Rusia vs Ukarina. Bagi Hikmawanto, sikap Kemenlu itu cenderung menyalahkan Rusia sebagai negara agresor yang telah menganeksasi Ukraina. Ia khawatir pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman penilaian publik.
“Tentu saya sangat sayangkan pernyataan dari Kemlu yang mengatakan bahwa serangan terhadap Ukraina, meskipun tidak menyebut Rusia, itu tidak dapat diterima. Karena bagi Rusia tentu apa yang disampaikan oleh Kemlu dianggap berpihak kepada Ukraina dan tidak berpihak pada Rusia,” ujar Hilkmahanto.
Baca juga : Menyambut Era AI, Pakar: Buat Transformasi Pendidikan Menarik
Karena itu, Hikmahanto berharap pernyataan Kemenlu itu dapat diperbaiki dan tetap berpedoman pada apa yang disampaikan oleh Jokowi Presiden yaitu stop perang. Perang harus dihentikan tanpa menyalahkan Rusia dan Ukraina, serta meminta konflik diselesaikan secara damai, dan tidak membahayakan pada keamanan dan perdamaian internasional.
Ia juga mengingatkan, agar Indonesia tidak melihat konflik Rusia vs Ukraina sebagai konflik antara pemerintah pusat (PBB) dan pemerintah daerah (Rusia-Ukraina).
“Efektifitas PBB ini diragukan, dan perlu diingat bapak/Ibu sekalian, bahwa PBB ini bukan pemerintahan ya. Artinya, tidak seperti pemerintah pusat, kalau misalnya ada pemerintah daerah bersengketa, kemudian pemerintah pusat bisa turun. Mereka punya main street sendiri, itu yang harus kita pahami,” katanya.
Artinya, saat ini dalam konteks hukum internasional, lanjut Hikmawanto, bagi masyarakat internasional yang berlaku adalah hukum rimba, bukan norma-norma hukum internasional yang harus ditaati.
“Yang berlaku hukum rimba, siapa yang kuat sebagai justifikasi hukum internasional, bukan norma yang harus ditaati. Ini akan menjadi justifikasi setiap negara untuk mengambil tindakan,” tegas pakar hukum internasional Universitas Indonesia itu.
Baca juga : Epidemiolog UI Sebut Indonesia Siap Akhiri Darurat Covid-19