Nasional
Syiah Diserang NKRI Terancam
Indonesia tercatat dalam sejarah peradaban sebagai bangsa yang santun, saling menghormati dan mengedepankan toleransi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya suku, budaya, agama, dan keyakinan yang mampu terangkum dan mau hidup bersama dalam sebuah negara yang menganut prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Namun, beberapa tahun terakhir, mulai muncul sekelompok manusia yang terkesan ingin mengubur sejarah beradaban bangsa yang agung itu. Terbukti, banyak terjadi tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok lain yang mereka anggap berbeda. Sebut saja misalnya Jamaah Ahmadiyah atau Muslim Syiah di Sampang Madura yang merasakan langsung tindakan intoleransi itu.
Dalam menjustifikasi tindakan intoleransinya, mereka kerap mengaku sebagai Muslim Ahlusunnah (Sunni) yang mengklaim dirinya ingin menjaga kemurnian akidah Islam. Sebagai contoh, Deklarasi Nasional Anti Syiah di Bandung, April lalu yang diadakan dengan mengatasnamakan ormas Islam se Indonesia. Padahal faktanya, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, selaku dua ormas Islam terbesar di Indonesia saja tidak turut diundang dalam gerakan anti Syiah yang diklaim berskala nasional itu. Entah mereka ini Ahlusunnah yang mana?
Belum lagi penyebaran buku-buku penyesatan terhadap Syiah yang dikeluarkan oknum MUI dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang menambah panjang daftar kampanye intoleransi di negeri ini.
Dari banyaknya serangan langsung maupun tidak langsung terhadap Muslim Syiah, apakah kelompok minoritas ini tidak merasa terancam di negeri yang dikenal santun ini?
Menyikapi hal itu, Ahmad Hidayat, Sekretaris Jenderal Ahlulbait Indonesia (ABI) selaku ormas Islam Syiah di Indonesia angkat bicara. Ada tiga hal yang ia utarakan.
Pertama, bahwa yang sebenarnya paling terancam dalam hal ini adalah negara. Karena kelompok yang suka mengkafirkan dan menyesatkan ini tidak pernah menghormati hak asasi manusia, hak sipil warganegara, dan tidak menghargai kebebasan beragama bagi setiap warga negara yang sesungguhnya dijamin dengan jelas dan tegas oleh konstitusi kita. Sebaliknya, kelompok takfiri itu justeru menghendaki pemberlakuan Syariat Islam (versi mereka) sebagai pengganti Pancasila sebagai dasar negara yang dapat diartikan sebagai upaya mengubah konstitusi. Kalau aparat pemerintah membiarkan hal ini, sama saja dengan membiarkan mereka melakukan tindakan makar yang justru akan mengancam keutuhan NKRI.
Kedua, komunitas masyarakat Muslim di Indonesia dihuni mayoritas Muslim Ahlusunnah, dalam hal ini terutama diwakili NU dan Muhammadiyah yang prinsip keagamaannya dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan ritual keagamaan Muslim Syiah. Sementara oleh kelompok radikal yang suka mengkafirkan dan menyesatkan kelompok lain ini, bukan hanya ritual Syiah, bahkan ritual yang biasa diamalkan NU pun banyak yang dianggap sebagai ritual musyrik, bid’ah, dan khurafat.
Ketiga, bahwa Muslim Syiah adalah kelompok masyarakat yang sepanjang sejarah mengalami tindakan kekerasan, pembunuhan, dan pengusiran. Dan sama sekali bukan kelompok yang berwatak ekspansif untuk menguasai kelompok lain. Tapi masyarakat Muslim Syiah selalu tabah dan sabar sembari mengedepankan semangat dialog, silaturahmi dan uhkuwah. Karena masyarakat Muslim Syiah menyadari tindakan radikal dan intoleransi, tidak memiliki dasar pembenaran di dalam ajaran Islam. Selain itu Muslim Syiah juga mempercayai bahwa dengan ukhuwah, silaturrahmi, dan dialog, akan terwujud cita-cita kemenangan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Karena itulah Muslim Syiah selalu berpegang teguh pada Firman Allah yang mengedepankan budaya dialog seperti dalam surah An-Nahl ayat 125 yang artinya: “Serulah (manusia) kepada Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik … ”
Terkait tiga hal yang dipaparkan Ahmad Hidayat, ABI Press juga mewawancarai KH. Alawi Nurul Alam selaku pengurus Tim Aswaja Center Lembaga Takmir Masjid (LTM) PBNU. Kepada ABI Press ia mengatakan kekhawatirannya terhadap kader NU yang belum memiliki dalil kuat dalam kajian-kajian keagamaan, sehingga rentan diserang kelompok takfiri yang mudah mengkafirkan orang lain yang tak sepaham dengannya. “Dari situ akan mudah timbul perpecahan,” ungkapnya.
Selain itu, ia menilai seperti sudah menjadi kebiasaan bagi kelompok takfiri untuk selalu menggunakan hujjah yang tidak komplit dan seringkali gemar memotong dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an demi memuluskan agendanya semata. “Mereka tidak mau duduk bersama untuk mendiskusikan hal-hal menyangkut agama, dan mereka menyebarkan ajarannya dengan cara semaunya sendiri,” tambahnya.
Terkait potensi ancaman kelompok radikal ini terhadap NKRI, Kyai Alawi juga sependapat dengan Ahmad Hidayat. Menurutnya, Syariat Islam yang diusung kelompok takfiri selama ini sejatinya sangat bertentangan dengan Syariat Islam yang sebenarnya, “Karena wacana Syariat Islam yang mereka bawa adalah murni versi mereka sendiri, di luar Syiah maupun Sunni,” tegasnya. (Malik/Yudhi)