Ikuti Kami Di Medsos

Nasional

Sosiolog: Pernyataan Menag Soal Memberi Perlindungan Seluruh Warga Negara Sudah Tepat 

Sosiolog dari Universitas Nasional Sigit Rochadi menilai pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas soal perlindungan kepada seluruh warga negara sudah tepat. Menurutnya, sesuai konstitusi, Menag harus menggunakan pendekatan hak asasi manusia (HAM) terkait masalah ini. 

“Kalau pendekatan hak, sekecil apapun pengikutnya, dia punya hak untuk dilindungi, dilayani, punya hak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya,” kata Sigit, Senin (28/12), seperti dilansir CNNIndonesia. 

Bagi Sigit, secara sosiologis, pendekatan hak akan mengangkat, memuliakan, serta membangun derajat kelompok-kelompok, baik minoritas maupun mayoritas. 

Sementara menteri-menteri sebelum Yaqut, ujarnya, masih mengedepankan pendekatan jumlah pengikut kelompok agama. Hal ini kemudian yang membuat hak-hak kelompok minoritas terabaikan. 

Lebih jauh, Sigit menekankan bahwa jaminan perlindungan itu bukan sekadar kebebasan menjalankan ibadah atas agama dan kepercayaan yang mereka anut. Namun, negara mesti memberikan perlindungan hak ekonomi, pendidikan, dan hak-hak asasi lainnya kepada kelompok minoritas. 

“Yang terpenting tidak melihat mayoritas-minoritas, tapi melihat sama-sama warga negara Indonesia yang punya hak untuk menjalankan agama dan kepercayaannya itu,” ungkapnya. 

“Semua warga negara itu punya hak sama, kedudukan yang sama di dalam hukum, pemerintahan, layanan sosial, baik ekonomi maupun non-ekonomi, dalam pendidikan mereka juga memperoleh layanan yang sama,” kata Sigit. 

Senada dengan Sigit, peneliti sosial dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir menyatakan, perlindungan terhadap kelompok minoritas bukan sekadar menjamin kebebasan beragama. 

Perlindungan juga berarti dalam hal jaminan bebas dari diskriminasi ekonomi, administrasi, dan sejumlah program pemerintah lainnya. 

“Perlindungan terhadap Ahmadiyah dan Syiah dilakukan dalam kerangka kewarganegaraan, bukan aksi afirmatif,” katanya. 

“Yang dibutuhkan oleh Ahmadiyah dan Syiah juga minoritas lainnya bukan kuota tertentu, melainkan kesetaraan dalam berpartisipasi dalam ruang publik politik. Tentu mencakup semua aspek kehidupan publik,” ungkapnya. 

Sementara itu, Wahid Foundation mencatat dari 26 provinsi yang dipantau selama 2018, terdapat 192 peristiwa dan 276 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).. Dari laporan itu, 138 institusi negara tercatat sebagai aktor pelanggar. 

Catatan Imparsial juga melaporkan terdapat 31 kasus pelanggaran hak KBB yang terjadi di 15 provinsi selama 2019. Laporan kasus tertinggi yakni, 12 kasus berupa pelarangan atau pembubaran terhadap pelaksanaan ibadah agama atau kepercayaan tertentu dan 11 kasus pelarangan pendirian tempat ibadah. 

Sedangkan menurut laporan hukum dan HAM 2019, terdapat 15 kasus pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Rinciannya, empat kasus pelanggaran pendirian tempat ibadah, dan tiga kasus pelanggaran hak kegiatan keagamaan dan menganut agama. 

Kemudian dua kasus pelanggaran hak merayakan hari besar keagamaan dan hak pemakaman, serta satu kasus pelanggaran hak beribadat. 

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *