Nasional
Seminar KKPK: Pemerintah dan Lembaga Agama Wajib Minta Maaf kepada Minoritas Tertindas
Rabu, 27 November, 2013, Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) mengadakan seminar bertajuk “Dengar Kesaksian, Bicara Kebenaran, Memutus Lingkar Kekerasan.”
Acara diadakan di ruang Teater, gedung Perpustakaan Nasional, jl. Salemba Raya 28A, Jakarta.
Seminar ini merupakan kelanjutan dari program Dengar Kesaksian, yaitu program mendengar suara-suara kebenaran dari korban pelanggaran HAM di Indonesia yang dibiarkan terbungkam selama puluhan tahun.
Acara ini diadakan oleh KKPK selama 5 hari berturut-turut sejak tanggal 25 November 2013 – 29 November 2013 dengan tema yang berbeda setiap harinya.
Di hari ke-tiga seminar yang mengambil tema “Kekerasan dalam Ideologi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,”KKPK menghadirkan dan memperdengarkan kesaksian enam kasus pelanggaran HAM, yaitu penahanan tahun 1965, pengasingan di Kamp Platungan, kekerasan terhadap penganut Djawa-Sunda di Jawa Barat, peristiwa Tanjung Priok, serangan terhadap penganut Ahmadiyah di Lombok, dan peristiwa Talangsari, Lampung.
“Seminar ini diadakan karena selama ini setiap ada kasus kekerasan atas nama ideologi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang didengar suaranya hanya pemerintah saja. Sementara orang-orang yang menjadi korban tidak diberi kesempatan mengungkapkan penderitaannya,” ujar Ketua Panitia Seminar, Dodi.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Nani Nurrahman, perwakilan Majelis Warga menyampaikan kesimpulan hasil Dengar Kesaksian. Bahwa kehidupan bangsa kita sampai saat ini masih diwarnai kekerasan, dan siapa saja bisa jadi korban. Namun sebagai bagian dari sejarah bangsa, hal itu tidak boleh dilupakan. Negara justru harus bertanggung jawab mengungkapnya melalui rekonsiliasi nasional.
Menanggapi maraknya upaya penyesatan dan pengkafiran yang selama ini biasanya dilakukan oleh kelompok intoleran terhadap kelompok lain, Dr. Nani Nurrahman menegaskan bahwa dalam negara yang berasaskan Bhinneka Tunggal Ika ini, semestinya pemerintah, lembaga agama, atau tokoh agama tidak memiliki kewenangan menentukan mana agama yang diakui atau yang tidak diakui. Pemerintah juga tidak berhak memaksa sekelompok orang melakukan konversi keyakinan atas nama dialog terhadap kelompok-kelompok yang berbeda keyakinan dan menuduh mereka sesat.
“Lembaga pemerintah atau lembaga keagamaan justru harus melakukan pengakuan atas kesalahan mereka terhadap kelompok-kelompok minoritas yang selama ini telah ditindas dan meminta maaf baik secara politik, sosial dan budaya kepada mereka,” tegas Dr. Nani Nurrahman di akhir acara. (ABI/AM)