Nasional
Selamat Tinggal “Tahun Horor”
Hampir setiap orang mengekspresikan kegembiraan dengan beragam gaya dan cara yang kadang aneh. Bunyi terompet diselingi gelak tawa (bahkan dengan minum keras) bersahut-sahutan di setiap tempat. Deru sepeda motor, mulai dari 2 tag yang mirip ‘dapur berjalan’ sampai truk, meraung-raung dan membunyikan klakson. Café, diskotik dan tempat-tempat hiburan malam sesak padat dengan asap rokok bermerek dan ‘tidak bermerek’ (lintingan) yang berbaur aroma alkohol mulai dari yang oplosan sampai yang mereknya susah dibaca lantaran ‘asli’.
Entah direncanakan atau memang sengaja ‘ditradisikan’, pada malam itu orang-orang seakan secara serempak melonggarkan moralitas dan kesusilaan. Bangsa Indonesia punya hajatan ‘baru’, yaitu merayakan Tahun Baru.
Isu ‘aliran sesat’ seakan mengubah karakter bangsa yang dikenal santun dan pemaaf ini, menjadi bringas, brutal dan anarkis akibat ulah segelintir orang yang menjadi monster-monster berlagak ‘densus kebenaran’. Beragam ormas jadi-jadian muncul dan kelompok paramiliter atas nama jamaah majelis taklim dengan memprovokasi massa merenggut hak sipil sesama warga negara dengan membakar, merusak dan melemparkan tuduhan sesat. kafir dan murtad.
Sejarah pemikiran keislaman di Indonesia ditandai oleh munculnya berbagai ketegangan kreatif antara dua corak pemikiran yang sangat berbeda, yaitu antara kalangan simbolis, atau sering juga disebut skripturalis, dan kalangan substansialis. Corak pemikiran skripturalis biasanya bersifat normatif, bertumpu semata-mata pada teks yang dijadikan sebagai pedoman baku, serta kurang memiliki tempat bagi upaya penafsiran baru atas teks-teks tersebut. Acap kali, corak pemikiran demikian menutup rapat pintu dialog untuk mengembangkan wacana pemikiran alternatif serta kurang toleran terhadap perbedaan pendapat karena terkungkung oleh nilai-nilai normatif yang menjadi pegangannya. Corak pemikiran ini lebih mengutamakan dimensi formal dan simbol. Oleh karena itu, tidak heran bila ekspresi pemikiran keislamannya cenderung mementingkan label dibanding substansi, kemasan jauh lebih diutamakan ketimbang isi.
Ide negara Islam dan khilafah Islamiyah telah mengembangkan imajinasi politik yang legalistik dan formalistik. Campurtangan pemerintah dalam penyelesaian persoalan agama telah menimbulkan kesangsian sebagian kelompok minoritas terhadap komitmen kebangsaan. Bila dibiarkan, maka kesatuan dan persatuan akan menjadi kata yang tak bermakna, dan pada gilirannya, negara dan bangsa ini akan menghadapi masa depan yang suram.
Wajah Indonesia bukan hanya Islam, tetapi juga Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu, dan bahkan aliran kebatinan. Wajah Islam Indonesia bukan hanya wajah Sunni, NU dan Muhammadiyah. Dalam perspektif realitas sosial tersebut, masing-masing kelompok agama seyogyanya tidak saling menghegemoni, apalagi memaksakan kehendak atas nama agama dan aliran agama tertentu.
Harus diakui bahwa aksi-aksi peusakan terhadap pemukiman dan tempat ibadah Ahmadiyah dan kelompok-kelompok minoritas lain yang secara sepihak dianggap sesat sepanjang 2007 telah melumuri wajah Indonesia yang dengan citra kesadisan.
Semoga 2014 fragmen-fragmen menjijikkan itu tidak terulang lagi. Terlalu banyak agenda yang harus dikedepankan, seperti peningkatan ekonomi menjelang pasar bebas dan penguatan semangat memiliki dalam visi nasionalisme yang rasional dan demokratis.
Semoga di tahun 2014 aparat keamanan dan pemerintah tidak memble dan memainkan standar ganda. Semoga citra positif bangsa Indonesia kembali benderang di muka bumi.
Jayalah Indonesiaku.
Selamat tahun baru.
Oleh : Muhsin Labib