Nasional
Resensi Buku: Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa “Merah” MUI & DII
Judul buku : Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa “Merah” MUI & DDII
Penulis : KH. Alawi Nurul Alam AL Bantani
Penerbit : Pustaka Albantani bekerjasama dengan Pustaka Aura Semesta dan LTM-PBNU
Cetakan : Cetakan 1, Maret 2014
KH. Alawi Nurul Alam Al Bantani adalah Kyai muda yang mendapat mandat khusus dari pengurus besar Nahdlatul Ulama untuk menangani perkara-perkara umat Islam di Indonesia. Itu sebabnya ia merasa wajib bersuara menyangkut pelbagai perkara itu secara konsisten terutama hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu yang dapat menjadi sumber perpecahan di antara umat Islam.
Buku ini misalnya, adalah salah satu dari puluhan buku yang ditulis untuk mengantisipasi perpecahan di antara umat Islam. Selain sebagai kritik dan wujud keprihatinan seorang Kyai NU atas beredarnya buku panduan MUI “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” dan buku saku yang dikeluarkan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) beberapa waktu lalu.
Bukan untuk menghakimi, melainkan untuk meluruskan kebenaran yang dinilai telah dimanipulasi oleh oknum-oknum lembaga itu. Hal itu dilakukan mengingat buku-buku MUI&DDII tentang Syiah dianggap dapat memicu perpecahan dan keretakan ukhuwah islamiyah di antara umat Islam.
Selain itu, buku ini dimaksudkan agar umat Islam tidak terpaku kepada fatwa MUI, mengingat lembaga ini sudah berbuat tidak adil dalam menilai keislaman Muslim Syiah di Indonesia. Keberanian menampilkan beberapa fakta tentang Syiah yang justru di dalam buku MUI & DDII, fakta-fakta itu disembunyikan, menjadi hal menarik pada buku ini.
Selain itu, penulis cukup berani memberikan kritikan pedas “Ketidakakuratan Data yang Dimiliki MUI Tentang Syiah” (Bab 2 Hal : 9).
Selain itu, penulis juga berani menyatakan tuntutanya kepada dua lembaga keagamaan yang dinilainya tidak berlaku adil terhadap Syiah, serta meminta untuk memohon maaf atas kelancangan dan kesalahan mereka dengan menerbitkan buku tentang Penyimpangan dan Kesesatan Syiah di Indonesia, yang ternyata buku tersebut banyak sekali kesalahannya dan data yang tidak lengkap sehingga menyesatkan warga Muslim di Indonesia, dan warga Nahdliyyin khususnya.
Ternyata jauh lebih berbahaya ketika Sunni-Syiah berhasil diadudomba, warga NU-lah yang lebih besar kena imbasnya. “Dengan bertikainya Sunni-Syiah, maka kelompok Salafi Wahabi akan leluasa mengembangkan dakwah mereka. Bahkan salah satu Imam Besar PBNU KH. Hasyim Muzadi ketika taushiyah di PWNU Jabar Januari 2012, mengatakan ‘Bahwa dari tahun 2010-2012 tercatat kurang lebih 300 mesjid warga Nahdliyyin yang diambil alih oleh orang-orang PKS (Salafi Wahabi).’ Hal ini dikarenakan warga Nahdliyyin merasa tidak pernah punya musuh sehingga kita terlena dengan cara dakwah mereka, dan ketika sadar kita baru menyesali telah kehilangan mesjid, jadwal pengajian, bahkan mau mengadakan yasinan, tahlilan, baca barzanji, marhabanan pun kita tidak bisa lagi, karena mereka telah menjadi DKM-nya, padahal mesjid itu adalah mesjid warga NU.” (Hal : 94)
Meningkatnya kelompok radikal yang suka mengkafirkan kelompok lain di tengah keberadaan NU sebagai ormas islam terbesar ini tentu akan akan timbul berbagai asumsi dan pertanyaan, apakah NU serius dalam menanggapi permasalahan ini, kog kelompok-kelompok itu makin leluasa melakukan aksinya?
Terlepas dari itu, setidaknya buku ini dapat menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Melalui buku inilah seorang Kyai NU menampilkan gagasan-gagasanya menyikapi fenomena meningkatnya kelompok radikal pengkafir umat yang terus meningkat, serta upaya membentengi umat dari perpecahan yang akan ditimbulkan. (Malik)