Nasional
Perspektif Lain Bedah Buku MUI
Buku “Mengenal dan Mewaspadai kesesatan Syiah” diklaim sebagai buku panduan MUI Pusat oleh beberapa oknum MUI yang menyebarkan buku tersebut. Meskipun kenyataanya, buku itu tak memiliki stampel dan tanda tangan sebagaimana buku panduan MUI lainya. Buku gratis itu disebar melalui seminar-seminar dan bedah buku di berbagai tempat di Indonesia oleh oknum MUI dan beberapa tokoh relasinya tanpa menghadirkan pihak Syiah maupun tokoh lain sebagai pengkritik buku yang ditengarai penuh kontroversi itu.
Satu pekan lalu, saya mendapat kabar melalui jejaring sosial tentang bedah buku MUI tersebut dengan sudut pandang lain. Saya mengatakan sudut pandang lain karena selain pihak MUI yang dihadirkan, perwakilan Syiah dan Ulama Sunni serta akademisi juga dihadirkan dalam acara bedah buku yang diselenggarakan pada minggu (9/2) itu.
Acara yang menurut kami fair ini membuat saya bersemangat untuk mengikutinya. Bersama seorang kawan, kami meluncur dari Jakarta ke Yayasan Babussalaam, Bandung Jawa Barat. Tempat itulah yang dijadikan sebagai tempat diskusi dan bedah buku tersebut.
Sampailah kami di Bandung pada hari yang telah dijadwalkan. Sekitar pukul 08:45 WIB, acara dimulai. Diawali dengan do’a dan istighatsah, suasana menjadi hening dan terlihat khusyu’ oleh lantunan doa-doa. Bedah buku ini memang ditujukan untuk memediasi, mencari titik tengah serta mendamaikan kelompok yang pro maupun anti Syiah. Selain itu tak lepas dari pembahasan utama adalah klarifikasi atas tuduhan dalam buku itu yang ditengarai dapat menjadi sumber konflik.
Saya sedikit membayangkan, apakah suasana ini juga ada di acara yang diadakan MUI di tempat lain saat bedah buku yang sarat kontroversi itu ataukah sebalikya?
Saya tidak ingin menghayal lebih jauh. Saya kembali kepada realitas saja. Mengikuti acara berikutnya, yaitu sambutan yang disampaikan oleh ketua Yayasan Babussalaam, DR. H. Fadullah M Said, MA. Sebagai akademisi, serta pimpinan Yayasan Babussalam, DR. Fadullah menyayangkan atas diterbitkannya buku MUI yang ia tengarai akan menjadi sumber perpecahan di antara umat Islam. Ia juga menyampaikan satu pertanyaan yang belum terjawab hingga saat ini, “Akan menjadi seperti apa Indonesia jika buku-buku MUI ini dikembangkan?” tanyanya, sambil memegang buku tersebut.
Terlepas dari pertanyaan itu, saya lanjut terus mendengar. Sampailah kesempatan dari pihak MUI Jawa Barat, Izzudin Mustafa mewakili MUI Pusat menyampaikan pandangannya. Saya sempat berharap, ada koreksi positif yang akan ia sampaikan mengenai buku itu. Ternyata tidak. Ia hanya merangkum apa yang ada di dalam buku, dan menyampaikan persis sesuai isinya. Nampak terlihat ingin membela diri, ia juga menyebutkan sumber kutipan dan (foot note) sebagai dasar penulisan buku. Termasuk salah satunya yang mengatakan Syiah mempercayai Al-Qur’an yang saat ini telah mengalami perubahan. Di dalam buku itu, memang MUI merujuk ke beberapa kitab karangan Syiah. Namun, kitab yang dirujuk sendiri juga tidak semuanya benar. Merujuk pada suatu kitab (Al-Kafi), yang memuat lebih dari empat belas riwayat dan sebagianya belum tentu diterima dan tak lepas dari koreksi oleh ulama-ulama Syiah sendiri.
Ust. Babul Ulum selaku perwakilan dari pihak Syiah dalam acara itu membantah dan memberikan pernyataan tegas. “Kalau ada Al-Quran Syiah yang berbeda, saya siap digantung di Monas!” tegasnya, mengikuti gaya Anas membuat hadirin tertawa.
KH. Drs. Muchtar Adam, selaku pendiri Yayasan Babusalaam mendapat giliran berikutnya menjadi pembicara dalam acara bedah buku itu. Yayasan yang didirikanya ini bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah. Yayasan ini sebelumnya juga pernah dituding sekelompok orang sebagai yayasan yang berpaham Syiah.
Dalam kesempatannya, beliau juga memberikan klarifikasi atas tuduhan itu dan menjelaskan bahwa yayasan yang didirikannya tidak berpaham Syiah. Namun demikian, beliau juga mengakui banyak persamaan antara Sunni dan Syiah. Beliau juga menghimbau masyarakat agar mengedepankan persamaan dan ukhuwah.
Menanggapi buku yang diterbitkan atas nama MUI, beliau mengungkapkan kesedihannya. “Mengapa buku ini diterbitkan, dan mengatasnamakan MUI pula,” tuturnya. Beliau sering mendengar kabar, orang Syiah katanya sering membantai Sunni di berbagai tempat, termasuk di Iran yang mayoritas Syiah. Demikian juga tentang Syiah yang dianggap percaya Al-Quran yang sekarang sudah tidak asli dan terdapat perubahan.
“Saya ke Iran 7 kali, saya belum menemukan yang dikatakan Majelis Ulama. Saya akan beli 10 juta kalau ada Al-Quran Syiah yang berbeda. Dan ketika saya ke Iran, ingin membuktikan apa benar muslim Sunni di sana diperlakukan tidak baik, ternyata tidak benar berita itu,” tambahnya meyakinkan jamaah.
“Saya akan beli 1 M, kalau memang ada,” celetuk Babul Ulum memotong pembicaraan.
Izzuddin, juga mendapat kesempatan berbicara lagi. Ia menyampaikan kekhawatiranya, kalau Syiah berkembang di Indonesia akan membahayakan NKRI. Sebab menurutnya, isu permusuhan yang dihembuskan ke pihak Sunni-Syiah di berbagai negara terutama di Timur Tengah dikesankan menjadi sumber perpecahan dan berdampak pula di Indonesia.
Muchtar Adam membantahnya. Tidak tepat menurutnya kalau adanya Syiah membahayakan NKRI. Sebab, Syiah pernah berkuasa hampir 200 tahun. Menguasai Ibu kota Kairo. Kenyataanya hidup aman, dan damai, bahkan berhasil mendirikan Universitas Islam tertua di dunia yaitu Al-Azhar. “Jadi kekhawatiran MUI menurut saya alasan yang tidak tepat dan tidak mendasar,” jelasnya.
Di akhir acara, saya ajukan satu pertanyaan kepada Izzudin selaku perwakilan dari MUI, apakah buku-buku itu akan terus dicetak dan disebarkan? Izzudin menanggapinya dengan teguh pendirian, bahwa MUI akan terus memproduksi buku-buku itu dan disebarkan serta disosialisasikan ke MUI-MUI Daerah. Ia juga mengklaim bahwa MUI mewakili masyarakat muslim Ahlusunnah wal jamaah dalam menyebarkan buku-buku itu. Meskipun pada kenyataanya, tidak semua Ahlusunnah sepakat dengan pernyataan MUI tersebut. (Malik/Abu Mufadhdhal)