Nasional
Pakar: Menjaga Keamanan Siber Butuh Peran Warganet
Pakar: Menjaga Keamanan Siber Butuh Peran Warganet
Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha mengatakan bahwa pertahanan negara memerlukan keterlibatan banyak pihak, rakyat dan warganet untuk ikut secara aktif menjaga ketahanan nasional, terutama dari serangan siber dan ancaman perang asimetris.
“Seiring dengan perkembangan teknologi siber, bangsa Indonesia perlu juga mengamankan wilayah baru ini,” kata Pratama, dilansir Antaranews di Semarang, Rabu pagi (11/10).
Indonesia telah memiliki aturan pertahanan keamanan rakyat semesta (hankamrata) yang termaktub dalam Undang-Udang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Ini adalah model pertahanan yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya yang sudah ada.
“Nah, untuk keamanan siber ini masuk ke mana? Tentu perlu dibicarakan banyak pihak,” kata Pratama yang pernah menjabat sebagai pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang kini menjadi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Baca juga : Wagub Jabar Tolak Timnas U-20 “Israel” ke Indonesia
Menurut Pratama, pendidikan keamanan siber bisa masuk dalam kurikulum pendidikan wajib militer dari Kemhan. Tak hanya itu, baginya perlu upaya serius melalui kurikulum pendidikan, seperti di jenjang pendidikan menengah dan atas.
Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC menjelaskan, bahwa ada hal unik dari keamanan siber, adalah kemampuan sumber daya manusia (SDM) siber di luar TNI/Polri, BSSN, dan Badan Intelijen Negara (BIN) sangat banyak.
Maka menurutnya, penting untuk merangkul dan mengajak para ahli teknologi informasi untuk membangun keamanan di ranah siber.
“Apalagi dalam perang siber, tidak bisa lagi kekuatan yang dimiliki negara bertarung sendiri. Diperlukan peran serta masyarakat untuk membantu pertahanan siber, terutama pada masa konflik,” katanya.
Baca juga : Wapres: Jaga Perdamaian dan Keutuhan Bangsa
Pratama mengatakan bahwa pada era siber memang tidak mudah memastikan ada tidaknya perang nyata. Hal ini berbeda dengan perang fisik, satu pihak secara militer sudah mengerahkan kekuatannya.
Pada era siber, perang bisa terjadi 24 jam tanpa disadari. Misalnya, perang asimetris dengan konten hoaks untuk mengganggu stabilitas nasional, kemudian berbagai aksi serangan siber, baik masyarakat maupun aparat tidak mengetahui adanya serangan tersebut.
Karena konteks keamanan di wilayah siber jelas tak hanya soal defensif tetapi juga ofensif, yang beberapa negara dalam bentuk lain sudah mempraktikkan, misalnya Rusia dengan ikut sertanya para peretas (hacker) sipil dalam setiap aksi pertikaian dengan negara lain.
“Jadi, selain edukasi dan pelatihan massal lewat lembaga negara, harus ada juga kegiatan rekrutmen, terutama bagi SDM yang mumpuni dan sangat dibutuhkan negara,” pungkasnya.
Baca juga : Pakar Hidrologi: Indonesia Harus Memiliki Roadmap Bencana Hidrometeorologi