Nasional
Menyemai Kembali Karakter Bangsa
Di tengah ketertinggalannya dari negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika, Indonesia justru masih mengalami kemunduran luar biasa terutama pasca reformasi. Hal itu disampaikan cendikiawan Muslim sekaligus Direktur Utama Mizan Grup, Dr. Haidar Bagir dalam sebuah kajian Titik-Temu bertajuk “Mata Air Keteladanan dan Keutamaan Hidup Bersama” di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan. Tajuk diskusi diambil dari judul buku karya Yudi Latif yang memang ditujukan untuk menginspirasi dan diterbitkan sebagai upaya menyemai kembali karakter bangsa yang hilang. Yudi Latif selaku penulis buku juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu.
Dalam kesempatan itu Haidar menjelaskan pandangannya terkait kemunduran bangsa Indonesia, bahwa penyebabnya bukan karena tidak mau mengejar, tapi justru karena terlalu cepat mengejar, hanya saja salah arah. “Yang harusnya lari ke depan malah lari ke belakang,” ungkapnya.
Dia pun mengambil contoh tentang beda materi pelajaran di Indonesia dibandingkan dengan di Amerika. “Tingkat kesulitan pelajaran Matematika di sana sangat rendah dibandingkan dengan yang ada di Indonesia,” jelasnya. Saking mudahnya, kedua anaknya yang masih duduk di bangku SMP itu, saat mereka berkunjung ke sana, mampu dengan cepat mengerjakan soal yang diberikan sang paman yang menjadi dosen sebuah universitas di negeri Paman Sam itu.
“Sungguh, anak-anak ini sudah mampu mengajar matematika di sini,” ungkap sang paman. Padahal, Haidar mengaku kedua anaknya itu tidak pernah mendapatkan peringkat sepuluh besar di sekolahnya. Di samping tidak mementingkan peringkat kelas, Haidar menilai sistem seperti itu juga tidak dapat menjadi ukuran bagi kecerdasan seseorang. Satu hal yang menurutnya keliru adalah ketika Indonesia ingin meniru negara maju, tapi menirunya dengan cara yang keliru dan mempersulit diri, padahal yang ditiru justru menerapkan hal-hal yang lebih mudah.
Kemajuan Barat dan AS, lanjut Haidar, dilandasi oleh pembentukan karakter yang kuat, bukan pada mata pelajaran sekolah yang sulit. Sebaliknya di Indonesia, penguatan karakter dan pendidikan akhlak seperti dikesampingkan, karena lebih mengutamakan kemampuan penguasaan materi pelajaran berupa teori dan pengetahuan saja.
“Padahal, misi Rasulullah Saw diutus untuk menyempurnakan akhlak,” tegas Haidar.
Menurutnya pendidikan akhlak dapat memperkuat karakter bangsa. Tapi sayangnya, hal itu sangat lemah penerapannya di Indonesia, terutama di kalangan umat Islam. Misi Rasul di atas sepertinya malah diterapkan secara terbalik. “Seolah-olah Islam itu hanya mesti bicara soal akidah dan rajin ibadah. Sementara akhlaknya tetap nggak karuan,” tuturnya. Padahal akhlak tetaplah yang utama, sedangkan ibadah dan sebagainya tak lain adalah sarana untuk memperbaiki akhlak tersebut.
“Karakter bangsa dan strategi budaya Indonesia pada awalnya sangat kuat. Hal itu terbukti dengan banyaknya ragam budaya, agama, dan keyakinan yang mampu tumbuh bersama dalam satu kesatuan Republik Indonesia,” tambah Haidar.
Hanya saja, pasca reformasi, bangsa kita seolah mengalami pingsan budaya karena kesadaran tentang strategi budaya itu mulai hilang. Itulah di antara penyebab kemunduran bangsa Indonesia, yang salah satunya ditandai oleh kian banyaknya kemunculan kelompok radikal anti toleransi. Sementara dalam bidang pendidikan, penerapan kurikulumnya pun masih dinilainya belum tepat.
Senada, Yudi Latif menilai bahwa moral dan akhlak dapat diangkat dari keteladanan, bukan dari teori dan pengetahuan tekstual saja. Sebab itulah, dalam bukunya Yudi banyak bercerita tentang kisah keteladanan yang dimaksudkannya itu. Contohnya adalah kisah tentang presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno dan sopir pertamanya.
Arif adalah sopir taksi langganan Soekarno sebelum menjadi presiden. Sempat suatu saat, Soekarno tidak punya uang untuk membayar ongkos taksi ke Arif. Setelah sekian lama, sewaktu Soekarno sudah menjadi presiden, ia memerintahkan para ajudannya mencari Arif. Jadilah Arif sopir pribadi pertama dari presiden Indonesia pertama itu. Setelah pensiun, Arif pun ditanya apa yang menjadi keinginannya di akhir pengabdian. Maka keinginannya pergi haji pun dikabulkan Bung Karno waktu itu.
Itulah salah satu contoh karakter dan budaya bangsa Indonesia yang melekat dalam diri presiden pertama Indonesia. Karakter mulia yang layak dicontoh dan diteladani. “Namun sayang, tidak banyak orang yang menceritakan karakter presiden yang satu ini,” sesal Yudi.
Kearifan lokal dan strategi budaya yang saat ini perlu ditingkatkan lagi adalah nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila, Dasar Negara yang saat ini hanya dipahami oleh sebagian orang dari sisi tekstual saja. Padahal, menurut Yudi Latif, Pancasila merupakan kearifan lokal yang sudah tumbuh sejak lama di tengah masyarakat Indonesia dan kemudian dirumuskan secara tertulis agar dapat dipelajari juga di tempat lain sebagai sistem berfikir sehingga nilai-nilai filosofisnya tetap subur dan berkembang
hingga kini.
Jika Pancasila sebagai dasar negara benar-benar diterapkan dan dijadikan pedoman strategi kebudayaan, baik Haidar Bagir maupun Yudi Latif sepakat bahwa hal itu akan berdampak besar bagi kemajuan luar biasa bangsa Indonesia.
“Karena Pancasila tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat kebangsaan saja, melainkan semua sisi, baik sosial maupun ketuhanan,” pungkas Yudi Latif.
Diskusi yang dimulai pukul 18.00 dan berakhir pukul 21.00 WIB itu sedianya juga mengundang Jusuf Kalla dan Eva Kusuma Sundari sebagai pembicara. Namun karena berhalangan, keduanya urung hadir dalam forum itu. (Malik/Yudhi)