Ikuti Kami Di Medsos

Nasional

Menghadapi Ancaman Megathrust, Pakar: Jangan Panik, Siap Siaga!

Menghadapi Ancaman Megathrust, Pakar: Jangan Panik, Siap Siaga!

Menghadapi Ancaman Megathrust, Pakar: Jangan Panik, Siap Siaga!

Bayangkan jika bumi tiba-tiba berguncang hebat, dan ombak besar menerjang tanpa peringatan. Bencana gempa megathrust yang dapat memicu tsunami ini bukan lagi sekadar cerita fiksi atau ramalan. Di tengah ketidakpastian ini, masyarakat Indonesia kini mulai mempertanyakan kesiapan mereka dalam menghadapi ancaman yang tak terlihat namun nyata ini.

Pakar gempa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Ir. Gayatri Indah Marliyani, S.T., M.Sc., Ph.D., memberikan pandangannya, “Ancaman gempa megathrust memang selalu ada, tetapi kepanikan bukanlah jawabannya. Yang terpenting adalah kesiapan dan kewaspadaan,” dilansir laman UGM, Kamis (22/8).

Dalam sebuah diskusi di UGM, Gayatri menekankan pentingnya memahami risiko yang ada dan mempersiapkan diri secara proaktif. “Kita harus mengenal posisi kita terhadap potensi bencana dan tidak hanya reaktif setelah bencana terjadi,” ujarnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pusat gempa besar biasanya terjadi di sekitar zona subduksi, area di mana dua lempeng tektonik bertemu dan menimbun energi yang sewaktu-waktu bisa melepaskan gempa dahsyat, bahkan tsunami.

Lebih lanjut, Gayatri menjelaskan bahwa gempa megathrust biasanya terjadi di sekitar batas zona subduksi antara dua lempeng—lempeng benua dan lempeng samudra. Ketika lempeng-lempeng ini tidak dapat bergerak, energi yang tertahan semakin besar hingga akhirnya dilepaskan dalam bentuk gempa dahsyat yang berpotensi memicu tsunami. Salah satu gempa megathrust terbesar tercatat terjadi di zona subduksi di Valdivia, Chile Selatan, dengan kekuatan 9,5 magnitudo.

Baca juga : Kemen PPPA Tegaskan Komitmen Penanganan Kekerasan Berbasis Gender di Situasi Bencana

Di Indonesia sendiri, zona subduksi aktif meliputi wilayah selatan Pulau Jawa, memanjang dari barat Sumatra ke Selat Sunda, hingga selatan Pulau Lombok. “Potensi megathrust di daerah ini cukup besar, mengingat sejarah gempa Aceh tahun 2004 dan gempa Pangandaran tahun 2006. Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya gempa berikutnya, diperlukan pengukuran data geologi,” kata Gayatri.

Sementara itu, Galih Aries Swastanto, M.Sc., peneliti dari Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM, menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam penanggulangan bencana megathrust. Sesuai dengan Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah memiliki tanggung jawab penuh dalam penanganan bencana, mulai dari sebelum, saat, hingga pasca bencana.

Aries menekankan perlunya edukasi berkelanjutan kepada masyarakat tentang pengetahuan kebencanaan dan cara-cara penanggulangannya. “Layanan kebencanaan adalah kebutuhan dasar yang harus diutamakan, terlepas dari ada atau tidaknya anggaran,” tegas Aries.

Menurut Aries, sistem peringatan dini di Indonesia sudah berfungsi dengan baik dan mampu mengintegrasikan berbagai jenis bencana untuk mendeteksi ancaman yang mungkin muncul. Ia mengimbau masyarakat untuk tetap tenang namun waspada, serta memahami pentingnya kesiapan dalam menghadapi risiko bencana.

Kedua pakar ini sepakat bahwa pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus terus memberikan pengetahuan mengenai kebencanaan secara konsisten agar masyarakat selalu siap siaga, tanpa perlu merasa takut berlebihan.

Baca juga : Indonesia Tegaskan Dukungan Kuat untuk Palestina di Panggung Dunia