Nasional
Melenyapkan Noda Moral dan Intoleransi di Tubuh MUI
Secercah Optimisme Di Bawah Kepemimpinan Pak Din
Buku berlogo MUI “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” yang beredar luas di tengah masyarakat telah menuai hasilnya. Tak sedikit warga yang semula toleran menjadi intoleran, yang semula santun menjadi beringas dan yang awalnya beretika menjadi biadab. Buku itu menjadi semacam label halal ke atas Syiah (baik secara kelompok maupun individu) untuk dicemooh, dikucilkan dan bahkan diancam atau secara rutin terus diteror.
MUI sebagai lembaga yang menghimpun ragam pribadi yang dianggap berilmu bisa dianggap sukses memposisikan diri sebagai sentra intoleransi atas nama Islam dan mazhab Ahlussunnah.
Tak lama lagi, lembaga ini akan sibuk menghitung jumlah korban sebagai dampak dari inisiasinya mendorong masyarakat Muslim ke dalam arena destruksi dan konflik sektarian.
Harus diakui, ini adalah capaian yang luar biasa. Tentu, sebagai lembaga yang mengklaim diri sebagai perhimpunan ulama dan agamawan Islam, dampak-dampak negatif yang akan muncul dari terbit dan beredarnya buku itu telah diperhitungkan dengan matang. Dengan kata lain, nyawa, kehormatan dan ketenangan segelintir warga yang bermazhab Syiah, menjadi tak berarti apapun bagi MUI.
Beberapa kali sejumlah pribadi Syiah berusaha merawat prasangka baik dengan mendatangi dan meminta klarifikasi terkait buku yang mensesatkan Syiah. Namun hingga kini MUI belum sekali pun memberi tanggapan berupa bantahan.
Bila buku sesat tersebut ditulis oleh orang-orang yang mencatut nama lembaga MUI, mestinya Prof. Din selaku Ketua Umum memberikan pernyataan membantah atau menggugat penulis yang cukup berani memberi subjudul “Buku Panduan MUI.”
Karenanya, buku yang bisa dianggap sebagai “License to Kill” itu, bisa jadi memang direstui dan dianggap merepresentasi mayoritas ulama di Indonesia.
Sebagai lembaga non Pemerintah alias LSM, MUI telah melangkah terlalu jauh hingga terjadi distorsi dan pembentukan opini bahwa MUI adalah lembaga negara yang berhak dan bertanggungjawab atas urusan agama Islam di Indonesia.
Bila MUI memang direstui oleh Pemerintah sebagai lembaga semi-negara, maka hal itu bertentangan dengan amanat konstitusi sekaligus prinsip kebernegaraan yang menegaskan bahwa Negara tidak mencampuri urusan agama.
Sebaliknya bila Pemerintah membiarkan intervensi MUI terhadap persoalan keyakinan dan agama, bahkan menjadikan sikap dan pernyataan-pernyataan MUI sebagai acuan keputusan dan kebijakannya, maka hal itu bisa ditafsirkan sebagai menjadikan negara ini di bawah dominasi sekelompok orang di luar strukturnya sebagai amanat rakyat yang dituangkan dalam pemilihan umum dan partisipasi publik.
Selain itu, pemberian wewenang dan posisi pengendalian keyakinan rakyat kepada sebuah perkumpulan tertentu yang eksklusif dan terbatas bagi mazhab tertentu dapat dianggap sebagai menegarakan mazhab dan memazhabkan negara.
Itu semua memberikan konfirmasi bahwa lembaga bentukan Pemerintah Orde Baru ini telah melakukan kudeta terhadap konstitusi dan pembentukan negara yang hanya mewakili salah satu agama dan sebuah mazhab dalam himpunan mazhab.
Lebih fatal lagi, sebagai lembaga yang secara eksplisit atau implisit mengklaim diri sebagai representasi umat Islam dan mazhab Ahlussunnah, MUI telah menyatakan umat Islam dari mazhab Syiah sebagai sesat dan menyimpang bahkan dalam bukunya secara tidak langsung mengkafirkan setiap penganutnya.
Pensesatan Syiah oleh lembaga yang dihormati negara dan secara de facto diterima sebagai representasi umat Islam Indonesia bisa menimbulkan sejumlah dampak negatif, tidak saja terhadap para penganut mazhab Syiah di Indonesia, namun juga terhadap seluruh umat Islam dari mazhab Syiah di seluruh dunia. Dengan kata lain, ini bisa menimbulkan guncangan skala global dan berpotensi memicu ketegangan antar negara.
Perlu diketahui, dengan sikap dan penyesatan lembaga yang secara kasat mata mewakili sikap Pemerintah terhadap Syiah, Indonesia bisa dianggap sebagai negara pertama yang mensesatkan Syiah. Sikap ini juga bisa melengkapi dua akibat fatal yang disebutkan di atas.
Menganggap sesat itu bisa dilakukan oleh siapa saja, baik ulama maupun yang mengaku ulama. Namun persoalannya bukan itu. Persoalannya adalah kredibilitas dan integritas moral pihak yang menyesatkan. Hal ini sangat penting demi memastikan publik tidak malah menjadi korban pembodohan dan manipulasi atribut agama.
Kini kredibilitas MUI sedang menjadi sorotan karena beberapa isu miring terkait dugaan paraktik sertifikasi untuk penipuan berkedok investasi emas, perdagangan label di luar negeri, pemberian label yang asal-asalan dan yang terbaru adalah skandar zina salah seorang anggotanya di Bogor.
Meski demikian, adanya tokoh-tokoh toleran di tubuh MUI patut mendapatkan apresiasi dan dukungan agar mereka segera membersihkan lembaga itu dari unsur atau faksi intoleran dan penghalal ekstrimisme.
Dengan terpilihnya Prof. Dr. M. Din Syamsuddin sebagai Ketua Umum, muncul secercah harapan dan optimisme hadirnya MUI sebagai lembaga yang benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pemersatu dan pengayom umat, sekaligus perhimpunan ulama yang bebas dari tendensi politik sesaat dan motif bisnis yang sama sekali tidak mencerminkan moralitas dan kewaraan.
Dengan kepemimpinan baru di tangan Pak Din, banyak pihak berharap noda moral dan faksi intoleran yang selama ini telah menempel di tubuh MUI itu dapat dibersihkan dan segera lenyap. (Muhbib/Yudhi)