Nasional
Media Harus Menjadi Mitra Korban
“Melalui komunikasi yang intensif dengan media, jemaat GKI Yasmin merasa sangat terbantu dalam banyak hal. Dahulu ketika kami harus beribadah di trotoar, kami merasa aman jika melihat satu saja wartawan yang meliput kegiatan kami. Seorang wartawan mampu membuat kami merasa aman ketimbang aparat polisi.”
Demikian paparan Bona Sigalingging, juru bicara GKI Yasmin, dalam gelaran Diskusi Media & Penyerahan Fellowship SEJUK 2013 yang mengambil tema “Media di Mata Korban Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” di Hotel Amaris, Jakarta (14/12). Selain Bona, dalam kegiatan tersebut hadir pula Pdt. Palti Panjaitan (Koordinator Sobat KBB) yang mewakili gereja-gereja, Deden Sujana, mewakili jemaat Ahmadiyah, dan Irman Abdurrahman, mewakili Syiah. Keempat narasumber tersebut memberikan apresiasi beserta masukan untuk media terkait pemberitaan seputar isu-isu keberagaman.
Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Ahmad Junaidi dalam pembukaannya memberikan penjelasan bahwa kegiatan ini merupakan ikhtiar SEJUK bersama-sama jurnalis dan para korban membuat refleksi dan evaluasi atas berita-berita kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang tahun 2013. Hal yang sama dilakukan SEJUK pada tahun sebelumnya, 2012. Tujuannya untuk membangun kemitraan yang lebih kondusif lagi, di masa-masa yang akan datang, antara minoritas atau korban dengan jurnalis dan medianya.
Deden Sujana dari perwakilan Ahmadiyah berpendapat bahwa sepanjang tahun 2013, media nampak mengalami perkembangan dalam memberitakan peristiwa-peristiwa seputar kasus intoleransi atas nama agama. Misalnya dalam kasus GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, media telah berperan aktif dengan memunculkan berita-berita yang mampu menekan pemerintah untuk mengambil tindakan atas kedua kasus tersebut. Atau terkait penyegelan mesjid al-Misbah milik jemaat Ahmadiyah di Bekasi, misalnya. Deden mengakui bahwa karena peran media, mesjidnya dapat dikenal, bahkan hingga dunia internasional. Juga ia ceritakan bagaimana masyarakat di sana merasa senang menjadi bagian dari berita, warung-warung kecil mendapat banyak pelanggan, sebuah daerah yang tadinya tak dikenal kini menjadi terkenal. Artinya, ada hal-hal positif yang diberikan media untuk masyarakat.
Meski begitu, Deden menyayangkan sikap beberapa media yang masih saja melekatkan diksi yang tidak tepat dalam berbagai peristiwa terkait intoleransi atas nama agama. Semisal kata “bentrok” untuk kasus Cikeusik Februari 2011 dan Jalsah Salanah Ahmadiyah pada Mei tahun ini di Tasikmalaya. Padahal pada dua peristiwa itu sesungguhnya berupa penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah, bukan bentrok. Bagi Deden dan jemaat Ahmadiyah lainnya, penggunaan kata “bentrok” tersebut sangat menyakitkan. “Para jemaat adalah korban yang mengalami kekerasan, banyak yang terluka parah bahkan ada yang meninggal dunia. Jelas-jelas kami diserang, tetapi media mengatakan kami terlibat bentrokan.”
Deden mengaku sudah beberapa kali mencoba mengirimkan koreksi agar wartawan bisa membedakan antara diserang dan bentrok, tetapi tidak ditanggapi. Lewat forum ini Deden mengajak para wartawan untuk kembali mempelajari bahasa-bahasa empatik. Dengan demikian, tak ada lagi penggunaan diksi yang keliru, termasuk misalnya penggunaaan kata “sesat” atau “tobat” yang dikutip dari tokoh-tokoh intoleran seperti MUI, yang sangat bias dan sebaiknya tak perlu ditampilkan.
Bagi masyarakat Syiah yang tengah berada di pengungsian, media adalah teman. Percobaan pengusiran dari Rusun Sidoarjo ke Asrama Haji Sukalilo oleh pemerintah lokal bisa digagalkan berkat kehadiran media. Karena itu, bagi Irman Abdurrahman yang dalam diskusi tersebut mewakili Syiah, media adalah sekutu yang dapat membantu perjuangan para pengungsi dalam melawan ketidakadilan. Irman juga mengakui bahwa pada setiap perkembangan kasus, pihaknya lebih memilih menghubungi media terlebih dahulu ketibang aparat.
Kritik Irman dilontarkan terhadap media online yang cenderung tergesa-gesa dalam menampilkan berita. Menurut Irman, karena dituntut untuk menyebarkan informasi secepat mungkin, media online kerap lupa menuliskan konteks. Terkadang pernyataan dari pihak-pihak intoleran dijadikan berita tanpa terlebih dahulu melakukan konfirmasi kepada pihak korban. Contohnya ketika Gubernur Sukarwo dan Surya Dharma Ali melemparkan pernyataan bahwa telah terjadi pemulangan pengungsi secara bertahap, media online serta-merta menampilkan pernyataan tersebut. Padahal pemulangan tersebut tidak pernah terjadi.
Irman juga mempertanyakan soal kemungkinan mensejajarkan isu-isu terkait dengan intoleransi atas nama agama dengan isu-isu populer, seperti isu korupsi misalnya. Karena isu-isu seputar intoleransi juga sangat berbahaya dan mengancam kehidupan berbangsa kita. Sementara ini, seringkali isu intoleransi dimuat di halaman yang paling tersembunyi.
Pendeta Palti Pandjaitan dari HKBP Filadelfia juga mengungkapkan apresiasinya terhadap media yang telah mengawal kasus HKBP melalui pemberitaan. Tetapi, ia berharap media bisa hadir pada setiap proses di mana kasus itu berjalan. Selama ini, kecenderungan media hanya hadir di saat terjadi peristiwa-peristiwa yang dianggap bisa menjual. Ia membandingkan peran aktif media yang cukup baik sepanjang tahun 2012, di saat berbagai penyerangan menimpa jemaat HKBP Filadelfia yang ingin melakukan ibadah di gerejanya. Kondisi tersebut kemudian luruh di tahun 2013, ketika jemaat HKBP terpaksa melakukan ibadah di depan Istana Negara. Ini artinya, media hadir hanya ketika suatu peristiwa besar terjadi, sementara berbagai proses yang harus dijalani para korban pasca peristiwa penyerangan sama sekali tidak diperhatikan. Maka dalam diskusi tersebut, Pendeta Palti mengajak para pelaku media untuk terus meningkatkan kontinuitas dalam meliput kasus-kasus intoleransi di masyarakat.
“Marilah berempati pada korban dan menegakkan jurnalisme damai. Cobalah untuk berpihak kepada korban. Kata-kata semacam “bentrok” dan “sesat”, hendaknya tidak diulangi karena itu malah kembali mengorbankan korban. Terima kasih sudah banyak meliput, tetapi kami berharap ada liputan yang berkelanjutan,” demikian Pendeta Palti menutup pembicaraannya. [Evi/SEJUK]