Nasional
Maraknya Perundungan: Pakar Soroti Perlunya Instrumen Pencegahan
Maraknya Perundungan: Pakar Soroti Perlunya Instrumen Pencegahan
Media sosial kembali dihebohkan dengan insiden perundungan (bullying) yang terjadi di SMA Binus International, Serpong. Kejadian ini bukan yang pertama kali terjadi di lingkungan pendidikan, dan para pakar pun mengambil perhatian terhadap fenomena ini.
Menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), tahun 2023 mencatat sebanyak 23 kasus bullying di sekolah. Dari angka tersebut, 50 persem terjadi di jenjang SMP, 23 persen di jenjang SD, 13,5 persen di jenjang SMA, dan 13,5 persen di jenjang SMK.
Menanggapi hal ini, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Samsul Arifin mengungkapkan bahwa remaja cenderung memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan dorongan untuk menjadi “Si nomor satu”.
Baca juga : Dalam Sidang Parlemen Asia, Indonesia Suarakan Dukungan Palestina
“Pada masa ini, banyak anak remaja yang haus akan validasi eksternal, sehingga mereka cenderung untuk berani melakukan segala sesuatu, bahkan cenderung ekstrem, agar bisa mendapatkan validasi eksternal itu,” ujar Samsul Arifin, Kamis (22/2), dikutip Detiknews.
Menurutnya, salah satu persoalannya adalah kurangnya instrumen khusus untuk mencegah kasus perundungan. Meskipun sudah ada UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, dan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), Samsul Arifin berpendapat bahwa kedua UU tersebut lebih fokus pada penindakan daripada pencegahan secara masif.
“Dalam kasus perundungan ini seharusnya menjadi bahan evaluasi, bahwa dalam perkara anak, UU perlindungan anak dan UU SPPA belum utuh menjadi solusi terhadap persoalan perundungan anak yang sampai saat ini masih sering terjadi di sekolah,” katanya.
Ia menekankan diperlukannya upaya lebih lanjut untuk mengembangkan instrumen pencegahan yang efektif agar kasus perundungan dapat diminimalisir di lingkungan pendidikan.
Baca juga : Radikalisasi Kalangan Remaja Tantangan Berat Indonesia