Ikuti Kami Di Medsos

Nasional

KPAI: Praktik Intoleran Sudah Lama Terjadi di Sekolah

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, banyak praktik intoleransi terjadi di berbagai sekolah di Indonesia. Maka, KPAI berharap kasus yang terjadi di SMKN 2 Kota Padang, Sumatera Barat, menjadi pintu masuk untuk membenahi dan mengevaluasi berbagai aturan di sekolah di Indonesia yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

“Berbagai penelitian terkait ada atau tidaknya praktik intoleransi di sekolah dilakukan oleh beberapa lembaga, di antaranya adalah Setara Institute dan Wahid Institute,” kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyart, seperti dilansir Kumparan, Selasa (26/1).

Ia mencontohkan hasil penelitian Wahid Institute yang mengungkap sebagian guru, termasuk kepala sekolah, cenderung memprioritaskan kegiatan ataupun nilai agama mayoritas saja.
Selain itu, sebagian guru juga dinilai tidak dapat membedakan keyakinan pribadinya dengan nilai dasar toleransi yang seharusnya ia ajarkan ke muridnya.

Salah satu contohnya, apa yang terjadi di Bali pada 2014. Saat itu terjadi kasus pelarangan penggunaan jilbab di beberapa sekolah seperti SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar.
Kemudian, pada Juni 2019 lalu, sebuah surat edaran di Sekolah Dasar Negeri 3 Karang Tengah, Gunung Kidul, Yogyakarta, menimbulkan kontroversi karena mewajibkan siswanya berseragam Muslim.

Juga di SMAN 8 Yogyakarta, saat kepala sekolah mewajibkan siswanya mengikuti kemah di Hari Paskah.

Sejumlah guru agama Katolik dan Kristen mengajukan protes, namun tak ditanggapi kepala sekolah yang pada akhirnya mengubah tanggal perkemahan setelah ada desakan pihak luar.

Peristiwa lannya terjadi awal tahun 2020. Seorang siswa aktivis Kerohanian Islam (Rohis) SMA 1 Gemolong, Sragen, merundung siswi lainnya karena tidak berjilbab. Kasus itu kemudian viral dan menarik begitu banyak perhatian.

“Pada akhirnya siswi yang dirundung pindah sekolah ke kota lain, karena ia merasa tidak aman dan nyaman dengan cara temannya yang terlalu jauh memasuki privasi dirinya,” ujarnya.

Kasus itu memprihatinkan, apalagi terjadi di sekolah negeri. Semestinya sekolah menjadi tempat paling aman dan nyaman untuk tumbuh kembang anak.

Potensi intelektual dan spiritual (keagamaan) diasah sedemikian rupa agar kelak menjadi bekal dirinya untuk hidup di masa depan. Nyatanya, sekolah terkadang menjadi tempat mengerikan bagi siswa yang berbeda keyakinan.

Dari berbagai kasus intoleransi dan diskriminasi yang terjadi di sekolah, KPAI mendorong pengarusutamaan nilai-nilai kebhinekaan di sekolah-sekolah negeri.

“Sekolah harus menjadi tempat strategis membangun kesadaran kebhinekaan dan toleransi. Upaya-upaya yang bisa dilakukan dengan peningkatan kapasitas kepala sekolah, guru-guru, termasuk pejabat di dinas pendidikan atau kementerian pendidikan,” ucap Retno.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *