Nasional
KPAI: Ada Ribuan Kasus Pelanggaran Hak Anak di Indonesia 2023
KPAI: Ada Ribuan Kasus Pelanggaran Hak Anak di Indonesia 2023
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa selama tahun 2023, pihaknya menerima aduan sebanyak 3.883 kasus pelanggaran hak anak. Data ini mencakup 2.662 pengaduan langsung dan 1.240 kasus melalui surat, email, dan media.
Dari total kasus tersebut, terdapat dua bentuk pelanggaran utama, yakni Pelanggaran Pemenuhan Hak Anak (PHA) sebanyak 2.036 kasus dan Perlindungan Khusus Anak (PKA) sebanyak 1.866 kasus, yang terdiri dari 15 bentuk perlindungan khusus anak.
“Pelanggaran hak anak termasuk hak sipil dan partisipasi anak, kluster teratas dengan 33 kasus, termasuk anak sebagai korban pemenuhan hak atas identitas, perlindungan kehidupan pribadi, dan eksploitasi anak selama kampanye Pemilu 2024,” kata etua KPAI, Ai Maryati Solihah, dilansir Sindonews, Senin (22/1).
Klaster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif menjadi fokus kedua dengan 1.569 kasus, yang mencakup pengasuhan bermasalah, akses pelarangan bertemu, dan hak nafkah. Ai menekankan bahwa keluarga seharusnya menjadi tempat aman bagi anak, tetapi seringkali menjadi tempat pelanggaran hak.
Baca juga : Di KTT GNB Ke-19: Indonesia Kembali Teguhkan Dukung Palestina
Klaster kesehatan dan kesejahteraan anak melibatkan 86 kasus, dengan isu utama seperti pemenuhan hak kesehatan dasar anak, malpraktik dalam layanan kesehatan, dan stunting.
Pendidikan, waktu luang, budaya, dan agama adalah klaster keempat dengan 329 kasus, termasuk anak korban perundungan, anak korban kebijakan pendidikan, dan anak korban pemenuhan hak fasilitas pendidikan.
Klaster PKA melaporkan 1.866 kasus dengan tiga aduan tertinggi: anak korban kejahatan seksual, anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis, dan anak yang berhadapan dengan hukum.
“KPAI berharap dunia pendidikan menjadi tempat yang ramah, aman, dan menyenangkan bagi setiap anak, sehingga pendidikan ramah anak yang merupakan hak anak bisa diwujudkan,” kata Ai.
Ai juga menegaskan, “Hal tersebut menggambarkan bahwa keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi anak, namun justru sebaliknya kerap menjadi tempat pelanggaran hak anak.”
Baca juga : Pakar: Diplomasi Cerdas Indonesia Upayakan Solusi Palestina