Nasional
Kekuatan Media Sosial Sebagai Agen Perubahan
Pesta demokrasi Pilpres 2014 kali ini makin semarak dengan hadirnya media sosial. Melalui Twitter, Facebook, BBM dan media sosial lain, para pengguna internet yang lazim disebut netizen kerap mengekspresikan pandangannya dalam mendukung capres pilihannya.
Maraknya fenomena pemanfaatan media sosial ini mendapat perhatian serius dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Maarif Institute. Untuk itu, Jumat (27/6), bertempat di ruang Auditorium LIPI, Jakarta Selatan, kedua lembaga ini menggelar diskusi bertajuk “Etnisitas dan Agama Sebagai Isu Politik dalam Pemilihan Presiden di Media Sosial.”
Dalam diskusi ini, Ibnu Nadzir, peneliti dari LIPI menyebutkan bahwa media sosial memang digadang-gadang sebagai agen pembawa perubahan. Ia menyebutkan contoh bagaimana media sosial menjadi sarana efektif dalam memperjuangkan hak dan ide. Revolusi Melati, Koin untuk Prita, dan Occupy Wallstreet adalah beberapa contoh di antaranya.
Ibnu menyebutkan, pada tahun 2013 lalu, pengguna internet mencapai 75,57 juta orang. Dengan 31 jutanya adalah netizen, yaitu orang yang lebih dari 3 jam menggunakan internet per hari. Dari 48,6% usia pengguna 15-30 tahun, 95.9% adalah pengguna media sosial. Tak heran jika kemudian para politisi banyak memanfaatkan media sosial sebagai alat kampanye.
Ahmad Fuad Fanani, pembicara dari Maarif Institute mengamini hal ini. “Kita lihat bahkan visi-misi capres pun sampai bisa diubah karena dikritisi oleh beragam komentar di media sosial. Ini adalah tanda betapa powerfulnya media sosial,” terang Ahmad.
Sementara pembicara ketiga, seorang pemerhati media sosial, Ulin Ni’am Yusron, menyebutkan bahwa media sosial sekarang menjadi elemen penting dalam menjaga demokrasi. Setelah melihat bahwa pers sebagai salah satu pilar demokrasi yang mestinya menjadi pengawas legislatif, yudikatif dan eksekutif ternyata juga disandera oleh kepentingan politik, media sosial memainkan perannya. Yaitu sebagai pengawas dan pengontrol aktivitas pers yang seringkali sudah keluar dari jalur etika jurnalistik. (Mohammad/Yudhi)