Nasional
“Heboh Milisi Syiah Jember, Halusinasi Terbaru (Media) Takfiri”
Beberapa minggu lalu, media sosial sempat heboh karena beredarnya kabar tentang Pasukan Badar yang dicap sebagai milisi Syiah di Jember. Disebutkan bahwa milisi dibentuk dan dipimpin oleh Isa Mahdi, putra Habib Ali bin Umar Al-Habsyi, pemimpin Pondok Pesantren Darus Solihin Jember.
(Sedikitnya ada dua link utama yang bisa dirujuk terkait pemberitaan itu: kiblat.net dan www.gensyiah.com selain link berikut selaku penyebar berita tersebut via laman Facebook
Patut disesalkan bahwa berita heboh yang terlanjur menyebar secara online itu tidak memuat satu pun nama narasumber kredibel yang bisa dikonfirmasi terkait kebenarannya.
Penyebutan “salah seorang tokoh masyarakat” selaku narasumber tanpa menyertakan nama lengkap yang bersangkutan, menyulitkan media ABI untuk melakukan klarifikasi lebih jauh atas tuduhan itu.
Hanya ada nama Habib Ali bin Umar Al-Habsyi dan Isa Mahdi yang dengan jelas dicatut dalam pemberitaan itu selaku ‘tertuduh.’ Karena itulah media ABI segera mewawancarai salah seorang dari mereka (Isa Mahdi) untuk mengecek kebenaran berita tersebut.
Isa Mahdi menjelaskan bahwa memang benar ada Badar, tapi Badar itu bukan pasukan seperti yang dituduhkan kedua media online takfiri anti-Syiah itu.
“Badar itu singkatan dari Barisan Keamanan Darus Solihin, yang memang dibentuk warga sekitar dengan sukarela untuk mengamankan Pondok Pesantren Darus Solihin. Jadi Badar ini semacam kelompok ronda yang berjaga di malam hari gitu lah kira-kira.”
Ditanya apa tujuan dibentuknya Badar, Isa Mahdi menjelaskan, “Pondok Pesantren Darus Solihin ini kan hanya mampu membayar dua orang Satpam, padahal luas Pondok hampir 2 Hektar. Jadi tentu saja dibutuhkan tenaga keamanan tambahan untuk ronda di malam hari.”
“Jadi sekali lagi tolong dicatat bahwa bukan pihak Pondok lah yang membentuk Badar, tapi masyarakat yang tinggal di sekitar Pondok dan peduli keamanan Pondok,” tegas Isa.
Perihal kabar pembubaran Badar oleh kepolisian pada tahun 2008 seperti tuduhan media online, Isa Mahdi menjawab “Sama sekali itu tidak benar. Badar tidak pernah dibubarkan. Badar ini sendiri bukan organisasi resmi yang berijin, kok. Ini hanya murni inisiatif dari warga sekitar saja untuk membantu Pondok.”
“Jadi mana bisa keberadaan Badar ini dikait-kaitkan dengan kasus Puger? Lha wong Badar sendiri Jauh hari sudah ada sebelum peristiwa bentrok di Puger itu. Badar ini dibentuk sekitar tahun 2006-2007,” lanjut Isa Mahdi.
Begitupun soal pelatihan semi militer yang konon dilakukan Badar, Isa Mahdi dengan tegas membantahnya.
“Tidak ada itu yang namanya pelatihan militer. Pelatihan militer model apa? Buat apa? Tuduhan takfiri ini sungguh ngawur dan sangat lucu! Warga yang tergabung di Badar ini cuma ronda jaga malam hari, ikut menjaga keamanan Pondok. Jadwalnya diatur sendiri oleh warga secara bergiliran seminggu sekali. Paling-paling kami dari pihak Pondok hanya sediakan makanan ringan dan siapkan kopi buat mereka. Kasian kan mereka memang ronda. Bahkan tak jarang justru mereka yang bawa makanan sendiri-sendiri saat ronda itu,” ujar Isa sambil ketawa.
Badar yang diartikan Barisan Keamanan Darus Solihin itu pun, warga sekitar sendiri juga yang memberikan nama.
“Berhubung kelompok ronda sukarela warga ini tidak bernama, maka iseng-iseng disepakatilah oleh warga dengan menyebutnya Badar,” terang Isa.
Mengetahui namanya dan nama orangtuanya, Habib Ali jelas-jelas dicatut sembarangan sekaligus dijadikan tertuduh oleh media online takfiri itu, kepada media ABI Isa menyatakan bahwa pihaknya sangat keberatan dan menyesalkannya. Apalagi di sisi lain si penuduh selaku narasumber, hanya disebut media takfiri itu dengan sebutan “salah seorang tokoh masyarakat” saja, tanpa ada nama. Jadi, bagaimana caranya tuduhan itu bisa diklarifikasi? Kepada siapa tanggungjawab tuduhan itu bisa diminta?
Sebagai pihak yang nama baiknya dicemarkan, kegeraman Isa Mahdi terhadap media takfiri itu terasa wajar dan manusiawi. Apalagi bila merujuk kaidah kode etik jurnalistik yang dengan jelas menyebutkan bahwa “Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.” Sementara pemberitaan berisi tuduhan bernuansa fitnah dan pencemaran nama baik itu sama sekali bertentangan dan tak memenuhi syarat atau standar kaidah jurnalistik karena narasumber utamanya justru anonim atau tanpa nama.
Maka pertanyaannya adalah, apa mungkin media takfiri ini sejatinya sedang berhalusinasi? (ABI/LAB)