Akhlak
Dr. Alwi Shihab: Hindari Mengkafirkan Sesama Muslim
Saat mampir satu hari di Dubai untuk menemui seseorang dalam rute kembali dari Yaman menuju Jakarta, Dr. Alwi Shihab (mantan Menlu era Gus Dur, Menko Kesra di Kabinet SBY dan mantan Utusan Khusus Presiden Indonesia untuk wilayah Timur Tengah), memanfaatkan waktunya yang sempit untuk memberikan ceramah singkat dalam pengajian bulanan KMMI (Keluarga Masyarakat Muslim Indonesia) di Abu Dhabi pada tanggal 21 Desember 2013.
Bertempat di Aula Ahmad Soebardjo Kedutaan Besar Republik Indonesia di Abu Dhabi, lebih kurang 80 orang masyarakat Indonesia beserta keluarga antusias mendengarkan petuah tokoh senior Indonesia yang juga seorang politisi, agamawan, dan penulis buku terkenal “Islam Inklusif” ini.
Berikut ini uraian singkat yang disarikan dari ceramah beliau tersebut.
Hindari Sikap Mengkafirkan Sesama Muslim
Dr. Alwi Shihab memulai ceramahnya dengan mengungkapkan bahwa baru-baru ini, sambil mengutip berita yang dilansir koran terkenal, bahwa NU dan Muhammadiyah telah menyerukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk berhati-hati mengeluarkan fatwa yang menyatakan sesat kepada mazhab tertentu, dalam hal ini mazhab Syiah. Kehati-hatian ini diperlukan untuk menghindari konflik horizontal yang saat ini sering terjadi, termasuk kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda keyakinan. Kejadian yang menimpa komunitas muslim Syiah di Sampang Madura dan beberapa pengikut tarekat di Jawa sebagai contohnya, adalah imbas perilaku suatu golongan yang merasa benar sendiri dan menghakimi kelompok lain sebagai sesat.
Beliau pun mencontohkan bahwa saat ini banyak media internet, selain media radio yang gemar mengabarkan perbedaan dan mengobarkan perpecahan di kalangan umat Islam. Padahal perbedaan yang ada hanyalah sedikit, hanya menyangkut masalah-masalah kecil, bukan hal-hal besar.
Seperti halnya Syiah dan Sunni, keduanya diakui sebagai mazhab dalam Islam. Dr. Alwi Shihab menceritakan bahwa ketika beliau bersama Profesor Quiraish Shihab menuntut ilmu di Universitas Al Azhar Kairo Mesir, di sana mereka juga mempelajari mazhab Syiah sebagai salah satu mazhab Islam. Kalau bukan mazhab yang diakui dalam Islam, tidak mungkin mereka diberi pelajaran mengenai mazhab tersebut. Karenanya, adalah hal yang kurang bijak sekiranya ada sekelompok orang yang kemudian memperkeruh persatuan Islam dengan menyebarkan isu-isu tentang kesesatan Syiah.
Islam mazhab Syiah tak jauh berbeda dengan Islam mazhab Sunni. Keduanya sama bersyahadat, menunaikan zakat, sholat menghadap kiblat, berhaji di Mekkah, dan terdapat pula kesamaan dalam hal-hal lain sebagaimana umat Islam yang bermazhab Ahlus Sunnah. Adapun perbedaan-perbedaan yang ada, mestinya tak perlu diperuncing karena memang tak begitu signifikan.
Debat antara ulama Sunni dan Syiah sudah berlangsung ribuan tahun, namun hampir kesemuanya dilakukan dengan cara yang santun sesuai akhlakul karimah. Para ulama yang berdebat itu tak pernah saling mengkafirkan apalagi menyebarkan dakwah yang menyatakan sesatnya mazhab yang lain. Karenanya kita, sebagai umat yang sudah selayaknya meneladani para ulama tersebut, tak boleh ikut-ikutan mengkafirkan sesama Muslim.
Konflik Sunni-Syiah Berlatar Politik
Ditengarai oleh beliau, bahwa meruncingnya eskalasi konflik horizontal antara Sunni dan Syiah yang terjadi dewasa ini di Indonesia dan beberapa tempat lain di dunia lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan politis. Dr. Alwi Shihab, yang kini menjadi salah satu tim ahli dalam Fetzer Insitut (www.fetzer.org) – lembaga nirlaba di Michigan Amerika Serikat yang mengampanyekan toleransi damai dan indah dengan slogannya “Love and Forgive,” mencontohkan bagaimana konstelasi hubungan Amerika Serikat dengan Saudi Arabia dan Iran. Menurut beliau, sebelum terjadinya revolusi Islam Iran oleh Ayatulah Khomeini tahun 1979, pemerintahan Iran yang dipimpin oleh Syah Reza Pahlevi dikenal berkarib dengan Amerika Serikat. Demikian juga dengan Kerajaan Saudi Arabia saat itu. Ketika kedua negara yang berbeda mazhab itu sama-sama menjadi negara sahabat Amerika Serikat, keduanya pun ikut bersahabat. Saudi Arabia yang Wahabi bersahabat dengan Iran yang Syiah. Namun, sejak tahun 1979, keadaan berubah. Iran yang dipimpin Imam Khomeini menjadi musuh Amerika Serikat, sedangkan Saudi Arabia tetap menjalin persahabatan dengan Amerika Serikat. Sejak itulah hubungan kedua negara ini memanas. Kerajaan Saudi Arabia kemudian dikenal berkonfrontasi dengan pemerintah Iran. Jadi jelas bahwa konflik yang ada kini disebabkan oleh politik.
Konflik politis antara Saudi dan Iran kemudian merembes ke persoalan mazhab. Kedua negara itu berupaya juga ikut memengaruhi negeri lain. Dalam satu kesempatan, Dr. Alwi Shihab bercerita, ketika bertemu dengan wakil pemerintah Iran, ia menyatakan bahwa Iran sangat ingin menjalin persahabatan yang lebih erat dengan Indonesia. Demikian juga pemerintah Saudi Arabia. Masing-masing ingin agar Indonesia dekat dengan mereka karena keduanya memandang betapa pentingnya Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Namun, menurut beliau, Indonesia yang dikenal dunia sebagai Negara dengan penduduk mayoritas islam yang moderat selayaknya memang bersahabat dengan semua negara Islam. Jadi, jangan sampai konflik politis yang terjadi di antara mereka juga ikut tertular ke negeri kita. Biarlah Indonesia menjadi negeri muslim yang damai, toleran sesuai dengan pedoman bernegara, Pancasila. Apa yang terjadi di Mesir, Pakistan dan negara lain yang terus-menerus dirundung konflik, adalah karena ketiadaan pedoman yang diakui bersama. Kedua Negara itu tidak mempunyai alat pemersatu. Pakistan yang dahulu dikenal sebagai negara Islam moderat kini tak bisa lagi disebut moderat karena konflik horizontal yang dipicu perseteruan politik dengan mengendarai isu antar mazhab. Demikian juga dengan Mesir yang kini mempunyai masalah saat masyarakatnya terpecah menjadi dua; sekuler dan Islamis. Hal itu terjadi karena Mesir tidak mempunyai alat pemersatu seperti Indonesia memiliki Pancasila. Alat pemersatu yang diakui oleh baik kaum agamawan maupun kelompok liberal sebagai dasar negara. Pancasila mempersatukan kita semua, karenanya kita harus merawat bersama kondisi yang sudah kondusif ini.
Ditambahkan oleh beliau, pemerintah Saudi Arabia juga sebenarnya tak bisa menganggap Syiah itu keluar dari Islam. Karena mayoritas penduduknya yang tinggal di kawasan Timur seperti Dhahran, Dammam dihuni oleh muslim bermazhab Syiah sejak seribu atau ratusan tahun lalu. Kalau sekiranya pemerintah Saudi Arabia menganggap Syiah itu di luar Islam, maka itu bisa saja menimbulkan pemberontakan dari warganya itu.
Dr. Alwi Shihab juga menambahkan, bahwa Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang mewadahi negara-negara berpenduduk muslim di seluruh dunia, tidak pernah secara resmi menyatakan bahwa Syiah sebagai salah satu mazhab yang sesat (catatan: Iran, sebagai negara dengan pemeluk islam syiah terbesar menjadi anggota OKI). Karena itu pulalah, mengapa Muslim Syiah sampai saat ini tetap dibolehkan untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah.
Bangun Toleransi Melalui Pendidikan
Dr. Alwi Shihab memberikan pandangannya, bahwa salah satu cara untuk meredam gejolak pengkafiran dari sebagian muslim kepada sesamanya adalah dengan melalui pendidikan. Dengan memberikan pemahaman yang baik dalam proses pendidikan tersebut, umat islam akan lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Meskipun diakui bahwa saat ini, kelompok-kelompok yang mudah mengkafirkan sesama muslim itu juga bercokol di institusi pendidikan, namun upaya terus-menerus untuk menggerus sikap keliru dalam mengkafirkan orang lain itu bisa dimaksimalkan melalui pendidikan.
Melalui pendidikan, umat Islam akan memiliki wawasan yang luas dan bijak mengenai betapa indahnya Islam dalam keberagamannya, sehingga mereka akan saling menghormati dan menghargai seluruh mazhab yang diakui dalam Islam.
Sementara itu dalam sesi tanya jawab dengan peserta, beliau mengakui bahwa pemerintah Indonesia juga perlu mengambil tindakan tegas untuk mencegah tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mudah mengkafirkan sesamanya. Hal ini diperlukan agar sikap intoleran tersebut dapat diredam secara cepat sebelum menyebar lebih luas di tengah masyarakat. Apalagi mereka yang suka bertindak intoleran itu umumnya lebih sedikit dibandingkan kelompok lain yang toleran namun untuk sementara waktu menjadi “silent majority.”
Ke depan diharapkan dengan metode pendidikan yang mengedepankan akhlakul kharimah, umat yang tergolong “silent majority” itu akan menjadi tergugah untuk menyatakan sikapnya yang lebih bijak dan dewasa memandang perbedaan antar sesama umat Islam.
Abu Dhabi, 24 Desember 2013
(Muhammad Ruslailang Noertika
Ketua IA-ITB Chapter UAE/Yudhi)