Nasional
Dialog Keberagamaan Antar Iman: Menyoal Akar Intoleransi
“Keberagaman jangan dijadikan sebagai alasan perpecahan tapi gunakanlah sebagai media membangun kekuatan dan persatuan,” ujar Dr. Ketut Arnaya, MM perwakilan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia, yang menjadi salah satu pembicara dalam dialog keberagamaan “INTERFAITH DIALOGUE & CULTURAL DAY 2014: Revitalisasi Nilai-Nilai Kebhinekaan dalam mewujudkan Harmonisasi Bangsa” Selasa (1/7).
Acara itu diadakan di Aula lantai satu FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional (HIMAHI) yang dihadiri oleh mahasiswa Hubungan Internasional dari sejumlah kampus di Jabodetabek.
Lebih jauh Ketut mengatakan bahwa identifikasi penyebab diskriminasi ada beberapa hal, di antaranya adalah eksklusivisme, yaitu sikap egoisme kelompok yang hanya memperhatikan dan mementingkan kelompoknya sendiri tanpa menghiraukan keberadaan kelompok lain.
Yang kedua adalah pemurnian agama, dengan cara menolak segala pengaruh dari luar agama bahkan kebudayaan sekitar pun ditolak. Hal ini menurut Ketut dapat menjauhkan agama dari tujuan agama itu sendiri. Yang ketiga adalah solidaritas satu golongan yang berlebihan, akibatnya permasalahan pribadi diseret ke permasalahan kelompok, sehingga permasalahan menjadi meluas pada orang-orang yang tidak ada kaitannya dengan permasalahan tersebut.
Yang keempat adalah analisis satu arah, analisis yang hanya berdasarkan sudut pandang mereka saja, sehingga menganggap pandangan merekalah yang paling benar sehingga kebiasaan main vonis pun tak terelakkan.
Yang terakhir adalah kepentigan politik dan kekuasaan. Dengan tujuan menciptakan suatu kondisi agar tujuan politik tercapai, seringkali orang tak lagi peduli meski harus ada pihak tertentu yang sengaja dikorbankan.
Sementara itu, Andar Nubowo, DEA, pengamat muda Muhammadiyah mengamini apa yang disampaikan Ketut, namun dengan menambahkan bahwa penyebab timbulnya radikalisme itu karena dua hal. Pertama karena kesejahteraan yang kurang merata dirasakan oleh masyarkat. Kedua karena ketidak mampuan masyarakat beradaptasi dengan modernitas sehingga sejumlah orang mencari jalan singkat untuk dapat mengikuti kemajuan mode.
Kondisi kebhinekaan di Indonesia akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Menurut Andar, banyak fenomena yang patut kita catat di antaranya adalah kasus Ahmadiyah di penampungan Transito, NTB dan kasus Muslim Syiah Sampang Madura, yang sudah dua tahun ini masih mengungsi di Rusunawa Sidoarjo. Kedua contoh kasus tersebut mencoreng kebhinekaan yang menjadi ruh negeri ini dan menginjak-injak keberagaman.
“Menolak keberagaman berarti menolak Hukum Tuhan dan berarti menolak Tuhan” ujar Andar.
Acara ini menurut Presiden BEM Hubungan Internasional (HI) UIN Jakarta, Khoiri Fuady, merupakan bentuk komitmen mahasiswa dalam rangka turut menjaga keutuhan NKRI. Hal ini didasari maraknya isu SARA yang semakin meningkat di tengah masyarakat akhir-akhir ini, terutama pada saat momen kampanye Pilpres belakangan ini.
“Hal ini kita laksanakan sebagai tanggung jawab masyarakat sipil atau civil society untuk merajut kebhinekaan dan merawat keutuhan NKRI,” pungkas Khoiri.
Dalam acara tersebut hadir juga Suryadi dari perwakilan Budha Tzu Chi Indonesia, Rais Syuriah PBNU KH. Masdar Farid Mas’udi dan Romo Agus dari perwakilan Katolik. (Lutfi/Yudhi)