Nasional
Begini Kata Pakar Soal Gempa Cianjur
Begini Kata Pakar Soal Gempa Cianjur
Gempa berkekuatan 5.6 SR mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada Senin (21/11), menurut BNPB hingga menyebabkan 56 orang meninggal, 40 korban di antaranya adalah anak-anak.
BMKG menyebutkan bahwa pusat gempa berada di daratan, di kedalaman 10 km dan tidak berpotensi tsunami. Namun, getaran gempa itu terasa hingga ke Jakarta. Sesar Cimandiri disebut sebagai pemicu gempa tersebut.
Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Dr. Irwan Meilano, S.T., M.Sc. mengatakan bahwa Sesar Cimandiri tergolong sesar aktif. Sesar ini merupakan bidang rekahan yang disertai adanya pergeseran, mengalami retakan, atau memiliki celah.
“Pada sesar ini terdapat akumulasi tegangan tektonik yang menjadi gaya penerus gempa. Jika ditilik melalui pendekatan geologi, juga menunjukkan hal yang serupa. Sesar ini termasuk sumber gempa yang independen dan tidak dipengaruhi oleh gempa-gempa sebelumnya sehingga terdapat potensi gempa yang signifikan terjadi di masa depan,” terang Irwan, dikutip laman ITB.
Gempa yang terjadi pada siang kemarin itu, menurut Irwan bukan tergolong gempa besar jika ditinjau dari kekuatannya. Namun, sampai kabar ini dirilis (Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil), tercatat 162 korban jiwa meninggal dan kerusakan infrastruktur yang masif. Ini disebabkan hiposentrumnya yang tergolong dangkal, terdapat lapisan yang cukup halus, dan bangunan di atasnya yang tidak tahan gempa.
Baca juga : Sepanjang Januari – Maret, Indonesia Dihantam 612 Bencana
Namun, Irwan mengatakan bahwa ini bukan kali pertama pergerakan Sesar Cimandiri menyebabkan gempa. Ia menyebutkan pernah terjadi gempa berkekuatan serupa di tahun 1970-an.
“Ada pembelajaran yang bisa dipetik dari bencana tadi siang. Concern utama berada di pemerintah dan pemda, perlu ada upaya untuk memahami bahwa daerah tersebut memiliki potensi gempa. Penataan ruang dan kaidah pembangunan yang dilakukan tiap daerah harus disesuaikan dengan struktur geologinya serta jaraknya dari sumber gempa. Selain itu, masyarakat juga harus melek literasi dan pengetahuan bahwa mereka tinggal di daerah yang rawan gempa sehingga mitigasi dapat dilakukan.”
Ia juga menambahkan bahwa ketika bencana telah terjadi, terdapat waktu (golden time) untuk evakuasi yang sangat singkat, yaitu hanya berkisar rata-rata 30 menit setelah gempa bumi.
“Hal yang dapat dilakukan setelah bencana terjadi adalah memberikan respons yang terbaik. Kita harus belajar dari Jepang dalam memanfaatkan golden time ini. Rumah sakit darurat, pengungsian sementara, air dan sanitasi yang baik, mulai dipersiapkan sekarang. Jika hanya fokus pada yang terluka, lantas mengesampingkan hal-hal vital yang harus dipersiapkan, maka orang yang selamat pun dapat menjadi korban selanjutnya.”
Irwan berharap tidak ada lagi korban jiwa dan semua pihak dapat sama-sama belajar untuk mengantisipasi hal serupa jika di kemudian hari terjadi lagi.
Baca juga : Bersama YLBHI-LBH Pos Malang dan YAPI, ABI Gelar Sekolah Advokasi III