Berita
Nasib Pengungsi Suriah Ditolak Arab Diterima Eropa
Gejolak politik yang terjadi di Timur Tengah terutama di Suriah, telah memunculkan efek buruk kecamuk pertikaian yang salah satunya berupa gelombang pengungsian.
Nasib ribuan pengungsi Suriah, meski kurang menarik perhatian negara-negara Teluk seperti Saudi, Qatar, Bahrain dan beberapa negara lainnya, ternyata justru mendapat empati positif dari negara-negara Eropa.
Seperti diberitakan, Jerman dan Austria dengan terbuka siap menerima pengungsi yang berjumlah puluhan ribu itu.
Ada apa dengan umat Islam? Ada apa dengan negara Teluk yang mayoritas Islam?
Untuk mendapatkan penjelasan berimbang, berikut wawancara Tim ABI Press dengan Cendekiawan Muslim, Dr. Mushin Labib.
Ribuan pengungsi Suriah membanjiri negara-negara Eropa seperti Jerman dan Austria, tapi anehnya, sejumlah negara di Timur Tengah tidak menerima pengungsi Suriah sama sekali seperti Saudi, Qatar, Bahrain. Fenomena apa ini?
Sebenarnya fenomena pengungsi Suriah ini bukan hal yang baru. Tapi sudah muncul sejak berkumpulnya gerombolan-gerombolan teroris multinasional dari banyak negara yang datang ke Suriah untuk menyulut perang melawan pemerintahan Bashar al-Assad. Itu saja sudah merupakan abnomarlitas masif, karena pada saat yang sama, kenapa orang tidak pernah berpikir untuk datang ke Palestina yang 60 tahun lebih dijajah rezim Zionis Israel? Kenapa malah beramai-ramai datang ke Suriah? Keganjilan ini mestinya akan dengan mudah dideteksi sejak awal oleh setiap orang berakal. Ada apa di balik semua ini?
Larinya para pengungsi ini juga sudah berjalan sejak dahulu, banyak negara yang sudah menampung, misalnya Lebanon. Padahal Lebanon keadaannya tidak lebih baik atau mungkin hanya sedikit lebih baik daripada Suriah atau Irak. Sementara negara-negara Arab, rezim-rezim bourjuis di Teluk itu malah tutup mata, padahal merekalah yang seharusnya paling bertanggung jawab atas penderitaan warga Suriah, sebab merekalah yang mengirimkan, mendanai sekaligus mempersenjatai kelompok-kelompok teroris multinasional itu.
Ketika malah tidak menunjukkan empati, ya otomatis mereka seharusnya berbeban moral untuk itu, mengapa? Karena mereka mendukung para pemberontak, mendukung orang-orang dari berbagai macam negara masuk ke Suriah untuk melakukan aksi-aksi militer, masak mereka mau menampung pengungsi? Kan itu korban mereka sendiri jadinya. Itu mungkin alasan yang membuat mereka tidak mau menerima pengungsi, di samping alasan-alasan geografis semacam karena tidak berbatasan langsung dengan Suriah. Padahal itu juga bisa ditepis, karena negara-negara Eropa yang mau menerima, justru letaknya lebih jauh lagi.
Tapi begini, yang juga aneh itu kenapa kita tidak pernah berpikir bahwa ISIS dan kelompok seperti Jabhatul Nusra itulah penyebabnya. Dulu kan banyak yang mendukung untuk melawan Bashar al-Assad. Sekarang dilemanya antara kita mau mendukung Assad ataukah Jabhatul Nusra dan ISIS? Itu sebenarnya pilihan yang paling nyata. Tapi media-media mainstream ini anehnya tetep saja bicara menentang Assad, karena Amerika dan negara-negara Eropa mendukung penjatuhan Assad. Nah, otomatis mestinya orang tahu bahwa para pengungsi ini bukan lari dari Assad. Kalau lari dari Assad mestinya dari dulu ditampung oleh negara-negara yang memang membenci Assad. Kedua, kalau mereka lari dari Assad, mereka mestinya tidak bisa mengungsi dengan begitu banyaknya, karena fasilitasnya sulit. Pengungsi itu difasilitasi oleh pemerintah karena pemerintah memang tidak bisa memberikan jaminan, karena terus diganggu dari semua arah. Sekarang yang terjadi bukan hanya penyerangan di kantor-kantor pemerintahan dan markas militer Suriah tapi bom pun banyak berjatuhan di daerah-daerah penduduk sipil. Nah, tentu saja pemerintah Bashar merasa bertanggung jawab dari sisi kemanusiaannya. Itu sebabnya mereka lalu memberikan fasilitas bagi warganya untuk mengungsi. Sekali lagi, kalau seandainya mereka memang mau lari dari Assad, mana mungkin bisa lari dalam jumlah begitu besar? Pasti pemerintah Assad akan membatasi karena itu sama saja artinya mempermalukan pemerintahan Assad.
Nah, negara-negara Arab itu sudah tahu karena mereka ini kelompok yang punya kepentingan untuk menghancurkan pemerintahan Assad. Bagaimanapun caranya supaya pemerintahan Assad itu kelihatan lemah tidak berdaya dan diserang dari semua arah. Dikesankanlah seakan-akan warga Suriah itu sengaja lari dari Assad padahal mereka itu lari dari ISIS dari Jabhatul Nusra. Lari menghindar dari kelompok-kelompok teroris. Saya pikir, keanehan ini tidak memerlukan analisis yang lebih jauh lah.
Sekali lagi, bukankah negara-negara Arab yang seharusnya paling bertanggung jawab atas nasib para pengungsi ini?
Ya, itu kalau bermoral, sih. Ini kan sudah tergolong pemerintahan ndak bermoral, ndak legitimate. Lihat saja, mereka sukanya menghancurkan. Jangan Anda cerita Suriah saja, pengungsi itu juga semestinya ada di Yaman. Tapi Yaman lebih sulit untuk mengungsi, mengapa? Sebab Yaman berbatasan dengan Saudi yang menyerangnya. Mau lari ke Saudi jelas ndak mungkin. Setiap hari ada penyerangan dan pengeboman di Yaman. Anak-anak juga yang banyak menjadi korban. Tapi banyak orang tidak melakukan apa-apa. Tidak ada suara apapun yang mengambarkan itu. Malah sebaliknya mereka bicara tentang pemberontakan-pemberontakan di Yaman.
Faktanya, sekarang yang memberontak itu bukan Houthi. Houthi berkuasa, didukung oleh tentara. Sekarang sebaliknya, yang memberontak itu adalah presiden bonekanya Saudi dan Al-Qaeda. Itu terbukti. Tapi karena media mainstream kita memang tidak sedang memberitakan fakta tapi memberitakan apa yang ada dalam mindset mereka, ya begitulah jadinya. Demikian pula soal Suriah. Mungkin karena kebetulan titik temu antara kelompok pendukung Amerika dan kelompok ekstremis ini sama dalam soal Suriah, mereka sama-sama membenci Assad, maka merekapun diam.
Nah itulah, makanya saya katakan berjamaah, bersama-sama membenci Assad begitu juga kebencian terhadap Houthi. Kapan bisa mendapatakn porsi untuk dapat meilihat secara objektif? Setidaknya coba pikir, kira-kira yang layak untuk menghancurkan Yaman itu apakah tentara Yaman yang serba keterbatasan, juga relawan-relawan yang pakai sarung itu, ataukah jet-jet tempur canggih yang sudah puluhan hari setiap harinya melakukan bombardir itu? Ini kan nyata sekali.
Begitu juga soal Assad. Kalau benar Assad itu ingin mempertahankan kekuasaannya, dia pasti tidak akan melakukan apapun. Konyol jika di saat yang sama ingin mempertahankan kekuasaannya, mempertahankan rezimnya, masa dia juga ingin melakukan kekejaman terhadap rakyatnya? Ndak masuk akal. Apa ada alasan dia melakukan kejahatan kepada rakyatnya? Ndak ada! Karena itu yang melakukan pemberontakan sebenarnya bukan rakyat Suriah, melainkan orang Saudi, orang Tunis, orang Maroko, orang Chenchen, segala macam. Jadi Assad bukan sedang berperang melawan rakyatnya tapi berperang melawan gerombolan-gerombolan yang dibayar oleh Qatar, Saudi dan negara-negara borjuis di Teluk itu. Itulah fakta yang terjadi.
Bukankah ini berarti Islam dipermalukan, sebab negara-negara Barat yang sering disebut kafir malah menerima pengungsi dengan tangan terbuka daripada negara-negara Islam di Teluk sendiri?
Ndak sesederhana itu. Justru kan ini menyadarkan kita. Mulai sekarang kita jangan terlalu sibuk dengan nama-nama, dengan simbol-simbol, dengan atribut-atribut. Jangan sibuk dan ribut soal istilah pemimpin Islam. Toh pemimpin Islam belum tentu Islami, sebaliknya pemimpin bukan Muslim mungkin saja Islami.
Lihat sajalah perilakunya, jangan lihat berapa banyak dia bersedekah, atau berapa banyak dia Umroh atau Haji. Lihatlah bagaimana caranya menyikapi orang, bagaimana dia memperlakukan orang. Kenyataannya, pengungsi-pengungsi yang ke Eropa lebih banyak yang diselamatkan. Anda bisa lihat anak-anak yang akhirnya tidak dapat diselamatkan. Mereka lari dari kekejaman kelompok-kelompok yang gemar membunuh, yang memperbudak perempuan, yang melakukan kesadisan-kesadisan dan ditampilkan sebagai kebanggaan. Kita saja ndak ikut melihatnya dari dekat, ndak ikut berada di situ sudah ngeri, apalagi orang-orang yang ada di sana. Anda lihat ada lelaki membawa anaknya menjual pena, orang semua bersimpati kepadanya sampai dia mendapat uang seribu Dollar.
Melihat fakta-fakta ini, masihkah kita akan terus mempersoalkan Sunni dan Syiah, ketika kita berhadapan dengan fakta-fakta tragis dengan kemanusiaan ini? Itu masalahnya.
Anggaplah mereka lari dari Assad, terimalah. Anda kalau melihat wajah Assad, coba bandingkan dengan wajah kelompok-kelompok teroris itu. Mungkin cukup lah secara visual sekadar untuk memberikan gambaran.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan umat Islam?
Umat Islam? Umat Islam ini berada dalam situasi sudah kesulitan untuk membedakan mana yang prioritas. Mereka kehilangan itu dan mudah dimanipulasi dengan sentimen-sentimen, dengan provokasi-provokasi, dengan berita-berita dusta. Sekarang orang begitu gampang percaya hanya dengan sekadar broadcast, dengan bahasa-bahasa yang cenderung memanipulasi. Ini Umat Islam hampir merasa bahwa kalau dia tidak ekstrem, dia tidak intoleran, dianggap nanti Islamnya kurang. Jadi ada mindset bahwa Islam ini akan dikeroyok dari semua arah. Kalau dia bukan Islam, pasti musuh Islam.
Siapa yang mengatakan kalau bukan Islam itu pasti musuh Islam? Beda antara bukan Muslim dengan musuh Islam. Non-Muslim dengan musuh Islam, itu beda. Kalau musuh Islam itu ya mereka yang jelas-jelas mengganggu kepentingan Islam, tapi kalau dia bukan Muslim belum tentu secara otomatis dia musuh Islam.
Sebaliknya orang yang mengaku Islam sekarang kadang merusak, mengkafirkan dan menyesatkan. Nah, orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melihat fenomena ini dengan logis, biasanya mereka mudah terpengaruh. Lihat saja, lebih bahaya mana antara Israel dan rezim Assad sih? Israel yang jelas-jelas mengangkangi kiblat pertama umat Islam dibiarkan. Malah Saudi dan sebagian negara Arab itu terbukti punya hubungan baik. Coba cari fakta-fakta bahwa Suriah punya hubungan dengan Israel. Buktinya pesawat-pesawat Israel juga ikut ngebom, melakukan penyerangan dan membantu kelompok-kelompok teroris ini. Bahkan, sebagian kelompok teroris yang terluka dilarikan ke Israel. Soal ini, dimana-mana orang sudah tahu.
Lalu kenapa begitu sulit memahami ini? Dan yang paling disesali adalah media nasional yang mestinya lebih toleran, lebih pluralis, lebih mengedepankan fakta-fakta ketimbang kebencian-kebencian, malah tak bisa diharapkan. Kenyataannya memang itu yang terjadi. Bisa disebut, ini lebh tragis dari peristiwa memilukan yang terjadi di luar sana.
Begini. Ada prinsip, kalau Anda tidak bisa bersikap adil terhadap seseorang, setidaknya lihatlah kebaikannya. Kalau tidak bisa melihat kebaikannya, lihatlah keburukannya yang paling kecil. Lha kita malah sebaliknya; fakta yang jelas-jelas baik kita ganti dengan dugaan-dugaan, kita ganti dengan sangkaan-sangkaan dengan judgement-judgement, hanya karena kebencian-kebencian yang sudah ditanamkan dalam diri kita. Jadi ini fakta tragis yang sebetulnya memilukan. Anak kecil saja ndak tau siapa Assad, siapa kelompoknya, yang jelas hanya ada tayangan, ada peristiwa-peristiwa pengeboman, ada penjagalan, ada pembunuhan, ada orang digorok. Ini yang terjadi. Kemudian ditampilkanlah “fakta-fakta seolah-olahnya” siapa yang melakukan itu. Padahal bisa dilihat, kelompok-kelompok yang menggunakan simbol-simbol, bendera-bendera yang mengisyaratkan kelompok teroris itukah pelakunya, ataukah pemerintahan dan tentara Assad? Mengapa begitu sulit memahami itu?
Apa yang bisa kita lakukan, terutama kita yang ada di indonesia?
Menyadarkan. Kita harus melakukan sebisa mungkin ajakan kepada orang-orang untuk berpikir logis, untuk mengedepankan tabayyun, meski tu tidak mudah. Karena jika Anda salah menyikapi orang, maka akan berefek buruk terhadap hidupnya, pada kehormatannya. Tidak akan bisa diampuni dosa Anda, kecuali mendapatkan maaf dari dia. Semua kebaikan-kebaikan kita akan hilang.
Bayangkan kalau kita melakukan pengkafiran, penyesatan, mengambil hak terhadap jutaan orang, hanya karena kita tidak mau untuk memberikan kemungkinan bahwa pandangan kita sendiri mungkin salah, sikap kita mungkin ndak benar. Kenapa tidak memberikan space sedikit saja? Jangan semua orang bilang rakyat Suriah lari dari Assad. Lho Anda ini tahunya dari mana?
Lihat saja dulu, lalu dipelajari. Sumber-sumber itu mungkin kita bacanya cuma dari website yang isinya kebencian. Begitu kita buka website itu isinya sudah kebencian. Informasi apapun tidak akan diterima dari yang lain. Nah itu seperti orang melihat dengan kacamata kuda. Saya tidak persoalkan apakah mereka lari dari siapapun. Yang jelas Suriah dihancurkan. Mungkin perlu lebih dari 100 tahun lagi untuk membangunnya. Banyak artefak dan situs-situs sejarah yang dirusak di sana. Damaskus itu kota paling kuno di dunia, warganya baik dan lembut, tapi bisa hancur seperti itu.
Ya, warga Suriah itu lebih lembut dari orang Indonesia, bahkan lebih lembut dari orang Jawa Tengah. Anda akan tahu kalaa Anda pernah kesana. Tapi, toh bisa hancur begitu.
Apa sebutan bagi negara-negara yang mayoritas Islam tapi ternyata tidak mau menerima pengungsi Suriah?
Hipokrit, sumber masalah. Itu hanya rezim-rezim. Saya tidak mau menyebut negara-negara. Secara umum kita bisa dengan mudah melihat mana negara yang benar-benar berbuat mana yang pura-pura. Hanya menjadi agen. Agen dari kekutan-kekuatan imperialis, borjuis, mau enak sendiri, ini rezim sombong dan agresor. Agresinya terhadap negara lain yang lebih lemah, atas nama agama. Alasannya katanya untuk menyelamatkan Mekah dan Madinah. Apa dianggap semua orang sebodoh mereka? Tidak segampang itu lah. Fakta ini terlalu benderang bagi siapapun. Tidak memerlukan analisis yang panjang, tidak memerlukan penjelasan panjang lebar. Semudah itu.
Asal mau menggunakan akalnya, asal mau mengedepankan logika untuk melihat persoalan. Tapi ya itulah, Alquran saja mengatakan kebanyakan manusia itu tidak menggunakan akalnya.
Masih beruntunglah kalau ada sekelompok orang yang masih mau melihat persoalan ini, ndak perlu membantu kalau memang tak mampu, tapi minimal tidak memberikan penilaian negatif, itu rasanya sudah lumayan lah. Kalau tidak mau membantu minimal Anda tidak memberikan penilaian negatif. Kalau Anda tidak punya fakta-faktanya dan memang tidak ingin bersikap, ya jangan bersikap. Minimal jangan bersikap. Artinya jangan buru-buru pro, jangan pula kontra. Saya anggap itu sikap yang jauh lebih hati-hati. (Lutfi/Yudhi)