Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Nadirsyah Hosen: Jangan Mudah Memvonis Kafir Sesama Muslim!

Saat ini mudah sekali sebagian pihak memberi label kafir kepada mereka yang tidak sependapat, beda penafsiran dan juga beda pilihan politik. Ini seperti pengulangan sejarah kelam umat Islam yang gara-gara persoalan kepemimpinan selepas terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan kemudian terjadi perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Keduanya adalah sahabat Nabi yang harus kita hormati, namun gara-gara perbedaan politik ada sebagian pihak yang mengkafirkan salah satu atau keduanya. Muncul pula sejumlah hadits palsu hanya sekedar untuk mencaci atau mendukung salah satunya. Ayat suci direduksi menjadi alat politik.

Sepanjang sejarah kita saksikan betapa mudahnya sebagian pihak mengkafirkan Muslim lainnya. Seolah mereka tidak takut dengan ancaman dari penggalan Hadits Nabi ini:

”Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh” (HR Bukhari-Muslim).

Berdasarkan prinsip kehati-hatian yang terkandung dalam Hadits di atas, maka para ulama berhati-hati untuk menjatuhkan vonis kafir kepada sesama Muslim.

Qadhi Iyad yang bermazhab Maliki menulis kitab yang sangat terkenal, yaitu al-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa. Beliau menukil pendapat para ulama:

“Wajib menahan diri dari mengkafirkan para ahli ta’wil karena sungguh menghalalkan darah orang yang shalat dan bertauhid itu sebuah kekeliruan. Kesalahan dalam membiarkan seribu orang kafir itu lebih ringan dari pada kesalahan dalam membunuh satu nyawa Muslim.”

Kitab al-Syifa di atas diberi syarh (penjelasan) salah satunya oleh al-Mulla Ali al-Qari al-Harawi yang bermazhab Hanafi. Beliau memberi penjelasan sebagai berikut:

“Berkata para ulama kita jika terdapat 99 hal yg menguatkan kekafiran seorang Muslim, tetapi masih ada satu alasan yang menetapkan keislamannya maka sebaiknya Mufti dan Hakim beramal dengan satu alasan tersebut, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: ‘Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana dari kaum Muslimin semampu kalian, jika kalian mendapatkan jalan keluar bagi seorang Muslim, maka pilihlah jalan itu. Karena sesungguhnya seorang pemimpin yang salah dalam memberi maaf itu lebih baik dari pada pemimpin yang salah dalam menghukum,’ sebagaimana diriwayatkan Imam Turmudzi dan lainnya dan Imam al-Hakim yang mensahihkannya.”

Dari penjelasan di atas terlihat jelas kehati-hatian para ulama. Meskipun ada sekian banyak bukti yang mengarah pada kekafiran saudara kita, namun jikalau masih terlihat satu saja alasan untuk menetapkan keislamannya, para ulama memilih satu alasan tersebut dan menahan diri untuk mengkafirkan orang tersebut. Lebih baik kita keliru menyatakan dia tetap Islam ketimbang kita keliru mengatakan dia kafir. Lebih baik kita keliru memaafkan dia ketimbang kita keliru menghukum orang yang tak bersalah.

Dalam masalah pidana yang tidak punya konsekuensi mengeluarkan orang dari keimanannya saja perlu kita carikan alasan agar pelakunya terbebas dari hukuman, apalagi mengkafirkan orang yang jika salah memvonisnya, maka konsekuensi di dunia sangatlah berat seperti dibunuh jika tidak mau taubat, hilangnya hak waris, fasakh pernikahannya, apalagi konsekuensi di akhirat.

Ucapan senada juga sudah disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali yang bermazhab Syafi’i dalam kitab al-Iqtishad fil I’tiqad:

“Agar menjaga diri dari mengkafirkan orang lain sepanjang menemukan jalan untuk itu. Sesungguhnya menghalalkan darah dan harta Muslim yang shalat menghadap qiblat, yang secara jelas mengucapkan dua kalimat syahadat, itu merupakan kekeliruan. Padahal kesalahan dalam membiarkan hidup seribu orang kafir itu lebih ringan dari pada kesalahan dalam membunuh satu nyawa Muslim.”

Rasulullah SAW juga bersabda: “Tiga perkara yang merupakan dasar keimanan: menahan diri dari orang yang mengucapkan La Ilaha illallah, tidak mengkafirkannya karena suatu dosa, dan tidak mengeluarkannya dari keislaman karena sebuah amalan…” (HR Abu Dawud, nomor 2170)

Di balik ucapan mengkafirkan orang lain itu sebenarnya tersembunyi perasaan bahwa saya lebih baik dari dia; saya lebih islami, lebih suci, dan lebih benar serta akan masuk surga ketimbang dia. Persoalannya darimana kita tahu bahwa amalan ibadah kita “yang banyak sekali itu” pasti diterima Allah dan dosa mereka “yang begitu banyak itu” tidak akan Allah ampuni?

Saya tidak tahu nasib saya kelak, bagaimana saya bisa begitu yakin dengan nasib orang lain. Anda pun juga demikian. Ini merupakan hak prerogatif Allah. Jangan sampai kita justru jatuh pada kesyirikan karena merasa dan bertindak seperti Allah yang menentukan keimanan orang lain. Semoga Allah mengampuni kita semua.

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Sumber: NU Online

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *