Berita
Muslimah ABI Ikuti Kongres Ulama Perempuan Indonesia
Cirebon – Perwakilan Muslimah Ahlulbait Indonesia (Muslimah ABI) Kota Surabaya, Ustazah Euis Daryati Lc. MA bersama ratusan delegasi dari berbagai organisasi dalam maupun luar negeri mengikuti Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Rangkaian kegiatan kongres berlangsung selama tiga hari di Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat (25 – 27 April 2017).
Dari catatan panitia, sedikitnya 1.270 orang mendaftar menjadi peserta dan pengamat pada rangkaian kegiatan KUPI ini. Atas pertimbangan kapasitas, panitia hanya menerima 575 peserta dan 183 pengamat. Ustazah Euis dari Muslimah ABI berkesempatan menjadi peserta bersama utusan dari berbagai ormas terkemuka seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan peserta lain dari dalam maupun luar negeri.
KUPI sendiri digagas oleh tiga lembaga yaitu, ALIMAT, RAHIMA, dan FAHMINA. Beberapa lembaga yang ikut partisipasi dalam terselenggaranya KUPI di antaranya, Keluarga Besar Pesantren Kebon Jambu al-Islamy dan Pesantren Ciwaringin secara umum, Kementerian Agama RI, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, AMAN Indonesia, DPD RI dll.
Kongres mengambil tema “Peran Ulama Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan” ini, diharapkan dapat menjadi ajang silaturrahim, saling belajar dan berbagi pengalaman antar para ulama perempuan, para pakar dan praktisi. Perhelatan ulama perempuan ini juga disaksikan oleh perwakilan dari 15 negara sahabat yaitu, Afganistan, Amerika Serikat, Australia, Bangladesh, Belanda, Filipina, India, Malaysia, Nigeria, Kanada, Kenya, Pakistan, Saudi Arabia, Singapura, dan Thailand.
Di hari pertama (25 April), kegiatan diisi dengan seminar internasional tentang keulamaan perempuan. Seminar ini menghadirkan narasumber dari 7 negara yakni, Bushra Qadeem (Pakistan), Roya Rahmani (Afganistan), Zaenah Anwar (Malaysia), Hatoon al-Fasi (Saudi Arabia), Ulfat Hussein Masibo (Kenya), Rafatu Abdul Hamid (Nigeria), dan dari Indonesia; Ruhaini Dzuhayatin, Eka Srimulyani, serta Kamaruddin Amin.
Hari kedua (26 April), terdiri dari dua sesi kegiatan. Pertama, Seminar Nasional tentang “Peran Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan, dan Kemanusiaan”.
Sesi ini terdiri dari 4 tema dengan 4 pembicara:
1. Sejarah dan Peran Ulama Perempuan di Indonesia (KH. Husein Muhammad, ketua yayasan Fahmina Cirebon)
2. Metodologi Study Islam Perspektif Ulama Perempuan (Dr. Nur Rofiah, Dosen Pascasarjana PTIQ, pengurus ALIMAT dan Rahima Jakarta)
3. Strategi Dakwah Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai-nilai Kebangsaan dan Kemanusiaan (Siti Aisyah, ketua pimpinan pusat Aisyiyah, Yogyakarta)
4. Tantangan dan Peluang Ulama Perempuan dalam Menebarkan Islam Moderat di Indonesia (Prof. Dr. Machasin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
“Di sini saya memberikan beberapa tanggapan kepada pemateri,” kata Ustazah Euis. Lebih lanjut Ustazah Euis menguraikan beberapa tanggapannya. “Pertama, dalam makalah telah banyak disampaikan ulama-ulama perempuan sejak zaman Rasulullah saw hingga sekarang, dari berbagai negara. Tapi masih ada yang luput dari perhatian, seperti ulama perempuan Iran, Mujtahidah Amin atau Banuye Isfahani, dia ulama perempuan yang telah diuji oleh 40 ulama besar, memiliki kitab tafsir “Mahzanul Irfan” dan memiliki banyak karya tulis. Ini mungkin bisa jadi tambahan referensi tentang ulama perempuan.”
“Kedua, dalam mazhab Ahlulbait, fikih keluarga tentang hak dan kewajiban suami istri sangat ramah perempuan.”
“Ketiga, hal yang perlu diperhatikan bagi ulama perempuan ialah, merubah paradigma bahwa pendidikan anak hanya menjadi kewajiban ibu semata. Karena kalau kita lihat, ayat-ayat dalam Al-Qur’an banyak menukil dialog antara anak dan bapak seperti dialog antara Lukman Hakim dengan anaknya, nabi Ibrahim dengan nabi Ismail, dll. Ini menunjukkan bahwa ayah juga memiliki peran penting dalam mendidik anak, termasuk menyiapkan generasi ulama perempuan.”
Sesi kedua adalah diskusi pararel, dengan 9 tema keulamaan perempuan (setiap peserta hanya boleh memilih 1 tema). “Saya ikut tema tentang peluang dan tantangan pendidikan ulama perempuan di Indonesia,” imbuhnya.
Hari terakhir (27 April) diisi dengan launching buku dan musyawarah keagamaan (forum terbatas untuk pengambilan sikap keagamaan ulama perempuan yang berlangsung selama kongres).
Peserta musyawarah membahas permasalahan-permasalahan tersebut dalam 3 dimensi perempuan, yaitu sebagai Individu, sebagai umat Islam, dan sebagai warga negara. Karenanya hasil musyawarah mempertimbangkan petunjuk Nash Al-Quran dan hadis, aqwal ulama, dan konstitusi negara. Hasil dari musyawarah ini akan disusun berdasarkan struktur sebagai berikut:
1. Tashawur (gambaran masalah)
2. Adilah (dalil-dalil agama)
3. Istidlal (analisis)
4. Jawab (hasil)
5. Tazkiyah (rekomendasi)
6. Maraji’ (daftar literatur)
7. Bayan (penjelasan) hanya jika diperlukan
8. Kutipan langsung yang dipandang penting
Dalam musyawarah keagamaan ini hanya diprioritaskan 3 tema atau pokok permasalahan. Pertama, tema tentang kekerasan seksual. Kedua, tentang pernikahan anak. Ketiga, tentang perusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial.
“Dalam musyawarah keagamaan ini saya ikut di tema ketiga. Setelah musyawarah, dipilih 2 orang dari peserta untuk masuk menjadi tim perumusan masalah, dan saya termasuk dari 2 peserta yg menjadi tim perumusan masalah, ” tutur Ustazah Euis.
Musyawarah keagamaan dengan tema ketiga “perusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial” ini dalam rangka menjawab pertanyaan berikut:
1. Apa hukum melakukan perusakan alam atas nama pembangunan?
2. Bagaimana peran agama dalam memberikan perlindungan terhadap alam?
3. Bagaimana pandangan agama tentang tanggungjawab negara dalam mengatasi perusakan alam yg memiskinkan rakyat terutama perempuan dan anak?
4. Bagaimana mengintegrasikan isu pemeliharaan alam (air, tanah, udara, flora-fauna) di dalam pendidikan keagamaan, pesantren dan institusi pendidikan lainnya?
Lebih lanjut Ustazah Euis menjelaskan, di akhir acara, sebelum penutupan, dibacakan ikrar keulamaan perempuan Indonesia, pandangan dan sikap keagamaan tentang isu perempuan kontemporer perspektif Islam dalam konteks kebangsaan di Indonesia dan kemanusiaan secara global, termasuk metodologi musyawarah keagamaan, serta Rekomendasi KUPI dalam menjawab masalah kekerasan seksual, pernikahan anak, dan kerusakan alam atas nama pembangunan.
Selanjutnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin hadir menyampaikan sambutan dalam penutupan acara tersebut. Pada kesempatan itu, Menag menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kongres ini. “Tidak kalah penting adalah prosesnya. Saya banyak mendengar laporan, bahwa ini sepenuhnya adalah insiatif dari masyarakat, dari kaum perempuan itu sendiri. Mereka kemudian berupaya untuk membuat suatu kongres ulama perempuan yang untuk pertama kalinya terselenggara di dunia,” papar Menag.
Di sela acara, Ustazah Euis memberikan hadiah buku kepada ketua panitia KUPI, serta menyempatkan diri bersilaturrahim ke salah satu Kyai pondok pesantren Kebon Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin.
(Ustazah Euis/Malik)