Artikel
Musibah; antara Proses dan Ulah Manusia
Di penghujung 2014 kita dikejutkan oleh serentetan bencana. Yang terbaru adalah longsor dan pesawat komersil yang hilang sejak beberapa hari lalu dan baru dipastikan jatuh beberapa saat lalu.
Ada bencana yang di luar jangkauan manusia, seperti gempa bumi, meluapnya lumpur panas, banjir, longsor dan sebagainya, meski secara vertikal bermuara pada cara pengelolaan manusia terhadap alam. Ada bencana yang terjadi semata-mata akibat pengelolaan yang teledor terhadap alam, seperti kecelakaan transportasi dan kebakaran bisa dikategorikan sebagai bencana non alami.
Apapun penyebabnya, setiap kali terjadi musibah, kita harus mengaitkannya dengan Sumber Kehidupan. Orang-orang Mukmin, dalam firman Allah, adalah “orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (TQS. Al-Baqarah [2]: 155-157).
Namun, itu tidak berarti tidak ada yang bisa diminta pertanggungjawaban dan bahwa setiap bencana harus disikapi secara fatalistis. Mengapa? Setiap peristiwa pada mata rantai sebab terakhir berujung pada Tuhan, sebagai Kausa Prima, namun ia juga berkaitan dengan sejumlah kausa dekat yang lain, seperti manusia dan lainnya. Artinya, Tuhan sebagai pencipta alam memang sebab terakhir, namun manusia dan makhluk lain juga bisa masuk dalam rangkaian sebab. Pada rangkaian sebab yang paling dekat dengan bencana dan peristiwa inilah, diperlukan analisis, perencanaan dan cara penggunaan yang benar.
Manusia dalam kehidupannya menghadapi semua kemungkinan dan aksiden. Allah Swt melimpahinya dengan aneka karunia dan rezeki, juga memberinya ragam kesulitan dan bencana sebagai ujian dan cobaan. “Dan niscaya Kami mencobanya dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah, dan kepada Kami kalian dikembalikan” (QS. Al-Anbiya’: 35). Ayat ini menegaskan bahwa semua yang dihadapi manusia dalam kehidupannya, yang baik dan yang buruk, adalah bagian dari proses ujian.
Keburukan adalah sesuatu yang diyakini manusia sebagai kebaikan, demikian pula keburukan. Allah Swt menguji manusia dengan sesuatu yang dianggapnya buruk. Padahal apakah itu memang keburukan secara real ataukah tidak, memerlukan penjelasan yang lebih mendalam. Artinya, apa yang dianggap baik atau buruk oleh manusia tidak niscaya baik dan buruk pada hakikatnya.
Sakit, misalnya, adalah bencana yang dianggap oleh manusia sebagai buruk, padahal itu hanyalah keburukan yang relatif, bukan mutlak. Betapa banyak penyakit yang memberikan banyak keuntungan bagi penyandangnya. Betapa banyak penyakit kecil yang menguak penyakit kronis dalam tubuh penyandangnya, yang tidak akan diketahui dan disembuhkan, bila saja ia tidak diperiksa karena gangguan penyakit ringan itu. Kata ‘fitnah’ dalam ayat di atas adalah penegasan bahwa yang dianggap baik dan buruk itu semata-mata ujian.
Lalu, bencana apakah yang bisa menjadi penghimpun pahala? Allah berfirman: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (TQS. Al-Baqarah [2]: 214). Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa bencana alam merupakan bagian yang terpisahkan dari proses kehidupan alam dan manusia.
Ujian juga dapat dibagi dalam dua dimensi, ujian untuk dunia dan ujian untuk akhirat. Ujian di dunia mestinya dapat mengembangkan kemampuan manusia untuk menghadapi tantangan hidup, yang membuatnya mampu bertahan hidup dan mengatasi masalah. Karena terdesak oleh banyak kesulitan alam itulah, manusia mampu menciptakan alat-alat transportasi dan menciptakan ilmu kedokteran dan lainnya.
Ada dua jenis manusia yang menghadapi realitas; Pertama adalah manusia yang tidak berinisiatif mengatasi masalah kecuali bila sangat mendesaknya. Manusia jenis pertama ini akan memikirkan jalan keluar setelah merasa putus asa dan tidak mampu menanggungnya. Kedua adalah manusia yang berpikir untuk menyelesaikan masalah bahkan sebelum terjadi. Manusia jenis ini melakukan antisipasi terhadap kemungkinan masalah yang akan dihadapinya. Kemungkinan terjadinya persoalan cukup menjadi alasannya untuk memikirkan dan mencari solusi.
Manusia tidak akan abadi dalam kehidupan ini, namun akan abadi dalam kehidupan berikutnya. Demi meraih kehidupan abadi yang menyenangkan, manusia harus mau lulus ujian-ujian berat dengan sabar.
Sabar adalah sikap menerima dengan ikhlas sesuatu yang dianggap merugikan. Ada dua jenis perkara yang dianggap merugikan, yaitu sesuatu yang berada di luar kehendak, dan sesuatu yang berada dalam kendali kehendak. Seperti kata Al-Quran, “Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 186)
Bila kita tidak sabar saat menghadapi persoalan, dan bisa selesai karena ketidaksabaran itu, maka semestinya kita memang tidak boleh bersabar. Namun, bila dengan tidak bersabar, masalahnya tidak terselesaikan bahkan makin membesar, maka bersabar adalah jalan keluar. “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (TQS. Al-Zumar [39]: 10)
Tapi, adakah batas kesabaran? Apabila sabar dipahami sebagai sikap pasif terhadap persoalan, maka itu adalah pemahaman yang salah dan harus diluruskan. Bersabar bukan membiarkan persoalan tanpa solusi, karena bukan itu yang ditetapkan akal dan agama. Bersabar secara logis adalah mengantisipasi dan mengatasi persoalan, bukan hanya bersabar menerimanya. Itulah kesabaran positif dan aktif.
Terlepas dari itu semua, korban musibah bukan hanya yang wafat dan hilang tapi juga orang-orang yang kehilangan terutama para istri, anak dan orangtua korban. Yang hilang hanya beberapa saat menderita bahkan kadang hanya sedetik. Tapi yang kehilangan bisa merasakan derita cukup lama.
Karena itu, pergantian tahun tak perlu dirayakan dengan lomba kebisingan dan hura-hura tapi sebaiknya ditandai dengan himne duka dan pengheningan cipta. Mari tunjukkan empati kemanusiaan dan kebangsaan. (Muhsin Labib/Yudhi)