Artikel
Murthada Muthahari: Masa Depan Masyarakat
Bahwa pada dasarnya karakter masyarakat dan budaya modern itu berbeda-beda, tak dapat kita terima. Namun yang tak dapat dinafikkan adalafa bahwa bentuk dan kualitas masyarakat dan budaya modern memang beragam. Sekarang pertanyaannya adalah: Bagaimana masa depan masyarakat manusia? Akankah budaya dan peradaban ini, dan masyarakat serta nasionalitas ini, selalu mem-pertahankan posisinya yang ada? Ataukah manusia akan menuju kepada satu budaya, satu peradaban dan satu masyarakat, dan akankah semua masyarakat kelak nanti berpadu menjadi satu? Pertanyaan ini bergantung pada pertanyaan tentang karakter masyarakat dan hubungan antara semangat individual dan semangat kolektif.
Jelaslah kalau kita mempercayai teori bahwa fitrah manusia itu esensial, dan berpandangan bahwa eksistensi kolektif manusia, kehidupan kolektif manusia dan semangat kolektif masyarakat merupakan sarana yang dipilih fitrah manusia untuk mencapai kesempurnaannya, maka dapat dikatakan bahwa semua masyarakat, semua budaya dan semua peradaban tengah dalam proses penyatuan. Masa depan masyarakat manusia berupa satu masyarakat dunia yang mengalami perkembangan penuh sehingga semua nilai manusiawi yang mungkin ada akan terealisasi dan manusia akan mencapai kesempurnaan, kesejahteraan dan pada akhirnya kebajikan yang aktual.
Dari sudut pandang Al-Qur’an, bahwa pada akhirnya kebenaran yang akan menang dan kepalsuan yang akan sirna, merupakan fakta yang tak terpungkiri. Pada akhirnya kesalehan dan ketakwaanlah yang akan jaya. Allamah Thabathaba’i, dalam bukunya “al-Mîzân”, mengatakan: “Kalau kondisi dunia ditelaah dengan seksama, maka akan terlihat jelas bahwa di masa depan manusia, yang juga bagian dari dunia, akan mencapai kesempumaannya. Al-Qur’an mengatakan bahwa tegaknya Islam di dunia tak terelakkan. Itulah bentuk lain dari perkataan bahwa manusia akan mencapai kesempumaannya. Bila Al-Qur’an mengatakan: ‘”Wahai orang-orang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Nya.’ (QS. al-Mâ`idah: 54)
Maka sesungguhnya Al-Qur’an ingin menegaskan untuk apa perlunya ada alam semesta, dan ingin menggambarkan nasib atau puncak takdir manusia.” (al-Mîzân, Jilid 4 halaman 106) Al-Qur’an memfirmankan sebagai berikut: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. (QS. an-Nûr: 55)
Di tempat lain Al-Qur’an memfirmankan: Sesungguhnya bumi ini diwarisi hamba-hamba-Ku yang saleh. (QS. al-Anbiyâ’: 105)
Allamah Thabathaba’i, penulis “al-Mîzân”, pada Bab “Percaya Pada Batas Dunia Islam, bukan Batas Geografis atau Kontraktualnya”, mengatakan sebagai berikut: “Islam mencabut prinsip yang menyebutkan bahwa adanya bangsa-bangsa efektif perannya dalam membentuk masyarakat. Ada dua faktor utama yang menyebabkan adanya bangsa-bangsa ini. Faktor pertama adalah kehidupan suku yang primitif yang didasarkan pada afinitas (persamaan) rasial, dan faktor kedua adalah perbedaan wilayah geografis. Kedua faktor ini merupakan penyebab utama terbaginya umat manusia menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku. Kedua faktor ini juga merupakan sumber perbedaan bahasa dan warna kulit. Kedua faktor ini pada tahap selanjutnya merupakan alasan kenapa setiap bangsa menguasai wilayah tertentu, lalu menyebutnya tanah airnya dan mempertahankannya. Sekalipun ini merupakan proses yang alamiah, namun membawa sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia. Fitrah manusia ini menghendaki seluruh umat manusia hidup sebagai satu keseluruhan dan satu unit. Hukum alam juga didasarkan pada menyusun apa yang berserak dan menyatukan apa yang terpisah. Melalui proses ini alam mencapai tujuannya.
Efektivitas hukum ini akan kelihatan kalau kita telaah fenomena alam dan kalau kita tahu mengapa materi primer berbentuk elemen dan kemudian berbentuk tumbuhan, kemudian berbentuk binatang dan akhirnya berbentuk manusia. Bangsa-bangsa dan suku-suku meski menyatukan orang-orang yang sama negaranya dan sama sukunya, namun juga menempatkan orang-orang ini berhadap-hadapan dengan unit-unit manusia lainnya. Orang-orang yang sama negaranya memandang satu sama lain sebagai saudara, memandang orang-orang yang tidak senegara sebagai orang asing, dan memandang mereka seakan-akan objek tak bernyawa yang hanya layak dieksploitasi. Itulah sebabnya mengapa Islam menghapus perbedaan bangsa dan suku, suatu perbedaan yang memecah- belah ras manusia. Islam menyatakan bahwa iman (upaya menemukan kebenaran yang memiliki nilai yang sama bagi semua orang dan yang tentu saja jadi kecenderungan semua orang), bukannya ras, negara atau kebangsaan, merupakan tempat berkumpulnya umat manusia. Bahkan dalam masalah-masalah seperti nikah dan waris, Islam menegaskan seiman sebagai kriterianya.” (al-Mîzân, Jilid 4 halaman 132-133)
Masih dalam buku yang sama, pada Bab “Akhirnya Agama yang Benar yang Menang”, penulis mengatakan: “Umat manusia, atas kekuatan fitrahnya, secara kolektif berupaya mewujudkan kesejahteraan dan kesempurnaan sejati. Dengan kata lain, ingin mencapai posisi yang paling tinggi dalam kehidupan material dan spiritual, dan kelak umat manusia tentu akan mencapai posisi itu. Islam, karena merupakan agama monoteisme sejati, memberikan skema untuk meraih tujuan yang didambakan ini. Penyimpangan yang menjadi nasib manusia ketika manusia menempuh perjalanan panjang untuk sampai ke tujuan ini, jangan diartikan bahwa fitrah manusia atau kematiannya tidak memiliki kekuatan hukum.
Sesungguhnya manusia selalu mendapat instruksi otoritatif dari fitrahnya. Penyimpangan dan kesalahan terjadi akibat semacam salah menerapkan instruksi otoritatif fitrahnya. Cepat atau lambat kelak manusia akan meraih kesempurnaan itu, kesempurnaan yang diupayakannya atas dasar fitrahnya. Konsepsi ini dapat disimpulkan dari Al-Qur’an Surah ar-Rûm: 30-41. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa instruksi otoritatif fitrah manusia bersifat final, dan bahwa manusia pasti akan menemukan jalannya setelah melakukan beberapa eksperimen dan setelah mencari ke mana-mana. Begitu menemukan jalannya, manusia akan tetap padajalannya ini. Jangan dengarkan orang-orang .yang mengatakan bahwa Islam merupakan satu tahap budaya manusia yang sudah selesai misinya dan sekarang Islam tak lebih dari sebuah peninggalan sejarah yang masa pakainya lebih lama daripada kegunaannya. Islam, dalam pengertian yang kita tahu dan kita bahas, adalah kesempumaan puncak yang kelak pasti dicapai manusia, karena kesempumaan puncak merupakan tuntutan hukum alam.” (al-Mîzân, Jilid 4 halaman 14)
Sebagian berpandangan bahwa Islam sama sekali tidak menganjurkan budaya dan masyarakat manusia yang tunggal. Islam justru mendukung dan mengakui budaya dan masyarakat yang beragam. Mereka mengatakan bahwa kepribadian dan identitas suatu bangsa sama dengan budayanya, sedangkan budaya mewakili semangat atau jiwa kolektifnya. Jiwa kolektif suatu bangsa terbentuk oleh sejarah khusus bangsa tersebut, dan sejarah khusus ini tidak di-miliki bangsa lain. Alam membentuk manusia. Sejarah membentuk budaya manusia, kepribadiannya dan ego sejatinya. Setiap bangsa memiliki karakteristiknya dan budaya khasnya, dan karakteristik serta budaya khas ini membentuk kepribadiannya. Kalau suatu bangsa melindungi budayanya, sesungguhnya artinya adalah bahwa bangsa itu melindungi identitasnya.
Kita tahu bahwa kepribadian dan identitas setiap individu adalah kepribadian dan identitasnya. Mencampakkan kepribadian dan identitas sendiri, dan kemudian mengambil kepribadian dan identitas orang lain, berarti melucuti diri sendiri, dan berarti pula menjadi jauh dari diri sendiri. Bagi setiap bangsa, budaya yang tidak menjadi bagian dari kehidupannya selama sejarah panjangnya, maka budaya tersebut asing baginya. Setiap bangsa memiliki perasaan dan sentimen tertentu. Setiap bangsa memiliki pandangan dan cita rasanya sendiri. Setiap bangsa memiliki sastra, musik dan adabnya sendiri. Setiap bangsa suka hal-hal tertentu yang tidak disukai bangsa lain. Budaya suatu bangsa merupakan produk dari kesuksesan dan kegagalannya selama periode panjang sejarahnya.
Budaya mencerminkan suka duka suatu bangsa, pergaulan suatu bangsa, iklim wilayah suatu bangsa, kepribadian suatu bangsa, dan gelombang imigrasi yang diterima suatu bangsa. Budaya suatu bangsa memberikan bentuk tertentu dan dimensi tertentu kepada jiwa kolektif dan jiwa nasional bangsa yang bersangkutan. Filsafat, ilmu pengetahuan, sastra, agama dan etika merupakan unsur-unsur yang selama periode demi periode sejarah-bersama suatu kelompok manusia terbentuk dan terpadu sedemikian sehingga memberikan eksistensi yang pada dasarnya khas kepada kelompok itu. Proses ini melahirkan suatu jiwa atau semangat yang menciptakan hubungan organis dan sangat penting di antara pribadi-pribadi yang membentuk kelompok itu. Proses ini juga membuat pribadi-pribadi itu menjadi anggota dari suatu kelompok khas. Jiwa inilah yang menjadikan eksistensi kelompok ini independen dan nyata. Jiwa ini pulalah yang memberi kelompok itu suatu kehidupan yang membedakan kelompok itu dari kelompok budaya lainnya untuk selamanya. Jiwa ini jelas terasa bukan saja dalam perilaku kolektif dan jiwa kolektif kelompok itu, namun juga terasa dalam reaksi kelompok itu terhadap alam, kehidupan dan segala yang terjadi. Mungkin terasa bukan saja dalam sentimen, hasrat dan kecenderungan kelompok itu, namun juga dalam karya ilmiah dan seni produk kelompok itu. Ringkas kata, jiwa ini dapat terlihat dan terasa dalam segala bidang kehidupan manusia, baik material maupun spiritual.
Dikatakan bahwa agama adalah ideologi, iman dan sentimen serta tindakan yang lahir dari iman. Sedangkan nasionalitas adalah “kepribadian” dan segi-segi khas yang diciptakan oleh jiwa yang sama dari individu-individu yang bernasib sama. Karena itu hubungan antara nasionalitas dan agama persis seperti yang terjadi antara kepribadian dan iman. Juga dikatakan bahwa kalau Islam menentang diskriminasi rasial dan hegemoni nasional, itu tidak berarti Islam menentang keragaman nasionalitas dalam masyarakat manusia. Prinsip persamaan hak dalam Islam tidak berarti menolak nasionalitas. Artinya justru Islam mengakui eksistensi nasionalitas sebagai fakta tak terbantahkan dan fenomena alam yang tak teringkari. Ayat berikut ini, yang sering dikutip sebagai hujah penolakan Islam akan nasionalitas, sesungguhnya menegaskan dan mendukung eksistensi nasionalitas.
Ayat ini mengatakan: Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu soling mengenal Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa. (QS. al-Hujurât: 13)
Ayat ini, pertama-tama menyebutkan golongan-golongan manusia dari sudut pandang jenis kelamin. Dan golongan seperti ini alamiah sifatnya. Segera setelah itu ayat ini menyebutkan penggolongan selanjutnya dari sudut pandang bangsa dan suku. Ini menunjukkan bahwa penggolongan kedua ini juga alamiah dan merupakan takdir Allah SWT, seperti halnya penggolongan manusia menjadi laki-laki dan perempuan. Karena itu jelaslah kalau Islam menginginkan hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan, dan tidak ingin menghapus perbedaan jenis kelamin, maka Islam juga mendukung terbinanya hubungan antarbangsa berdasarkan persamaan hak, dan tidak menginginkan terhapusnya kebangsaan. Fakta bahwa Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allahlah yang menciptakan bangsa-bangsa, dan Allah jugalah yang menciptakan laki-laki dan perempuan, artinya adalah bahwa eksistensi bangsa-bangsa merupakan realitas alamiah yang selaras dengan skema alam semesta. Fakta bahwa Al-Qur’an menyebut saling mengenal sebagai filosofi di balik eksistensi banyak bangsa, menunjukkan bahwa setiap bangsa memiliki karakter khusus, dan karena karakter khusus inilah maka bangsa yang satu beda dengan bangsa yang lain, dan karakter khusus ini juga yang mengkristalisasikan dan melahirkan kepribadian setiap bangsa.
Dengan demikian, beda dengan kepercayaan umum, Islam tidak menentang nasionalisme seperti itu. Sesungguhnya Islam mendukung nasionalisme dalam pengertian budayanya. Yang ditentang oleh Islam adalah nasionalisme dalam pengertian rasialnya. Dengan kata lain, Islam menentang rasisme saja. Teori ini sekali lagi salah dalam beberapa hal. Teori ini didasarkan pada konsepsi tertentu tentang manusia dan pandangan tertentu tentang material budaya: filsafat, ilmu pengetahuan, seni dan etika. Kedua gagasan ini salah.
Ada anggapan bahwa manusia—dari sudut pandang akal, yaitu bagaimana dia melihat dunia ini dan bagaimana pengertiannya tentang dunia ini, dan sudut pandang emosi dan perilaku, yaitu apa maunya, bagaimana langkahnya dan bagaimana maksud atau tujuannya—secara potensial bahkan tak ada isi dan bentuknya. Baginya, semua pikiran, sentimen, adab dan tujuan sama saja. Dia bagaikan wadah kosong yang tak ada bentuk atau wamanya. Setiap sisi kepribadiannya ditentukan oleh apa yang kemudian masuk ke dirinya. Sesungguhnya manusia memiliki ego, kepribadian, cara dan adab serta tujuan, setelah dia memperoleh masukan yang terjadi kemudian. Berkat masukan ini dia jadi berbentuk dan berkepribadian. Apa pun warna, bentuk, kualitas, kepribadian dan tujuan yang diberikan masukan ini—yaitu masukan yang pertama—kepadanya, maka itulah warna sejatinya, bentuk sejatinya, kualitas sejatinya, kepribadian sejatinya dan tujuan sejatinya, karena “diri”-nya dibentuk oleh masukan ini. Kalau terjadi perubahan pada kepribadian dan warnanya akibat masukan yang diterimanya di kemudian hari, itu hanya pinjaman dan asing, karena masukan yang terjadi di kemudian hari itu tetap asing baginya, karena tidak selaras dengan kepribadian sejatinya. Perubahan tersebut terjadi semata-mata karena kejadian sejarah. Teori ini diilhami oleh teori keempat tentang fundamentalitas individu dan masyarakat. Menurut teori keempat tersebut, hanya masyarakadah yang esensial. Teori ini sudah diulas sebelumnya.
Pandangan ini tentang manusia tidak kuat, baik dari sudut pandang filsafat maupun Islam. Manusia, dengan kekuatan fitrahnya, setidaknya secara potensial, memiliki kepribadian tertentu dan tujuan tertentu yang didasarkan pada karakter bawaannya, suatu karakter yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, dan karakter bawaan ini membentuk “diri” sejatinya. Distorsi yang terjadi pada karakter dasarnya dan dehumanisasinya harus dinilai dengan standar kualitas esensial dan bawaannya, bukan dengan standar sejarah. Budaya yang sesuai dengan fitrah manusia dan yang membantu perkembangan fitrah, maka budaya itu adalah sebenar-benar budaya, sekalipun budaya itu mungkin saja bukan budaya pertama yang didapatnya dari kondisi sejarah. Dan budaya yang tidak sesuai dengan fitrahnya, maka budaya itu asing baginya, semacam penyimpangan identitasnya, dan berarti pemalsuan “diri”-nya, kendatipun mungkin saja produk sejarah bangsanya. Misal, ajaran tentang dualitas dan pengkudusan api merupakan penyimpangan manusia Iran, meskipun diyakini sebagai produk sejarah Iran. Sebaliknya, ajaran tentang monoteisme dan penolakan untuk menyembah selain Allah SWT merupakan kembali ke identitas sejati manusia, kendatipun ajaran tersebut mungkin bukan produk tanah air bangsa Iran. Mengenai material budaya manusia, ada salah anggapan bahwa material budaya tersebut bentuknya tidak pasti, dan bahwa yang menentukan bentuk dan kualitas material budaya tersebut adalah faktor-faktor sejarah. Namun filsafat tetap filsafat, apa pun bentuknya.
Begitu pula, ilmu pengetahuan tetap ilmu pengetahuan, agama tetap agama, prinsip moral tetap prinsip moral, dan seni tetap seni, apa pun bentuk dan warnanya. Kualitas dan bentuknya relatif, bergantung pada sejarah. Sejarah dan budaya setiap bangsa melahirkan bentuk tertentu filsafat, agama, etika dan seni, yang khas bag! bangsa itu. Dengan kata lain, kalau manusia tidak memiliki identitas atau bentuk, dan dia memiliki sifat-sifat ini dari budaya, maka prinsip dan material utama budaya manusia juga tak ada bentuk atau warnanya. Sejarahlah yang memberinya bentuk dan menanamkan sifatnya padanya. Beberapa sosiolog, seperti Spengler misalnya, dalam hal ini bahkan sampai mengklaim bahwa: Temikiran matematis pun dipengaruhi oleh pendekatan tertentu suatu budaya.” (Dikutip oleh Raymond Aron, Main Currents in Sociological Thought, Jilid 1 halaman 107)
Teori ini juga yang dikenal sebagai teori relativitas budaya manusia. Dalam “Prinsip-prinsip Filsafat” sudah dibahas masalah kemutlakan dan relativitas pikiran, dan sudah dibuktikan bahwa hanya persepsi dan ilmu praktis saja yang relatif dan berubah dengan berubahnya waktu dan tempat. Persepsi seperti itu tidak mencerminkan realitas dan tidak mungkin menjadi kriteria untuk menilai mana yang benar dan otentik serta mana yang salah dan palsu. Sebaliknya, pikiran dan persepsi teoretis yang merupakan produk filsafat dan ilmu teoretis, seperti prinsip-prinsip konsepsi religius tentang dunia dan prinsip-prinsip pokok etika, justru solid, mutlak dan tidak relatif. Sayangnya masalah ini tak dapat dibahas lebih jauh.
Kedua, mengatakan bahwa agama adalah iman, sedangkan nasionalitas adalah identitas pribadi, bahwa hubungan antara keduanya ini adalah hubungan iman dan kepribadian, dan bahwa Islam menegaskan dan mengakui kepribadian bangsa sebagaimana adanya, sama saja dengan menafikan misi terpenting agama. Misi agama, khususnya agama Islam, adalah menanamkan konsepsi tentang dunia, suatu konsepsi yang didasarkan pada pengetahuan yang benar tentang sistem universal yang mempengaruhi prinsip-prinsip tauhid, untuk membangun kepribadian spiritual dan moral manusia dengan berlandaskan konsepsi itu, dan untuk mendidik individu dan masyarakat dengan suatu dasar yang menunjukkan fondasi suatu budaya baru, budaya yang manusiawi, bukan kebangsaan. Islam membawa suatu budaya untuk dunia, budaya yang sekarang dikenal sebagai budaya Islam. Islam melakukan itu bukan semata-mata karena setiap agama begitu ada kontak dengan budaya yang ada, kurang lebih mempengaruhi budaya yang ada itu atau justru dipengaruhi budaya yang ada itu. Alasannya adalah membawa budaya baru merupakan bagian dari misi agama Islam. Misi Islam antara lain adalah melucuti manusia dari budayanya, suatu budaya yang semestinya tidak menjadi budayanya, kemudian memberi manusia budaya yang bukan budayanya namun semestinya menjadi budayanya, dan menegaskan kepada manusia tentang apa yang dimilikinya dan apa yang semestinya dimilikinya. Suatu agama yang tidak ikut campur dalam budaya-budaya nasional yang ada dan yang tidak selaras dengan semua budaya itu, manfaatnya hanya sekali seminggu, yaitu di gereja.
Ketiga, Surah al-Hujurât ayat 13 tidak berarti mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan kamu dalam dua jenis kelamin, sehingga dapat dinyatakan bahwa dalam ayat ini yang mula-mula disebutkan adalah penggolongan manusia dari segi jenis kelamin, dan segera setelah itu disebutkan penggolongan yang lain dari segi kebangsaan. Tak dapat diklaim bahwa ayat ini menunjukkan perbedaan jenis kelamin itu alamiah, karena itu ideologi harus dirumuskan dengan berdasarkan perbedaan ini, bukan berdasarkan penolakan akan perbedaan ini, dan bahwa hal yang sama berlaku pula untuk keragaman bangsa. Sesungguhnya arti ayat ini adalah “Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.” Maksud ayat ini adalah bahwa semua manusia adalah keturunan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, atau bahwa semua manusia adalah sama sepanjang masing-masing beribu-bapak satu, dan dalam hal ini tak ada perbedaan.
Keempat, frase agar kamu saling mengenal, yang disebutkan sebagai tujuannya, tidak berarti bahwa terjadinya keragaman bangsa adalah untuk tujuan ini. Karena itu salah kalau berkesimpulan bahwa bangsa-bangsa harus independen personalitasnya sehingga antara bangsa yang satu dan bangsa yang lain dapat dibedakan. Seandainya tujuannya seperti ini, maka frase yang digunakan bukannya agar kamu saling mengenal melainkan semestinya agar mereka saling mengenal Ayat ini mengatakan bahwa keragaman ini ada hikmahnya, dan hikmah tersebut adalah agar mereka saling mengenal melalui suku dan bangsa mereka. Kita tahu bahwa tujuan ini dapat dicapai dengan cara lain pula, dan bangsa-bangsa serta komunitas-komunitas tidaklah perlu personalitasnya tetap independen terhadap satu sama lain.
Kelima, pembicaraan sebelumnya tentang teori Islam mengenai ketunggalan dan keragaman karakter masyarakat sudah cukup untuk membuktikan kesalahan teori di atas. Dalam pembahasan itu sudah kami jelaskan bahwa secara alamiah masyarakat melangkah menuju terbentuknya satu masyarakat dan satu budaya. Dalam Islam, filosofi Mahdisme didasarkan pada konsepsi tentang masa depan Islam, manusia dunia ini.
Murthada Muthahari, Manausia dan Alam Semesta