Berita
MPBI: Refleksi Penanggulangan Bencana 2004-2014
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) bekerjasama dengan Kantor staf khusus Presiden Republik Indonesia Bidang Bantuan Sosial dan Bencana menyelenggarakan diskusi “Refleksi Penanggulangan Bencana 2004-2014 & Prospek 2015-2019” di ruang rapat Kementerian Sekretariat Negara, Jl. Veteran III No. 2, Jakarta Pusat pada Senin (15/9).
MPBI memaparkan isu-isu penanggulangan bencana 2004-2014 dan kondisi gawat darurat dalam prospek terjadinya bencana di Indonesia.
Dalam paparan tersebut, MPBI menganalisa adanya evolusi secara lamban sehingga perlu didorong dengan kebijakan agar mengurangi risiko bencana.
“Harus ada kebijakan, jangan hanya program,” tegas Iskandar Leman dari MPBI. “Penanggulangan Bencana (PB) dapat diubah dari pandangan tanggap darurat menjadi kesiapsiagaan,” tambahnya.
Menurut Iskandar tanggap darurat kurang meminimalisir pengurangan risiko bencana. Belum lagi adanya perbedaan pada pelaksanaan dan pemusatan anggaran Penanggulangan Bencana antara Undang-Undang 24 dan Undang-Undang 32 tentang Otonomi Daerah.
Udrekh dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) Serpong, memaparkan sudut pandang yang berbeda dengan MPBI. Menurut Udrekh, yang perlu diperjelas ialah sampai dimana pemerintah melaksanakan PB (Penanggulangan Bencana), karena pemerintah tentu telah bekerja meskipun belum tuntas pencapaiannya.
“Harus dipertegas dengan tolok ukur pengurangan risiko bencana, saat ini kita sudah sampai mana,” sidik Udrekh.
Purwatmojo, Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana (SKP BSB) mengamini pertanyaan Udrekh, menyebutkan bahwa ketidakjelasan pencapaian itulah yang membuat akuntabilitas dan efisiensi penanggulangan bencana dipertanyakan.
“Ini harusnya menjadi koreksi, apa yang ingin dicapai, karena belum ada dalam APBN tentang apa-apa yang ingin dicapai dalam penanggulangan bencana,” jelas Purwatmojo.
Diskusi berlangsung dari pukul 10.30 hingga 12.30 WIB, menghasilkan 5 poin refleksi:
1. Pemusatan dana dalam penanggulangan bencana terdapat perbedaan antara Undang-Undang 24 dan 32.
2. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik masih wacana mengingat pelaksanaan di pihak pemerintah, swasta, dan publik belum terwujud sepenuhnya.
3. Alokasi anggaran untuk Penanggulangan Bencana belum masuk APBN maupun APBD.
4. Perlu membuat indikator progress kinerja dan ketersebaran BPBD dan anggarannya.
5. Bagaimana meningkatkan PB (Penanggulangan Bencana) sehingga masuk dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Nasional 2015-2019. (Sulton/Yudhi)